Pengusutan Kartel Beras Perlu Cermat
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, Sabtu (22/7), menyatakan, berhasil tidaknya Kepolisian Negara RI membuktikan dugaan pelanggaran akan menentukan kredibilitas lembaga, termasuk Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Apalagi, satgas ini mendapat apresiasi karena dinilai berhasil menjaga pasokan, distribusi, dan mengendalikan harga sebelum, selama, dan setelah Ramadhan lalu.
Akan tetapi, pengusutan terhadap tuduhan pelanggaran pidana berupa manipulasi harga dan kandungan gizi, sebagaimana dituduhkan kepada PT Indo Beras Unggul (IBU), perlu hati-hati agar tidak kontraproduktif. Sebab, tidak bisa dimungkiri, keberadaan satgas membuat takut sejumlah pelaku usaha.
Satgas Pangan yang terdiri dari Polri, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan menggerebek gudang milik PT IBU, anak
perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, di Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis malam. Polisi memastikan perusahaan yang memproduksi beras merek Maknyuss dan Cap Ayam Jago itu melanggar pidana terkait produksi beras medium, yakni memanipulasi harga dan membohongi konsumen soal kandungan beras.
”Pemerintah, termasuk Satgas Pangan, perlu menjelaskan kepada masyarakat tentang apa saja rambu-rambu yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar pelaku usaha. Dengan demikian, tidak ada area abu-abu yang multitafsir dan menjadi sumber ketakutan. Apalagi, instrumen aturan, yang dipakai satgas sebagai dasar bertindak, sebagian ada yang baru dan banyak pihak yang belum memahami,” ujar Khudori.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan, pihaknya mendorong Polri agar tidak berhenti pada penggerebekan. Dugaan adanya pelanggaran semestinya berujung pada hukuman yang memenjarakan pelakunya.
Bantah manipulasi
Juru bicara PT IBU, Jo Tjong Seng, membantah tuduhan Polri bahwa pihaknya telah memanipulasi mutu beras. Demikian pula soal harga jual Rp 13.700 per kilogram (kg) dan Rp 20.400 per kg, lebih tinggi daripada harga acuan pemerintah Rp 9.000 per kg.
”Harga eceran yang dibeli konsumen ditentukan beberapa faktor dalam rantai tata niaga beras. PT IBU tidak punya kuasa menentukan harga di tingkat konsumen karena kami hanya menentukan harga ke mitra penjualan. Selanjutnya, pemilik outlet yang menentukan harga di tingkat konsumen,” kata Asen, panggilan Jo Tjo Seng.
Asen menganggap nilai gizi yang terkandung sesuai dengan angka yang tercantum dalam kemasan. ”Kami mencantumkan dua data di kemasan, yakni angka kecukupan gizi (AKG) dan kandungan gizi (KG), tetapi tampaknya ada ketidakakuratan dalam melihat data ini. Kedua angka itu berbeda, tetapi saling berhubungan,” ujarnya.
Polisi menganggap PT IBU telah membohongi publik karena nilai gizi beras tidak sesuai dengan yang tercantum dalam kemasan. Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto mencontohkan, kadar protein yang tercantum dalam beras Cap Ayam Jago 14 persen, tetapi berdasarkan hasil uji laboratorium diketahui hanya 7,73 persen. Kadar karbohidrat juga beda, tertulis 27 persen, tetapi hasil laboratorium 81,45 persen. Lalu, kadar lemak yang tercantum 6 persen, tetapi hasil pengujian laboratorium hanya 0,38 persen (Kompas, 22/7).
Menurut Asen, angka 14 persen protein, sebagaimana tercantum di kemasan beras pulen Cap Ayam Jago yang merupakan AKG, menunjukkan berapa persen kandungan gizi pada setiap 100 gram beras memenuhi kecukupan gizi (AKG) yang dihitung berdasarkan kebutuhan energi 2.000 kilokalori. Asen menganggap, kandungan gizi beras dalam kemasan, berdasarkan hasil pengujian laboratorium, tidak jauh berbeda dengan hasil laboratorium yang menjadi rujukan Polri. Angkanya pun tidak melampaui ambang batas.
PT IBU juga membantah tuduhan membeli atau menggunakan beras subsidi yang ditujukan untuk program beras sejahtera (rastra). Menurut Asen, pihaknya membeli gabah dari petani atau kelompok tani atau dari mitra penggilingan lokal.
Kapasitas produksi PT IBU, yakni sekitar 4.000 ton per bulan, dianggap tidak memenuhi kriteria monopoli. Sebab, kata Asen, jumlah gabah yang diproduksi petani dan beras yang beredar di wilayah Bekasi hingga Subang saja jauh lebih besar daripada kapasitas tersebut. Apalagi, jika dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan beras nasional yang mencapai 3 juta-4 juta ton per bulan.
Saat penggerebekan oleh petugas, terdapat 1.161 ton beras di gudang PT IBU. ”Dengan kapasitas produksi 4.000 ton per bulan, stok sebesar itu hanya cukup untuk satu hingga dua minggu sehingga sulit dibuktikan bahwa itu penimbunan,” kata Asen.
Harga tinggi
Dugaan adanya kartel beras mencuat karena harga beras dinilai tinggi. Padahal, Kementerian Pertanian optimistis produksi beras jauh melebihi kebutuhan nasional. Produksi padi tahun 2015, misalnya, mencapai 75,4 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 44,7 juta ton beras. Dengan produksi sebesar itu, surplus diperkirakan mencapai 11,3 juta ton karena kebutuhannya hanya sekitar 31,9 juta ton.
Meski relatif stabil, harga beras di pasaran dinilai tinggi. Sebelumnya, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyebutkan, berdasarkan pemantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) di 160 pasar di Indonesia, dari 9 September 2016 hingga 12 Juni 2017, sebesar 17 persen harga beras medium lebih mahal daripada harga acuan. Sementara berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada April 2017, harga beras kualitas medium di Indonesia mencapai 0,79 dollar AS per kg, sedangkan di Thailand 0,33 dollar AS per kg, Myanmar 0,28 dollar AS per kg, dan Banglades 0,49 dollar AS per kg.
Selain terkait dengan stok dan produksi, tingginya harga beras juga turut dipengaruhi oleh ongkos produksi. Berdasarkan penelitian International Rice Research Institute (IRRI) 2016, ongkos produksi padi di Indonesia Rp 4.079 per kg, lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina yang Rp 3.224 per kg, China Rp 3.661 per kg, India Rp 2.306 per kg, Thailand Rp 2.291 per kg, atau Vietnam Rp 1.679 per kg.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menyatakan, upah pekerja dan sewa lahan mendominasi struktur biaya produksi padi di Indonesia. Upah buruh lepas mencapai Rp 1.115 per kg beras, sedangkan di Vietnam hanya Rp 120.
Karena itu, mekanisasi menjadi salah satu solusi meningkatkan daya saing produk beras Indonesia. Selain pada perawatan tanaman, pemakaian tenaga kerja juga dominan pada fase panen, yakni 77,9 persen dari total biaya tenaga kerja, Rp 1.375 per kg beras. (MKN)