Pengemudi Angkutan Daring DIY Keberatan dengan Sejumlah Regulasi
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Paguyuban pengemudi angkutan sewa khusus berbasis aplikasi daring di Daerah Istimewa Yogyakarta memprotes sejumlah regulasi yang dinilai merugikan mereka. Beberapa ketentuan yang diprotes itu adalah mengenai badan hukum dan uji kelayakan kendaraan.
”Angkutan sewa khusus ini, kan, sesuatu yang baru. Jadi, harusnya kami ini dibuatkan aturan yang benar-benar baru dan sesuai dengan kondisi yang ada,” kata penasihat Paguyuban Pengemudi Online Jogjakarta (PPOJ) Edi Warsito dalam audiensi dengan DPRD DIY, Senin (24/7), di Yogyakarta.
Edi menjelaskan, pihaknya keberatan dengan sejumlah poin yang ada dalam dua peraturan pemerintah terkait angkutan sewa khusus. Aturan pertama adalah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.
Adapun aturan kedua adalah Peraturan Gubernur DIY No 32 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Taksi dan Angkutan Sewa Khusus Menggunakan Aplikasi Berbasis Teknologi Informasi.
Edi menyatakan, dua aturan yang dikeluarkan pemerintah tersebut seolah menempatkan pengemudi angkutan daring sebagai karyawan atau pegawai dari sebuah perusahaan berbadan hukum. Hal itu tecermin dari aturan yang mewajibkan mobil untuk angkutan daring harus memiliki surat tanda nomor kendaraan (STNK) atas nama badan hukum.
Padahal, kata Edi, dalam sistem angkutan daring yang berlaku selama ini, para pengemudi merupakan mitra, bukan pegawai dari perusahaan aplikasi ataupun perusahaan angkutan. Apalagi, mobil yang dipakai sebagai angkutan daring kebanyakan juga merupakan milik pribadi pengemudi bukan milik perusahaan.
”Konsep transportasi online itu, kan, sebenarnya hanya memanfaatkan kendaraan-kendaraan milik personal yang tidak terpakai untuk dikaryakan agar mendapatkan uang,” ujar Edi.
Dia menambahkan, PPOJ juga merasa keberatan dengan prosedur uji kelayakan kendaraan atau uji KIR terhadap angkutan daring. Keberatan muncul karena prosedur mengenai uji KIR angkutan daring disamakan dengan angkutan umum lainnya.
Menurut Edi, apabila angkutan daring menjalani prosedur uji KIR yang sama dengan angkutan umum, harga jual mobil untuk angkutan daring akan turun. Kondisi itu tentu merugikan para pengemudi angkutan daring sebagai pemilik kendaraan.
”Kalau kendaraan yang harga jualnya turun itu milik perusahaan, misalnya, perusahaan otobus atau taksi, kerugian itu menjadi beban perusahaan. Sementara di angkutan sewa khusus, kerugian akibat penurunan harga akan menjadi beban pengemudi,” ungkapnya.
Edi mengatakan, para pengemudi angkutan daring tidak menolak uji kelayakan untuk menjamin kendaraan yang mereka pakai benar-benar layak jalan. Namun, metode uji kelayakan itu harusnya tidak disamakan dengan metode uji KIR angkutan umum.
”Misalnya saja, uji kelayakan bisa dengan memastikan kendaraan angkutan daring selalu menjalani servis rutin secara berkala,” tuturnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan DIY Gatot Saptadi mengatakan, keharusan pengemudi angkutan daring dinaungi oleh badan hukum bertujuan agar ada kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas operasional angkutan tersebut. Kejelasan soal penanggung jawab itu penting untuk menjamin keselamatan penumpang. Di sisi lain, ketentuan itu juga penting untuk menjamin hubungan kerja antara pengemudi angkutan daring dan perusahaan yang menaunginya.
Gatot menambahkan, apabila para pengemudi angkutan daring di DIY keberatan dengan aturan yang ada, dia mempersilakan mereka menempuh jalur hukum. ”Kalau kami di dinas perhubungan hanya melaksanakan aturan yang ada,” ujarnya.