Musik Folk yang Tidak ”Menor”, tapi Memukau
Musik folk terus bergema. Umurnya panjang karena melodinya tak rumit. Kisah-kisah dalam lagunya pun seperti membuat pendengarnya merasa sedang didongengi, walau tak semuanya manis.
”Pagi itu seorang kakek sedang mesra memeluk sang cucu, bernyanyi lirih dan bercerita tentang indahnya dunia, langit yang cerah, angin yang lembut membelai mereka berdua. Pagi itu di sebuah desa yang jauh di sana,” demikian Iksan Skuter memulai lagu ”Kisah Kakek dan Cucu”.
Liriknya puitik. Petikan gitar akustik bernada minor di bagian itu pun melenakan. Sayangnya, nuansa indah itu tidak mewakili keseluruhan balada lagu.
Pada bait berikutnya, Iksan memaparkan ketegangan. Ada ”mereka mulai bergerak datang… membawa batu, kayu dan parang”. Kesan kedamaian sontak bubar. Lagu yang mengusik itu rupanya berlatar kisah pembunuhan Salim Kancil, seorang kakek satu cucu di Lumajang, Jawa Timur.
Pada 26 September 2015 pagi, Salim melepaskan gendongan cucunya karena ia didatangi puluhan orang. Ia digeret ke lapangan kantor Desa Selok Awar-awar. Ia dipukuli ”mereka”, disiksa—termasuk disengat listrik—hingga meregang nyawa. Kekejaman itu mustahil melahirkan melodi nada yang indah.
Iksan menuturkan tragedi dalam bentuk lagu itu di acara Folk Music Festival (FMF) 2017 di Kota Batu, Jawa Timur, Sabtu pekan lalu. Penyanyi dan penulis lagu asal Kota Malang itu bersama 13 penampil lainnya seperti ”menyerahkan diri” dalam naungan genre musik yang disebut folk.
Corak musik di acara itu tak melulu mirip yang disuguhkan Iksan. Ada Danilla Riyadi dan band pengiringnya yang jazzy, ada juga grup Payung Teduh yang menyisipkan pola keroncong. Tampil pula Silampukau asal Surabaya yang beberapa tembangnya bernuansa country. Sementara band Float menggenjreng gitarnya dalam gaya latin.
Pada departemen lirik, untaian kalimatnya cenderung sastrawi, seperti puisi yang dilagukan. Ada yang ”boros” metafora, ada yang lugas minim kiasan. Cerita lagunya beragam: mulai dari kisah orang kalah sampai mabuk asmara; tentang gunung yang dikeruk hingga senja yang terlalu indah dituliskan. Umumnya cerita itu diiringi instrumen akustik, seperti gitar, bas betot, harmonika, hingga akordeon. Itulah bentuk musik folk yang tersaji di FMF. Bentuk itu juga yang belakangan sering berseliweran pada beragam pentas besar dan kecil di berbagai penjuru Indonesia.
Manjakani, duo pasangan Muhammad Taufan Eka Prasetya dan Nabilla Syafani, menceritakan geliat musik folk di kota asal mereka, Pontianak, Kalimantan Barat, setidaknya setahun belakangan. ”(Genre) Musiknya mulai variatif. Pop, jazz, dan folk mulai ramai, tidak yang cinta-cintaan terus,” ujar Taufan, yang permainan gitarnya beranjak dari gaya klasik.
Mereka, seperti kebanyakan pemusik folk, bersandar pada gitar akustik. Walau begitu, Manjakani ingin memberikan warna khas. Nabilla membubuhkan cengkok nyanyian tradisional Dayak dan Melayu pada lagu ”Asmaraweda”, singel pertama mereka.
Apa adanya
Komposer musik Indra Perkasa menganggap musik folk merupakan bentuk musik yang apa adanya. ”Secara musikal, ia (folk) tidak menor, namun kuat di penceritaan. Kalau dengar lagu folk itu seperti menyimak cerita,” ucap Indra, yang juga main bas mengiringi Monita Tahalea ini.
Karena bentuk musik yang ”apa adanya” itulah, menurut Indra, folk bisa mudah bersinergi dengan corak musik lain. Ia sendiri baru merampungkan proyek kolaborasi antara Silampukau dan The Hydrant, grup rockabilly dari Bali. ”Keduanya sama-sama kuat di segi penceritaan,” ujar Indra.
Sejatinya, kata folk yang berarti ”rakyat” juga menggambarkan asal-muasal musik ini. Setiap daerah punya bentuk musik folk masing-masing. Di daerah Manggarai, NTT, misalnya, petani melakukan nenggo atau berdendang secara spontan ketika panen. Jika tradisi itu disandingkan dengan musik modern, muncullah gaya folk kontemporer seperti yang kita dengar sekarang.
Penyanyi Sandrayati Fay, misalnya, menampilkan potongan nyanyian tradisional Skotlandia dalam komposisi pop. ”Musik folk sudah lama ada di banyak kelompok masyarakat mengiringi kebiasaan-kebiasaan mereka. Gaya ini dipopulerkan (antara lain) melalui Woodie Guthrie, Bob Dylan, Pete Seeger, dan Joan Baez,” tutur Sandra yang mempelajari musik dan teater di Amerika Serikat.
Membaur
Oleh karena itu, musik folk perlu tetap berada di tengah-tengah kumpulan orang, berinteraksi dengan para pendengarnya. Makanya, Felix Dass, penggagas Cikini Folk Festival di Jakarta, yang juga manajer AriReda, berupaya membongkar batas antara pemusik folk dan pendengarnya. Felix selalu mengajak Ari Malibu dan Reda Gaudiamo menyempatkan diri duduk di balik meja dagangan pernak-pernik setiap habis tampil.
Kegiatan di sana tak melulu transaksional, tetapi juga ada obrolan-obrolan ringan antara AriReda dan penontonnya. Cara itu rupanya membuat AriReda makin sering tampil, bahkan mampu memproduksi album sendiri. ”Setiap habis main, bisalah terjual 30 keping CD. Kami sangat nyaman dengan cara ini,” kata Felix.
Manjakani juga berbaur dengan penonton serta penampil lain seusai tampil siang hari. Mereka membawa album singel berisi dua lagu yang dibagikan terbatas.
Penyelenggara FMF membuat mata acara ”makan sayang”, yaitu makan siang bagi penampil di tengah-tengah arena. Pengunjung yang sudah mulai ramai itu bisa bertegur sapa dengan pujaannya. Penyanyi Danilla dan Monita termasuk yang paling sibuk melayani foto bareng pengunjung.
Banyak lagu folk juga bersinggungan langsung dengan pendengarnya. Iksan Skuter mengenalkan lagu baru berjudul ”Bapak”. Ia menceritakan seorang ayah yang terlalu gengsi menanyakan langsung kabar anak lelakinya. ”Ibuku yang paling sering menanyakan kabarku. Aku tahu itu disuruh Bapak,” kata Arya Sasongko, penonton di saf terdepan.
Ah, I feel you, Bro.