JAKARTA, KOMPAS - Perhatian terhadap meluasnya kasus perundungan atau bullying di kalangan siswa jangan sekadar karena ramai, lalu mengatasinya sekadar penindakan dan hukuman. Terjadinya kasus perundungan dalam pendidikan harus menjadi pengingat untuk membangun budaya sekolah yang baik, yang dapat mendorong perubahan perilaku individu dan lingkungan.
"Keprihatinan yang muncul akibat mencuatnya kasus bullying harus mampu menggerakkan perubahan penanganan dan kebijakan," kata Dewan Pembina Pusat Studi Kebijakan Pendidikan Najelaa Shihab, yang dihubungi dari Jakarta, Senin (24/7).
Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) Diena Haryana yang fokus dalam isu perundungan di dunia pendidikan, mengatakan, kasus perundungan yang mulai banyak viral di media sosial merupakan fenomena yang harus dicermati kembali secara serius. "Bullying sudah lama terjadi. Selama ini biasanya sulit dideteksi karena terjadinya diam-diam sehingga diketahuinya lama. Namun, dengan ada video bullying yang viral di media sosial, ini mesti dicermati," ujar Diena.
Menurut Diena, banyak anak muda saat ini memiliki kebanggaan jika memiliki banyak pengikut (follower) di akun sosial serta mendapat dukungan atau like. "Anak-anak yang masih muda ini kan belum berpikir panjang apa dampak dari perbuatannya. Mereka ini ingin mendapatkan pengakuan dan puas kalau dianggap jagoan, misalnya," kata Diena.
Menurut Diena, terjadinya kasus perundungan, di mana ada pelaku dan korban, membutuhkan sistem perlindungan yang melibatkan sejumlah pihak. Baik pelaku maupun korban, tetap butuh dukungan untuk bisa disadarkan dan direhabilitasi. Untuk itu, keterlibatan orangtua harus ada.
Terkait sanksi pada pelaku, kata Diena, tidak harus mengeluarkan siswa dari sekolah. Sebab, orang dewasa di sekitar anak, mulai dari guru dan orang tua, punya tanggung jawab untuk membimbing pelaku segera menyadari kesalahan perilakunya dan berubah menjadi seseorang dengan pribadi yang positif.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang salah satu bentuknya perundungan, menekankan agar hak-hak anak (pelaku dan korban), termasuk dalam pendidikan, jangan sampai dikorbankan. Sanksi yang diberikan semestinya bernuansa edukatif.
Diena mengatakan, mencuatnya kembali kasus perundungan pada anak-anak usia sekolah harus menjadi pengingat bagi semua pihak untuk terus bergerak. Para guru dan pihak sekolah diingatkan untuk membuka mata terhadap kemungkinan terjadinya perundungan di sekitar sekolah. Upaya pencegahan, termasuk dalam menguatkan karakter anak untuk mempraktikkan budaya damai di sekolah, berinteraksi secara prositif, hingga menegakkan tata tertib, perlu disegarkan kembali.
"Termasuk pula bersinergi dengan orang tua, supaya peduli dan terlibat dalam perkembangan anak, di rumah dan sekolah. Jangan sampai orang tua membiarkan anak menjadi pribadi yang kesepaian, depresi, jenuh, lelah, yang membuat anak menjadi pribadi yang negatif. Orangtua kembali diajak untuk bertanggung jawab penuh untuk menjadi orang tua yang keren, termasuk mau belajar soal dunia digital agar dapat memantau kegiatan anak di media soial dalam upaya pencegahan secara dini dari dampak buruk digital," jelas Diena.