Bahan Baku Narkoba Jenis Baru Masuk melalui Pelabuhan Tikus
JAKARTA, KOMPAS — Ahli kimia farmasi Badan Narkotika Nasional, Mufti Djusman, mensinyalir, bahan-bahan membuat new psychoactive substance (NPS) atau zat psikoaktif baru masih diimpor dari luar negeri. Bahan-bahan ini masuk melalui pelabuhan tikus yang tersebar di seantero Tanah Air.
Bentuknya bisa berupa cairan, pil, dan bubuk. ”Baru setelah sampai di Indonesia dikemas menjadi berbagai merek, seperti tembakau gorila, flakka, dan blue sapphire,” tutur Murfi, pekan lalu.
Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Badan Pengawas Obat dan Makanan Rita Endang mengatakan, dalam pemberantasan narkotika, BPOM berperan mengawasi peredaran dan distribusi narkotika di jalur resmi yang digunakan untuk keperluan pengobatan atau kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengawasan dilakukan mulai dari hulu hingga hilir, sejak impor bahan baku, distribusi, hingga penggunaannya di sarana kesehatan.
Pengawasan dilakukan agar narkotika untuk kesehatan digunakan sebagaimana mestinya, tidak disalahgunakan. Agar tidak terjadi kebocoran dari jalur legal ke jalur ilegal, maka penggunaan narkotika untuk kesehatan harus dilaporkan secara ketat.
Saat ini hanya ada satu importir yang diizinkan untuk mendatangkan narkotika sebagai bahan baku obat, yakni PT Kimia Farma. Adapun importir produk jadi narkotika untuk kesehatan selain PT Kimia Farma ada juga PT Mahakam Beta Farma.
Terkait NPS, BPOM selalu melakukan kajian bersama Badan Narkotika Nasional. Kajian diarahkan pada upaya melihat bukti apakah satu NPS sudah bisa dimasukkan ke dalam narkotika golongan I atau belum, termasuk mengumpulkan bukti apakah satu zat tertentu sudah layak dikategorikan sebagai NPS atau belum.
Tidak hanya pemerintah, industri juga memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip cara pembuatan obat yang baik pada produk narkotikanya untuk menjaga kualitas dan keamanan produknya.
Rita menambahkan, narkotika golongan I bekerja dengan menekan sistem saraf pusat, telah dikaji dan ada buktinya. Sementara NPS belum dikaji, belum banyak literatur yang mengulasnya, belum diketahui efeknya. Itulah perbedaan di antara keduanya. Yang berwenang untuk memasukkan satu zat baru pada daftar narkotika golongan I ialah Kementerian Kesehatan.
Tidak hanya pemerintah, industri juga memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip cara pembuatan obat yang baik (CPOB) pada produk narkotikanya untuk menjaga kualitas dan keamanan produknya.
Dalam lima tahun terakhir, menurut Rita, penyalahgunaan narkotika untuk kesehatan hanya ada satu kasus, yaitu penyimpangan pethidine, obat anestesi juga pereda nyeri golongan narkotika pada tahun 2016.
Narkotika untuk kesehatan banyak terdapat di sarana kesehatan, mulai rumah sakit, klinik, apotek, hingga puskesmas. Sepanjang ada dokter yang meresepkannya untuk pasien atau ada apoteker yang bertanggung jawab untuk menyimpannya, maka narkotika untuk kesehatan boleh diberikan atau disimpan.
Untuk menguji NPS, BPOM menggunakan laboratoriumnya. Laboratorium ini juga dipakai untuk menguji standar, menilai, bahkan untuk riset. BPOM juga bekerja sama dengan perguruan tinggi.
Dalam menguji NPS, BPOM tidak perlu menguji zat tersebut. Cukup dengan mengetahui rumus kimianya sudah bisa diketahui apakah satu NPS bisa dimasukkan ke dalam golongan I atau tidak.
Pengawasan narkotika dan psikotropika butuh kerja sama lintas sektor. Pengawasan juga perlu sinergi sebab banyak produk baru muncul.
Kecepatan pemerintah mengejar perkembangan zat baru menjadi tantangan selama ini dalam peredaran narkotika. Selain itu, fasilitas laboratorium juga perlu terus diperkuat agar dapat melakukan kajian zat baru dengan lebih cepat. Begitu juga dengan sistem teknologi informasi perlu diperkuat.
Tak bisa ditarik
Pengaruh buruk narkoba tidak hanya karena mudahnya zat terlarang tersebut didapat di masyarakat, tetapi juga akibat adanya penyalahgunaan obat-obat yang dijual di pasar bebas yang apabila dikonsumsi berlebihan menimbulkan efek seperti narkoba.
BPOM tidak bisa menarik obat tersebut karena kebutuhan masyarakat yang besar, kecuali jika sudah ada obat pengganti yang bisa mengobati penyakit tanpaada kandungan zat yang bisa mengakibatkan efek seperti narkoba jika dikonsumsi berlebihan.
”Obat-obat ini dijual tidak hanya di apotek, tetapi juga di toko-toko dan warung-warung karena dibutuhkan masyarakat untuk mengobati penyakit ringan harian,” kata Kepala BPOM Penny Lukito ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (29/7).
Ia menjelaskan, BPOM tidak bisa menarik obat tersebut karena kebutuhan masyarakat yang besar, kecuali jika sudah ada obat pengganti yang bisa mengobati penyakit tanpaada kandungan zat yang bisa mengakibatkan efek seperti narkoba jika dikonsumsi berlebihan.
”Saat ini, BPOM melakukan gerakan penghentian penyalahgunaan obat. Peluncuran resminya pada bulan September,” tutur Penny. Sementara itu, akan ada sosialisasi tata cara pengedaran obat kepada masyarakat. Misalnya, kasir tidak memperbolehkan seseorang membeli obat dalam jumlah banyak. Adapun anak-anak tidak boleh membeli obat, kecuali didampingi orangtua.
Khusus obat keras, seperti carnophen dan zenith, sudah ditarik dari peredaran dan dinyatakan ilegal sejak tahun 2009. Namun, Penny mengakui obat tersebut masih diproduksi secara diam-diam.