YOGYAKARTA, KOMPAS — Penyebaran layar bioskop yang tidak merata mempersempit akses masyarakat untuk menonton film nasional. Hal ini jadi salah satu penyebab sulitnya menghilangkan kultur pembajakan dalam industri film Indonesia. Keterlibatan negara dibutuhkan untuk membenahi ekosistem perfilman nasional.
”Penyebaran 1.800 layar bioskop di Indonesia masih terpusat di sekitar ibu kota provinsi. Pemerintah, baik di level pusat maupun daerah, belum aktif terlibat dalam penyediaan infrastruktur bioskop di daerah,” kata Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) 56 Marcella Zalianty, dalam diskusi Perang Melawan Pembajakan Film di Era Digital di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (26/7/2017).
Berdasarkan riset yang dilakukan portal filmindonesia.or.id, hanya 13 persen kabupaten dan kota di Indonesia yang punya akses ke bioskop. Sebanyak 87 persen dari total layar bioskop di Indonesia terdapat di Jawa. Sementara 35 persen layar bioskop terpusat di DKI Jakarta.
Namun, menurut Marcella, berdasarkan hasil survei mandiri yang dilakukan Parfi 56, tingkat ketertontonan film nasional oleh masyarakat yang berdomisili di 35 kabupaten dan kota di Pulau Jawa cukup tinggi. Sayangnya, mayoritas responden menonton film dari DVD bajakan atau mengunduh versi digital dari situs ilegal.
Rendahnya kesadaran masyarakat dalam menghargai kekayaan intelektual menyebabkan merajalelanya pembajakan film secara fisik ataupun digital. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 28 mengenai Hak Cipta yang merupakan delik aduan membuat pemerintah seolah membiarkan tindakan tersebut.
”Meski dalam UU 28 Tahun 2014 diatur dengan tegas sanksi pidana terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembajakan, aparat tidak akan bertindak sebelum ada laporan pelanggaran hak cipta,” kata Marcella.
Data Asosiasi Produser Film Indonesia menunjukkan kerugian yang dialami industri film nasional akibat pembajakan, baik secara fisik maupun digital, rata-rata mencapai Rp 347 miliar per tahun. Sementara kerugian pemerintah dari pajak pertambahan nilai bisa mencapai Rp 65 miliar per tahun.
Pemblokiran ratusan situs daring yang memuat konten film bajakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, menurut Marcella, kurang efektif menekan lalu lintas pengunduhan konten. Setelah situsnya diblokir, biasanya pengelola situs memindahkan konten mereka ke domain baru.
Selain mengurangi tingkat pembajakan film nasional, kehadiran bioskop tingkat kedua di kabupaten dan kota yang jauh dari akses layar bioskop, menurut Marcella, bisa merangsang para sineas Tanah Air untuk berlomba membuat konten film yang berkualitas.
”Produser pasti akan lebih banyak lagi membuat konten film berkualitas karena sadar akses untuk menonton film mereka secara legal menjadi lebih luas,” ujar Marcella yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Kerja Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perfilman dan Budaya.
Tahun terbaik
Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Fauzan Zidni mengatakan, tahun 2016 menjadi salah satu tahun terbaik Indonesia dilihat dari skala pangsa pasar ataupun jumlah produksi film.
”Pangsa pasar tahun lalu menembus 34 persen, sementara jumlah film nasional yang diputar di bioskop mencapai 140 film,” ujarnya. Dia berharap perluasan akses menonton film nasional dapat memperbaiki kualitas ekosistem perfilman di Indonesia di tahun-tahun selanjutnya.
Perluasan akses menonton, menurut Fauzan, tidak hanya dapat dilakukan dengan menambah jumlah layar bioskop, tetapi juga dengan mendorong kemunculan penyedia situs menonton daring yang legal dan berbayar.
”Kita juga harus mendukung dukung agar bisnis layanan konten film online berlangganan di dalam negeri tumbuh subur,” ujar Fauzan.