Dua Perempuan di Puncak Dunia
Wajah dua perempuan itu berseri-seri. Sorot mata mereka cerah, memancarkan aura positif kepada hadirin yang memadati sebuah ruangan di salah satu hotel bintang lima di Jakarta, Senin (24/7) siang itu. Bibir mereka pun tak henti melempar senyum teduh dan tawa lepas kepada puluhan hadirin yang ada.
Itulah ekspresi kegembiraan tiada tara dua perempuan pendaki dari Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, yakni Fransisca Dimitri (23) dan Mathilda Dwi Lestari (23). Kedua perempuan yang tergabung dalam Mahasiswa Parahyangan Pencinta Alam (Mahitala) ini baru saja menyelesaikan misinya mendaki puncak keenam dari tujuh puncak dunia yang berada di tujuh benua (seven summits).
Puncak keenam ini berada di Gunung Denali (6.190 meter dari permukaan laut/mdpl), Alaska, AS. Mereka mencapai puncak Denali pada 2 Juli 2017 setelah melalui pendakian selama lebih kurang 16 hari. Sebelum mencapai puncak Denali, mereka sukses menggapai lima puncak lain, yakni Gunung Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) di Indonesia (13 Agustus 2014), Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia (15 Mei 2015), Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina (31 Januari 2016), Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania (24 Mei 2015), dan Vinson Massif (4.892 mdpl) di Antartika (5 Januari 2017). Kini, tinggal satu puncak lagi yang sedang mereka tuju, yakni Everst (8.848 mdpl) di Nepal. Menurut rencana, pendakian ke Everst akan dilakukan tahun depan.
Capaian ini merupakan capaian prestisius bagi mereka. Apabila sukses mencapai puncak ketujuh di Everst tahun depan, mereka akan tercatat sebagai perempuan pendaki pertama di Indonesia yang sukses melakukan ekspedisi seven summits. Bahkan, hal ini pun baru pertama kali di Asia Tenggara jika mengacu pada seven summits aliran Reinhold Messner.
Bagi mereka, pendakian ini menggemban misi membanggakan Indonesia. Dari satu gunung ke gunung lain, mereka tak henti mengibarkan Bendera Merah Putih dan angklung, alat musik khas negeri ini.
”Banyak pendaki lain yang penasaran dengan kami. Mereka pun bertanya-tanya tentang Indonesia. Dari sana, kami mempromosikan kekayaan alam dan budaya Indonesia kepada mereka. Ini cara kami membanggakan Indonesia ke mata dunia,” ujar Fransisca yang biasa disapa Deedee.
Persiapan panjang
Fransisca dan Mathilda terlibat menjalani ekspedisi seven summits setelah ikut serta dalam ekspedisi mengganti tali tebing (fixed roof) di Carstensz Pyramid, Agustus 2014. Setelah pendakian itu, rekan dan senior di Mahitala memunculkan ide untuk mengusulkan anggota perempuan melakukan ekspedisi seven summits. Sebelumnya, tim laki-laki Mahitala sukses menuntaskan ekspedisi seven summits selama 2009 hingga 2011.
Usulan itu ditanggapi serius. Akhirnya dibuka pendaftaran bagi perempuan yang siap ikut ekspedisi itu. Melalui tahapan seleksi ketat, terpilih tiga orang, yakni Fransisca, Mathilda, dan Dian Indah Karolina (22). Mereka bertiga merupakan bagian dari empat perempuan yang ikut ekspedisi mengganti tali tebing di Carstensz Pyramid.
Setelah itu, mereka mulai melakukan serangkaian persiapan. Mereka turut meriset kondisi dan memastikan hari yang tepat untuk mendaki gunung-gunung itu. Yang paling berat, mereka harus menjalani serangkaian latihan mulai menjaga asupan gizi hingga latihan fisik layaknya tentara.
Latihan persiapan menuju Denali merupakan yang terberat. Mereka harus latihan membawa beban ganda, di pundak tas seberat 24 kilogram (kg) dan di pinggang menarik ban seberat 16 kg. Mereka membawa beban itu melalui rute menanjak dan menurun dari Pasar Kembang, Tangkuban Perahu, dan kembali ke Pasar Kembang sekitar 25 kilometer.
Mereka lakukan itu delapan jam sehari selama tiga hari berturut sebulan sebelum ke Denali. ”Latihan ini dilakukan karena di Denali tidak ada jasa porter (pengangkut barang) dan waktu operasionalnya lama, yakni mencapai 16 jam,” ucap Deedee.
Secara keseluruhan, mereka melakukan latihan enam hari dalam seminggu selama tiga tahun terakhir. ”Kadang kami jenuh latihan terus-menerus. Tapi, kami memotivasi diri sendiri, lebih baik mandi keringat ketika latihan daripada mandi darah di medan perang,” kata Deedee.
Badai dan penyakit gunung
Walaupun sudah melakukan persiapan matang, nyatanya alam tidak bisa ditebak. Kondisi di lapangan jauh lebih berat dari yang diperkirakan. Cuaca bisa berubah sangat cepat dan ekstrem. ”Umumnya di gunung es, pagi tampak cerah, tetapi menjelang siang atau sore cuaca mendung, gelap, hingga terjadi badai,” tutur Mathilda yang biasa disapa Hilda.
Akibatnya, pendakian mereka menjadi sangat berat. Bahkan, mereka sempat diserang badai El Viento Blanco (angin putih). Badai dengan kecepatan hingga 90 km/jam itu ditakuti para pendaki. Badai itu bisa terjadi tiba-tiba dan durasinya bisa mencapai 2-3 hari. Badai itulah yang menewaskan dua pendaki legendaris Indonesia, Norman Edwin dan Didiek Samsu, pada April 1992.
Karena badai ini pula, mereka tertahan tiga hari di basecamp. Hari keempat ketika badai berangsur berkurang, mereka mengambil keputusan melanjutkan perjalanan dengan sangat hati-hati.
Rintangan tak henti sampai situ, menjelang puncak Aconcagua, Dian terkena penyakit gunung (acute mountain sickness/AMS). Ia linglung, bahkan tak bisa diajak berkomunikasi. Ia pun terpaksa dievakuasi untuk turun dan tidak bisa lagi meneruskan ekspedisi. ”Peristiwa ini sempat membuat mental kami jatuh. Tapi, kami introspeksi diri. Mungkin hal ini akibat kami kurang perhatian satu sama lain,” ujar Hilda.
Perjalanan mereka menapaki tujuh puncak dunia di tujuh benua itu bukan hal mudah. Semua itu butuh tekad kuat, keberanian, persiapan matang, dan fisik prima. Namun, lebih dari itu, semua persiapan tersebut tidak akan sukses tanpa dukungan dan doa orang-orang terdekat mereka, antara lain orangtua, saudara, dan rekan-rekan.
Membuat cemas
Perjalanan mereka menapaki tujuh puncak dunia di tujuh benua itu bukan hal mudah. Perjalanan itu perlu tekad kuat, keberanian, persiapan matang, dan fisik prima. Namun, lebih dari itu, semua persiapan tersebut tidak akan sukses tanpa dukungan dan doa orang-orang terdekat mereka, antara lain orangtua, saudara, dan rekan-rekan.
Hal ini diakui Deedee maupun Hilda. Deedee beruntung memiliki ayah seorang anggota Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (Wanadri). Ia pun mendapatkan dukungan penuh dari orangtuanya.
”Selagi positif, saya rasa kegiatan itu patut didukung. Walaupun sebagai orangtua, saya tetap cemas, terutama ketika mereka tidak bergerak selama tiga hari di Aconcagua dan tidak ada kabar selama 20 jam di Denali,” ucap Septamto Inkiriwang (57), ayah Deedee.
Sementara Hilda harus berusaha lebih keras meyakinkan orangtuanya. Keluarganya tidak pernah bersentuhan dengan kegiatan alam, apalagi bergabung dengan mahasiswa pencinta alam. Bahkan, ia sempat dilarang ketika ingin bergabung dengan Mahitala dan ekspedisi seven summits. Seteleh diberi penjelasan panjang, orangtua ia akhirnya mendukung.
Kini, orangtuanya pula yang lebih sering menceritakan pengalaman anaknya kepada sanak saudara secara langsung maupun media sosial. ”Bagi saya, dukungan dan doa orang terdekat, terutama orangtua, sangat penting. Tanpa dukungan dan doa mereka, segala upaya saya tidak akan semulus ini,” tegas Hilda.
Kini, Deedee dan Hilda terus mempersiapkan diri untuk melakukan pendakian ke Everst. Selain untuk membanggakan Indonesia, menurut mereka, ekspedisi ini berarti penting untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa perempuan pun mampu melakukan hal-hal hebat jika punya niat dan tekad yang kuat.
Fransisca Dimitri
Lahir: Jakarta, 4 Oktober 1993
Pendidikan:
- TK Ricci 2, Pondok Aren, Bintaro, Banten (1998-1999)
- SD Ricci 2, Pondok Aren (1999-2005)
- SMP Tarakanita 5, Jakarta (2005-2008)
- SMA Tarakanita 1 di Jakarta (2008-2011)
- Jurusan Hubungan Internasional, FISIP, Unpar (2011-sekarang)
Mathilda Dwi Lestari
Lahir: Jakarta, 26 September 1993
Pendidikan:
- TK Mater Dei, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten (1997-1999)
- SD Mater Dei (1999-2005)
- SMA Mater Dei (2008-2011)
- Jurusan Hubungan Internasional, FISIP, Unpar (2011-sekarang)