logo Kompas.id
UtamaMenyemai Semangat Toleransi di...
Iklan

Menyemai Semangat Toleransi di Sekolah

Oleh
· 4 menit baca

Suasana riuh dan ceria mewarnai SMP Negeri 21 Tangerang Selatan pada hari Rabu (19/7). Semua siswa berada di halaman depan sekolah. Rupanya ada kegiatan demo ekstrakurikuler untuk siswa baru. Mereka duduk di halaman depan menyaksikan anggota ekstrakurikuler bola basket bolak-balik mendribel bola. Para pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah dan Palang Merah Remaja berdiri mengelilingi lapangan, mengawasi kalau-kalau ada siswa yang sakit.Tiba-tiba, seorang siswi baru berseragam merah putih tampak pucat dan lunglai. Lima siswa anggota Palang Merah Remaja (PMR) sigap menggotong siswi tersebut ke ruang guru untuk diberi pertolongan pertama. "Di sini tidak boleh ada pilih-pilih teman. Semua harus siap turun tangan menolong," kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Yanti Kartini.Keakraban juga terlihat dari hubungan para anggota PMR. Ada Shelly Desmalita (13) yang berdarah Tionghoa-Minahasa, Chuchu Rahma (12) yang berdarah Jawa, Ananda Sindy (13) yang merupakan murid pindahan dari Yogyakarta. Juga ada Adifa Khoirunisa (14) dan Dewi Haura (12) asal Banten. Mereka guyub dalam berbagai kegiatan meski kadang ada saling ledek. "Kadang-kadang, saya diledek teman-teman karena kalau ketawa mata saya hilang," kata Shelly, disambut gelak tawa yang lain. Namun, Shelly tidak tersinggung karena dirinya juga suka mengisengi teman-temannya yang lain. Meski begitu, mereka mengaku selalu ditegur guru yang mendengar cara bercanda seperti itu. "Mungkin bagi anak-anak tidak ada maksud jahat. Tapi, kalau tidak ditegur, nanti jadi kebiasaan mengejek seseorang berdasarkan etnis atau ciri khas budaya tertentu," kata Siti Lestari, guru Matematika.Di lingkungan SMP Negeri 21 Tangerang Selatan, karakter yang baik ditumbuhkan dengan cara praktis, bukan diceramahkan. InklusifDi SMP Negeri 226 Jakarta, ledekan seputar perbedaan sudah tidak ada. Sekolah tersebut menerapkan sistem pendidikan inklusi sejak tahun 1993. Di setiap kelas setidaknya ada siswa yang berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, tunarungu, dan autisme.Para siswa kelas VII di awal tahun pelajaran hanya diberi tahu bahwa teman-teman berkebutuhan khusus memiliki cara belajar yang berbeda. Teman tunanetra, misalnya, soal ujiannya ditulis dengan huruf Braille. Ada pula alat-alat bantu untuk siswa berkebutuhan khusus. Biasanya, teman-teman sekelas dengan senang hati membantu, seperti meminjamkan catatan dan menemani belajar.Semangat inklusi juga menular kepada warga di sekitar sekolah. Jali, penjual tahu gejrot di luar gerbang SMP Negeri 226 Jakarta, sudah biasa melayani siswa atau pembeli yang berkebutuhan khusus. Hal itu menggambarkan sejumlah sekolah negeri sudah berkomitmen menyemai keberagaman. Sebagai ruang publik, sekolah negeri harus membuka diri untuk berbagai jenis anak.Namun, kegiatan menumbuhkan watak baik di kalangan siswa ini belum merata di Tanah Air. Malah ada sikap intoleransi yang justru dimunculkan pihak sekolah sendiri. Dalam penerimaan siswa baru tahun ini terjadi diskriminasi di SMP Negeri 3 Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur. Sekolah mengharuskan setiap siswi memakai kerudung. Seorang siswi yang bukan Muslimah gagal masuk sekolah itu. Sementara itu, di Jakarta, perundungan terjadi antara siswa SMP negeri di Tanah Abang dan seorang siswi SD sekitar. Berkaca dari kasus tersebut, sukar bagi siswa untuk menghargai orang lain yang berbeda apabila mereka sewenang-wenang kepada orang-orang terdekat.Di SMP Negeri 6 Semarang, Jawa Tengah, kepala sekolah menanamkan nilai integritas, dengan membuka "warung kejujuran". Koperasi sekolah ditutup sepanjang hari. Sebagai gantinya, siswa dapat membeli alat tulis, buku, dan berbagai keperluan lain di warung. Mereka mengambil sendiri dan membayar sesuai harga yang tertera di kotak yang disediakan. Di hari lain diadakan pemungutan sampah bersama untuk menanamkan nilai gotong royong. Untuk menangkal paham radikalisme di sekolah, SMA Negeri 9 Bandar Lampung menggelar diskusi internal dengan para siswa. Diskusi tentang kebangsaan dan kebinekaan Indonesia diadakan setiap bulan. "Siswa diajak membahas peristiwa yang sedang menjadi perhatian publik. Dengan begitu, sikap kritis mereka bisa tumbuh," kata Imam Santoso, guru Bimbingan Konseling. Pakar pendidikan karakter Doni Koesoema mengingatkan, sekolah merupakan penyemai persatuan bagi generasi muda. Di dalam pendidikan tidak boleh ada praktik diskriminasi. Saling memahami dalam budaya merupakan pintu gerbang  pluralisme yang memperkuat kebangsaan. Dalam hal ini, guru, manajemen sekolah, dan keluarga hendaknya bersinergi.(DNE/ELN/GER/VIO/DIT)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000