Kedokteran di Universitas Papua Masuki Babak Baru
JAKARTA, KOMPAS — Pengampuan Universitas Indonesia terhadap Fakultas Kedokteran Universitas Papua di Sorong, Papua Barat, memasuki babak baru. Pembiayaan yang semula ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Kabupaten Sorong kini beralih menjadi beban bersama 12 kabupaten/kota lain di provinsi tersebut.
Bahkan, Pemerintah Provinsi Papua Barat pun ikut menyokong pembiayaan dengan memanfaatkan dana otonomi khusus. Aktivitas perkuliahan yang tersendat selama 10 bulan terakhir dipastikan dapat berlanjut kembali pada pertengahan Agustus nanti.
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan, Rabu (26/7), menjamin, untuk tiga tahun ke depan, yakni 2017-2019, setiap kabupaten/kota akan menyediakan dana Rp 1,7 miliar per tahun. Dana sebesar itu juga akan disediakan Pemprov Papua Barat. Dengan demikian, total dana yang tersedia setiap tahun sebesar Rp 23,8 miliar.
Skema pembiayaan itu menjadi jabaran dari perjanjian kerja sama antara Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Papua (Unipa) beserta Pemprov Papua Barat. Naskah kerja sama itu ditandatangani Rektor UI Muhammad Anis, Rektor Unipa Jacob Manusawai, dan Gubernur Dominggus Mandacan di kantor Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti), Jakarta, Selasa (25/7). Acara itu dihadiri Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemristek dan Dikti Intan Ahmad.
Perjanjian kerja sama tersebut dengan sendirinya ”merevisi” perjanjian kerja sama antara UI dan Unipa yang terjalin tahun 2014 semasa urusan perguruan tinggi masih dibawahkan Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketika FK Unipa dirintis tiga tahun lalu, pembiayaan ”dinyatakan” ditopang oleh Pemkab Sorong. Kali ini, 12 kabupaten dan satu kota di Provinsi Papua Barat ikut berpartisipasi. Bahkan, Pemprov Papua Barat pun ikut menyokong.
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan menjamin dana otonomi khusus akan teralokasi sebesar itu untuk membiayai kegiatan pada pendidikan kedokteran di Unipa. ”Sebelum dibagi ke kabupaten/kota, terlebih dahulu kami langsung sisihkan dana sesuai komitmen bersama,” ujarnya.
Intan Ahmad menyatakan, pihaknya memediasi para pihak sebagai langkah afirmasi untuk membuka akses pendidikan dokter di Papua. Harapannya, kelak akan tercetak dokter dari putra-putri daerah Papua yang dapat memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di pelosok Papua.
Sebetulnya, program pengampuan itu sempat berjalan sekitar dua tahun, yakni 2014-2016. Memasuki tahun ketiga, kegiatan perkuliahan terhenti lantaran para dosen dari UI tak kunjung datang lagi untuk mengajar di kampus yang berlokasi di Sorong itu. Musababnya, aliran dana dari Pemkab Sorong tersendat.
Menurut Dekan FKUI Ratna Sitompul, sekitar 200 dosen secara bergantian bolak-balik Jakarta-Sorong untuk membawakan kuliah, sekaligus menyiapkan modul-modul pembelajaran. ”Gonta-ganti” tenaga akademik yang dikirim tak terhindarkan karena sebagian dosen itu juga sibuk mengajar di UI dan juga sedang menempuh pendidikan di beberapa universitas.
”Setelah pembiayaan tersendat, mereka akhirnya tak datang lagi ke Sorong,” ucap Ratna.
Keterangan senada dikemukakan Dekan FK Unipa Kanadi Sumapradja. Menurut dia, para dosen biasanya datang mengajar selama tiga hari di Sorong, kemudian kembali ke Jakarta.
Sejak Oktober 2016, kegiatan perkuliahan bagi 102 mahasiswa FK Unipa terhenti. Namun, menurut Kanadi, selama masa vakum tersebut, tetap ada upaya para dosen untuk mengajar secara daring (online).
Jacob Manusawai menyatakan, perkuliahan dibuka kembali pertengahan Agustus mendatang. Namun, untuk tahun 2017, tidak ada penerimaan mahasiswa baru. Penerimaan mahasiswa baru dibuka kembali tahun 2018.
Jadi pembelajaran
Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) menyambut baik komitmen para pihak yang tertuang dalam perjanjian kerja sama tersebut. Sekretaris Jenderal ISMKI Yoga Mirza Pratama berharap, kegiatan akademik mahasiswa FK Unipa yang sudah 10 bulan telantar segera berjalan aktif kembali.
”Sepuluh bulan yang terbuang sia-sia karena ketidakprofesionalan beberapa pihak. Padahal, kita ketahui bersama, FK Unipa merupakan harapan utama pemenuhan tenaga dokter di tanah Papua Barat. Kami akan terus mendampingi dan mengawasi teman-teman FK Unipa agar kejadian ini tidak terulang kembali,” tutur Yoga.
Dia juga menegaskan, kasus di FK Unipa ini patut menjadi pembelajaran bersama, terutama bagi Kemenristek dan Dikti, bahwa membuka FK tidak bisa sembarangan, apalagi tidak divisitasi. FK Unipa yang notabene kampus pelat merah dan didukung pemerintah saja bisa terjadi masalah-masalah seperti ini, sampai menghentikan perkuliahan, apalagi di kampus-kampus swasta. Risiko terjadinya masalah-masalah tentu lebih besar.
ISMKI juga mengingatkan Kemenristek dan Dikti agar tetap konsisten memberlakukan Moratorium Pendirian FK baru yang sudah dimulai pada Juni 2016 melalui Surat Edaran Menristek dan Dikkti Nomor 1/M/SE/VI/2016 tanggal 17 Juni 2016. Jangan ada lagi FK-FK baru yg bermasalah karena pendirian FK yang asal-asalan. Surat moratorium itu terbit setelah ISMKI mendemo Menristek dan Dikti yang tahun lalu membuka delapan FK baru di daerah yang sudah padat FK-nya, yakni Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Malang (Jawa Timur), dan Makassar (Sulawesi Selatan).
Mirza pun menyebutkan sebaran dari delapan FK baru yang dikeluarkan izinnya pada Maret 2016 itu. Di Semarang, terbit izin untuk FK Universitas Wahid Hasyim. Padahal, di sana sudah ada tiga FK, yakni di Universitas Diponegoro, Universitas Islam Sultan Agung, dan Universitas Muhammadiyah Semarang.
Di Surabaya terbit izin untuk tiga FK, yakni untuk Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Surabaya, dan Universitas Ciputra Surabaya. Padahal, di kota tersebut sudah ada lima FK yang tersebar di Universitas Airlangga, Universitas Hang Tuah, Universitas Wijaya Kusuma, Universitas Katolik Widya Mandala, dan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
Di Malang juga terbit satu izin FK, yakni di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, meski di sana sudah ada tiga FK, yakni di Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, dan Universitas Islam Malang.
Di Makassar terbit dua izin FK, yakni di Universitas Bosowa dan UIN Alauddin Makassar. ”Bosowa ini yang paling parah karena sarana dan prasarananya belum memadai dan tidak divisitasi,” ujar Yoga.
Padahal, sebelumnya, di kota itu sudah ada tiga FK, yakni di Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia, dan Universitas Muhammadiyah.
Ada satu lagi izin FK yang terbit, yakni di Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara. Namun ini tidak dianggap bermasalah karena di daerah tersebut memang belum ada FK sebelumnya.