Monarki Thailand, ”Tertutup” tetapi Dicintai Rakyat
Putri Ubol Ratana (21 tahun), putri sulung Raja Muangthai (Thailand), Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit Kitiyakara melepaskan hak kebangsawanan dan semua gelar yang dimilikinya. Dia memilih menjadi ”orang biasa” dengan nama Ubol Ratana Mahidol.
Dia merasa kedudukannya sebagai Putri Chao Fah memberi kewajiban besar yang harus dipenuhinya. Kewajiban itu tak dapat dia pikul. Ubol Ratana meminta sang ayah, Raja Bhumibol Adulyadej, untuk melepaskan dirinya dari kebangsawanan dan martabatnya sebagai putri kerajaan. Dengan demikian, Ubol Ratana dapat melaksanakan kesehariannya sebagai warga biasa.
Berita tentang keluarga kerajaan selalu menarik diikuti. Tak terkecuali berita tentang keluarga Kerajaan Thailand yang dimuat Kompas, 28 Juli 1972 atau 45 tahun lalu.
Berita tentang keluarga Kerajaan Thailand relatif tak banyak beredar. Apalagi Thailand memiliki ketentuan yang dikenal sebagai Lese Majeste, Pasal 112 Hukum Pidana Thailand yang melindungi anggota senior keluarga kerajaan dari hinaan atau ancaman.
”Seseorang yang merusak nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, putra mahkota, atau bangsawan akan dihukum penjara hingga 15 tahun.” Demikian bunyi aturan yang tidak berubah sejak diberlakukan pada tahun 1908. Sanksi Lese Majeste itu dipertegas lagi tahun 1976 (Kompas, 18 Oktober 2016).
Jadi, ketika berita tentang permohonan Putri Ubol Ratana menjadi ”orang biasa” muncul, desas-desus pun menyertainya. Salah satu kabar yang tersiar, Putri Ubol Ratana harus melepaskan hak kebangsawanannya karena menikah dengan teman kuliahnya di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat.
Selepas belajar di Chitrlada School yang khusus didirikan untuk putra-putri bangsawan, tahun 1968 pada usia 17 tahun Ubol Ratana melanjutkan pendidikannya di Boston, Massachusetts. Dia lalu meneruskan pendidikannya di MIT. Permohonan Ubol Ratana tersebut dikabulkan sang ayah.
Tak lama kemudian muncul berita bahwa putri sulung Raja Bhumibol ini menikah dengan Peter Ladd Jensen (21). Pernikahan itu berlangsung pada 19 Agustus 1972. Tentang haknya sebagai bangsawan, Ubol Ratana tak keberatan melepaskannya karena sebagai anak perempuan dia tak sesuai untuk mewarisi takhta kerajaan (Kompas, 22 Agustus 1972).
Sejak waktu itu, nama Putri Ubol Ratana menghilang dari pemberitaan. Tahun 1980, ketika Ratu Sirikit berkunjung ke AS untuk mempromosikan hasil kerajinan tangan para pengungsi Kamboja yang dilatih menenun sutra Thailand, Ubol Ratana muncul sebagai salah seorang peragawatinya.
Ketika itulah nama Ubol Ratana disebut kembali di muka umum. Bahkan, Ratu Sirikit mengumumkan pula rencana sang putri untuk kembali ke Thailand dan akan melahirkan anak pertamanya di negeri sang bunda. Ratu menyebut menantunya sebagai anak yang baik (Kompas, 24 Agustus 1980).
Hubungan Putri Ubol Ratana dengan sang ayah relatif dekat. Mereka menyukai olahraga layar dan bersama-sama memenangkan lomba layar dalam SEAP Games 1967. Ubol Ratana juga senang berkuda dan bermain bulu tangkis, selain menekuni juga puisi, nyanyian, dan tarian klasik Thailand.
Berpisah
Sekitar 10 tahun kemudian, berita pernikahan muncul kembali dari istana Kerajaan Thailand. Berbeda dengan sang kakak, Putri Chulabhorn (24) menikah dengan perwira penerbang Virayuth Didyasarin (26) di ruang Dinasti Chakri. Prosesi pernikahan putri bungsu Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit ini disaksikan rakyat Thailand lewat televisi (Kompas, 10 Januari 1982).
Upacara pernikahan itu berlangsung sekitar 30 menit. Putri Chulabhorn mengenakan baju pengantin tradisional Thailand warna krem dengan sulaman benang emas, sedangkan Virayuth Didyasarin memakai seragam angkatan udara putih.
Pengantin pria didampingi orangtuanya, Marsekal Udara Prayad dan Vichitra Didyasarin. Pengantin perempuan diantar Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit, juga ibu suri Putri Srinabarin dan kakak-kakaknya. Tampak pula Ubol Ratana yang telah kehilangan gelar bangsawannya. Sore harinya diadakan pesta kebun di istana.
Namun, pernikahan mereka kandas 14 tahun kemudian. Dalam sebuah wawancara televisi di Bangkok, 11 Oktober 1996, Putri Chulabhorn mengungkapkan kehidupan pribadinya. Mereka bercerai pada Februari 1996 karena sang suami ringan tangan.
Penampilan Putri Chulabhorn di televisi termasuk peristiwa langka karena selama ini kehidupan pribadi keluarga Raja Bhumibol relatif tak muncul di media massa. Orang pun tak berani mengusik keluarga kerajaan karena takut terkena sanksi Lese Majeste.
”Kami tak mungkin hidup bersama lagi karena ia sangat pemarah, sulit memahami orang lain, dan suka memukul. Tubuh saya sakit, hati saya sakit, dan sungguh sulit memulihkannya, sampai saya berbicara dengan Phra Maha Bua,” kata Putri Chulabhorn menyebut nama seorang pendeta (Kompas, 14 Oktober 1996).
Sang putra mahkota
Sebagai satu-satunya anak lelaki Raja Bhumibol, Pangeran Maha Vajiralongkorn otomatis menjadi putra mahkota. Lahir di Istana Chitlada, Bangkok, 28 Juli 1952, pada tahun 1972 ketika usia Vajiralongkorn 20 tahun sang ayah memberinya gelar Pangeran Mahkota Siam (Kompas, 30 September 2006).
Menempuh pendidikan lanjutan di Inggris dan Australia, Vajiralongkorn kemudian menyandang pangkat jenderal pada Angkatan Darat Kerajaan, pangkat laksamana pada Angkatan Laut Kerajaan, dan pangkat marsekal pada Angkatan Udara Kerajaan Thailand.
Sang Putra Mahkota dikabarkan tiga kali menikah dan tiga kali pula bercerai. Vajiralongkorn menikah dengan Putri Soamsavali, Putri Yuvadhida Polpraserth, dan Putri Srirasmi. Setelah sekitar 13 tahun menikah, Srirasmi melepaskan status kebangsawanannya (Kompas, 14 Desember 2014).
Istana Thailand pun mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Raja Bhumibol telah memberi izin untuk mengumumkan, Putri Srirasmi, istri Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn, lewat dokumen tertulis telah melepaskan status kerajaannya. Hal ini juga berarti pernikahan Srirasmi dan Vajiralongkorn telah berakhir.
Desas-desus yang muncul seputar lepasnya status kebangsawanan Srirasmi karena skandal korupsi yang dilakukan kerabatnya. Sang paman, seorang jenderal polisi, ditahan dengan tuduhan memperoleh kekayaan dari penyelundupan dan judi. Empat saudara lelaki Srirasmi dan dua kerabatnya pun turut ditangkap.
70 tahun
Raja Bhumibol Adulyadej lahir di Cambridge, Massachusetts, 5 Desember 1927, dan meninggal dunia pada 13 Oktober 2016 dalam usia 88 tahun. Bhumibol menjadi Raja Thailand sekitar 70 tahun. Dia adalah anak ketiga atau anak lelaki kedua pasangan Pangeran Mahidol dan Mom Sangwal.
Tahun 1932 terjadi kudeta di Thailand yang menggulingkan kekuasaan kerajaan yang absolut. Sebagai gantinya Thailand menganut sistem monarki konstitusional (Kompas, 4 Desember 2007).
Raja Bhumibol yang bergelar Rama IX naik takhta menggantikan sang kakak, Raja Ananda Mahidol atau Rama VIII yang kematiannya masih diselimuti misteri. Raja Ananda Mahidol dikabarkan tewas karena luka tembakan di kepalanya.
Bhumibol dinobatkan sebagai raja pada 9 Juni 1946, tetapi baru diberi mahkota pada 5 Mei 1950. Ia menikah dengan Mom Rajawongse Sirikit Kitiyakara. Mereka dikaruniai empat anak, yakni Putri Ubol Ratana yang lahir pada 5 April 1951, Pangeran Maha Vajiralongkorn (28 Juli 1952), Putri Maha Chakri Sirindhorn (2 April 1955), dan Putri Chulabhorn Walailak (4 Juli 1957).
Pada masa awalnya sebagai raja, Bhumibol kerap berkunjung ke desa-desa di berbagai pelosok Thailand. Dia mendengarkan keluhan warga dan berusaha mencarikan jalan keluarnya. Raja Bhumibol menaruh perhatian besar pada masalah pertanian, pengairan, sampai pemasaran produk pertanian.
Dia melakukan berbagai percobaan pertanian di lingkungan Istana Chitrlada ataupun di luar istana. Beragam bibit unggul yang ditemukan kemudian disebarkan kepada petani. Sementara Ratu Sirikit lebih memperhatikan peningkatan pendapatan keluarga dengan mengembangkan kerajinan (Kompas, 26 September 1995).
Jadilah hasil pertanian dan kerajinan Thailand berkembang. Infrastruktur untuk mendukung pemasaran hasil pertanian dan kerajinan pun dikembangkan. Dampak selanjutnya, orang muda yang sebelumnya mencari pekerjaan ke kota besar mau kembali ke desa karena peluang ekonomi di desa juga besar.
Tercatat lebih dari 4.000 proyek Raja Bhumibol yang berkaitan dengan irigasi, pengelolaan sumber daya air, konservasi hutan, perikanan, perbaikan erosi, teknologi pertanaman, reboisasi, pengembangan lahan, pengambangan perdesaan dan komunitas, pelayanan kesehatan dasar, pendidikan, kontrol banjir, transportasi, sampai proteksi lingkungan (Kompas, 16 September 2003).
Intervensi
Sistem monarki konstitusional membuat kekuasaan Raja Thailand terbatas. Namun, kenyataannya, peranan Raja Bhumibol dalam kehidupan bangsa Thailand begitu besar. Dia bahkan dianggap sebagai sosok setengah dewa.
Rakyat dan kalangan militer mencintai dan menghormati sang raja. Apa yang dikatakan Raja Bhumibol seakan menjadi perintah yang harus dilaksanakan. Meskipun raja bersikap rendah hati dan lebih mengabdikan diri untuk bekerja pada kegiatan yang nonpolitis.
Sejak tahun 1932 sampai September 2003, di Thailand telah terjadi setidaknya 17 kali percobaan kudeta, 17 pemilihan umum, dan 15 kali pergantian konstitusi (Kompas, 25 Mei 1992). Sebanyak 21 perdana menteri pun silih berganti (Kompas, 16 September 2003).
Namun, begitu sang raja sudah memutuskan sesuatu hal, semua orang seakan mematuhinya. Kondisi politik yang memanas dan pertikaian pun sirna begitu raja mengintervensi.
Misalnya, pada pertengahan Mei 1992, Jenderal Suchinda Kraprayoon yang mewakili militer dan Jenderal Chamlong Srimuang yang mewakili partai politik berseteru. Mereka menghadap Raja Bhumibol. Di hadapan para pemirsa televisi, kedua jenderal itu bersujud di kaki sang raja. Hanya dalam waktu sekitar 10 menit, kemelut politik yang menewaskan sedikitnya 50 korban itu berakhir (Kompas, 24 Mei 1992).
Ucapan Raja Bhumibol tegas, ”Kalian berdua, Jenderal Suchinda dan Jenderal Chamlong, harus bekerja sama mencari penyelesaian bagi negara kita. Negara milik seluruh rakyat, bukan cuma dua orang.” Jenderal Suchinda yang menjadi perdana menteri lalu mengundurkan diri. Thailand pun kembali tenang (Kompas, 5 Desember 1995).
Sebelumnya, tahun 1973, ketika Bangkok dibanjiri darah demonstran penentang trio tiran Thanom-Praphas-Narong, Raja membuka pintu gerbang istana dan para demonstran pun masuk. Seketika rakyat pun tahu, kekuasaan trio Narong telah berakhir.
Tahun 1976 mahasiswa berdemonstrasi, kali ini Bhumibol membela pemerintahan. Lagi, pada 1981 sekelompok militer berusaha mengkudeta PM Prem Tinsulanonda. Raja menyelamatkan Prem di istana, kudeta pun gagal karena militer menghormati sikapnya.
Kompas, 9 November 1997, mencatat terjadi krisis ekonomi yang membuat PM Chavalit Yongchaiyudh mengundurkan diri. Raja juga bertemu para petinggi militer tak lama setelah PM Thaksin Shinawatra digulingkan dalam kudeta militer tak berdarah tahun 2006 (Kompas, 14 Oktober 2008).
Memburuk
Sejak sekitar tahun 2008 Raja Bhumibol jarang tampil di muka umum karena sakit. Dia sampai membatalkan berpidato di televisi karena harus dirawat di rumah sakit (Kompas, 24 Desember 2008). Kondisi kesehatan raja tak pelak memengaruhi pula situasi pasar modal. Indeks saham di Bursa Efek Thailand sempat melemah.
”Raja merupakan institusi stabilitas politik di Thailand sehingga pasar memperhatikan kesehatannya dengan saksama. Pergerakan saham yang tajam tampaknya akan mungkin terjadi selama tidak ada kepastian,” kata Sebastien Barbe dari Calyon Investment Bank di Hongkong (Kompas, 16 Oktober 2009).
Pada hari ulang tahunnya ke-85, Raja Bhumibol berpidato singkat di balkon istana. Kali ini dia menyerukan agar rakyat menjaga persatuan dan stabilitas. Setelah itu, dia kembali dilarikan ke rumah sakit (Kompas, 6 Desember 2012).
Namun, kondisi kesehatan sang raja memburuk. Pihak istana mengeluarkan pernyataan, Raja Bhumibol dirawat di Rumah Sakit Siriraj karena ada cairan di otaknya dan infeksi di dada (Kompas, 12 Agustus 2015). Pada peringatan 70 tahun takhta sang raja, 770 biksu memimpin upacara keagamaan di ruang utama istana. Raja tak muncul, apalagi berpidato (Kompas, 10 Juni 2016).
Tanggal 13 Oktober 2016 Raja Bhumibol mangkat dan penobatan putra mahkota Maha Vajiralongkorn ditunda tahun depan setelah masa berkabung berakhir. Kendali kerajaan dipegang Kepala Dewan Penasihat Kerajaan Prem Tinsulanonda (Kompas, 17 Oktober 2016).
Tugas resmi pertama Raja Maha Vajiralongkorn (64) adalah memimpin doa peringatan 50 hari wafatnya sang ayah. Sebagian orang meragukan kemampuan raja baru dalam menghadapi situasi politik dan ekonomi Thailand. Namun, ancaman hukuman Lese Majeste membuat orang tak berani berspekulasi (Kompas, 3 Desember 2016).
Sumber: Bangkok Post/Reuters/AFP/ AP/Asiaweek/Far Eastern Economic Review