Palangkaraya dan Wacana Pemindahan Ibu Kota
JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, makin sering dibicarakan setelah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan kajian khusus. Namun, pertanyaannya, apakah Palangkaraya bisa menjadi tempat yang tepat sebagai ibu kota Indonesia.
Kota Palangkaraya adalah ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Luas wilayahnya mencapai 2.687 kilometer persegi atau tiga kali lebih luas dari DKI Jakarta. Namun, pada 2015, Badan Pusat Statistik Kota Palangkaraya mencatat penduduk di kota ini hanya 259.865 orang atau sepertiga dari Kota Jakarta Utara.
Kota ini menyebut dirinya sebagai ”kota cantik” karena tetap mempertahankan ruang terbuka hijau (RTH) dan kawasan hutan lindung.
Tempat ini juga selalu mempertahankan kebersihannya. Hampir setiap pagi mobil pembersih, lengkap dengan mesin sapu di bagian bawah mobil yang terus berputar, membersihkan jalanan. Pasukan kuning pun membersihkan sampah-sampah di pusat kota.
Pada Minggu, pemerintah dan aparat memberlakukan hari bebas kendaraan bermotordi Bundaran Besar Palangkaraya. Ratusan orang beserta komunitas mereka pun menjadi sering berkumpul, berolahraga bersama, dan menikmati udara pagi.
Bundaran Besar menjadi pusat kota. Sekitar 600 meter dari tempat ini terdapat Tugu Soekarno yang merupakan tempat bersejarah bagi masyarakat Kalteng. Di tempat itu, Soekarno meletakkan batu pertama dan meresmikan Kalteng sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Menurut beberapa orang, di tempat ini juga Soekarno mengatakan keinginannya memindahkan ibu kota ke Palangkaraya.
Sebagai daerah yang beriklim tropis, wilayah ini rata-rata mendapatkan sinar matahari 26,18 persen per tahun dengan kondisi udara yang cukup panas berkisar 35-40 derajat celsius di siang hari dan 23-25 derajat celsius di malam hari. Kota ini juga merupakan salah satu kota di Indonesia yang dilewati garis Khatulistiwa.
Bundaran Besar menjadi pusat kota. Sekitar 600 meter dari tempat ini terdapat Tugu Soekarno yang merupakan tempat bersejarah bagi masyarakat Kalteng. Di tempat itu, Soekarno meletakkan batu pertama dan meresmikan Kalteng sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Menurut beberapa orang, di tempat ini juga Soekarno mengatakan keinginannya memindahkan ibu kota ke Palangkaraya.
Tugu Soekarno di Palangkaraya berbatasan langsung dengan salah satu sungai terpanjang di Kalimantan Tengah, yakni Sungai Kahayan. Sungai ini memiliki panjang mencapai 600 kilometer.
Tambang Ilegal
Sungai merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat di Kalimantan Tengah, termasuk di Palangkaraya. Sungai merupakan sumber kehidupan masyarakat suku Dayak yang suku asli Pulau Kalimantan.
Dalam membuat rumah, suku Dayak selalu mambangunnya di dekat sungai. Rumah itu disebut rumah betang atau rumah panjang. Rumah ini memiliki panjang hingga 25 meter dengan tinggi mencapai 4 meter. Dibuat tinggi karena mereka mengantisipasi banjir akibat luapan air di sungai.
Di sungai, mereka mencari ikan, sayuran, untuk bercocok tanam, dan lain sebagainya. Namun, gambaran kehidupan itu sangat berbeda saat ini. Sungai menjadi lahan tambang ilegal. Mereka merusaknya untuk mengais emas demi kekayaan sesaat.
Seperti yang terlihat di Kelurahan Mungku Baru, Palangkaraya, tepatnya di anak Sungai Kahayan, yakni Sungai Rungan. Hampir di setiap sisi sungai alat-alat sedot emas berjejer.
Kepulan asap putih mengepul menandakan mesin tersebut bekerja. Warga desa sekitar terlihat sibuk menggosok karpet untuk menyaring sedotan air dan lumpur menggunakan mesin hisap di alat yang mereka rakit sendiri.
Setiap kali alat tersebut bekerja, busa-busa putih muncul di dari dasar sungai. Warna sungai yang sebelumnya hitam (khas tanah gambut) menjadi cokelat kekuningan.
Jhon Arei (51), salah satu warga Mungku Baru, mengatakan, dalam sehari para petambang bisa menghasilkan 1-2 gram emas. Kalau sedang beruntung, mereka bisa menghasilkan sampai 5 gram.
”Harga karet turun-naik, kami sulit berladang, mau tidak mau menambang saja. Menambang juga sudah dilakukan sejak lama mengubah itu sangat sulit,” tutur Jhon.
Jhon mengatakan, dirinya sudah tidak lagi menyedot emas. Saat ini, ia berprofesi sebagai pembawa kelotok atau kapal kayu yang menggunakan mesin.
Jhon hanya segelintir orang yang enggan menambang. Banyak yang masih menambang dengan alasan ekonomi.
”Di sungai ini sudah terlalu banyak orang yang nyedot, sebagian besar juga bukan orang sini. Jadi, saya cari profesi lain saja,” kata Jhon.
Ibu kota
Kembali ke wacana ibu kota. Saat melakukan kunjungan, Kamis (6/4), Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, dirinya diperintah Presiden Joko Widodo untuk memulai kajian. Ia mengatakan, alasan pemindahan karena Jakarta sudah penuh sesak.
”Supaya ada pemerataan perekonomian dan tidak dibebankan ke Jakarta atau Jawa saja. Selama ini kita sudah melihat adanya ketimpangan ekonomi, kan,” kata Bambang saat itu.
Bambang mengunjungi beberapa lokasi, mulai dari terminal hingga bandara. Ia mengumpulkan berbagai macam data untuk bahan dasar kajiannya.
Pada saat yang sama, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran mengungkapkan kalau pihaknya telah menyiapkan sekitar 300.000 hektar untuk pemindahan ibu kota ke wilayahnya. Ada tiga kabupaten yang disiapkan untuk menjadi tempat ibu kota, yakni Kota Palangkaraya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Gunung Mas.
”Ini juga untuk kebaikan masyarakat dan pemerataan ekonomi. Tentunya kalau ibu kota pindah ke sini perekonomian Kalimantan Tengah dan provinsi lain di Pulau Kalimantan akan meningkat,” kata Sugianto.
Sugianto mengungkapkan, selain memiliki lahan yang mencukupi, Kalimantan Tengah berada di tengah Pulau Kalimantan dan memiliki tekstur geografi yang baik untuk menjadi ibu kota. Dengan dipindahnya ibu kota ke Kalimantan Tengah, pembangunan industri akan meningkat, tidak hanya di Kalimantan Tengah, tetapi semua provinsi di Pulau Kalimantan.
Pemindahan ibu kota menjadi harapan besar pemerintah untuk pemerataan ekonomi. Bukan hanya pemerintah, rakyat pun berharap demikian. Namun, pemindahan ibu kota membutuhkan lebih dari sekadar tekstur geografi dan keindahan alam, tetapi juga keamanan, kenyamanan, dan banyak faktor lainnya.
Kalimantan Tengah masih memiliki banyak pekerjaan rumah, seperti kebakaran hutan dan lahan yang hampir selalu terjadi setiap 5 tahun sekali. Lalu, kejahatan lingkungan, yang dapat dilihat dari banyaknya tambang ilegal, konflik lahan, korupsi lingkup swasta, dan juga tata ruang.
Pekerjaan rumah itu tentunya akan bertambah banyak ketika pemerintah pusat benar-benar atau serius memindahkan ibu kota. Lalu, siapkah pemerintah daerah membenahi diri, siapkah masyarakatnya. Jangan sampai ini hanya sekadar wacana.