CIREBON, KOMPAS — Perajin mebel berbahan baku rotan khawatir tidak mampu bersaing di pasar internasional akibat kesulitan mendapatkan bahan baku. Kondisi ini berpotensi menurunkan kepercayaan konsumen sehingga mudah memicu penurunan nilai ekspor mebel nasional.
”Beberapa waktu lalu, pembeli dari Amerika Serikat menunggu tiga bulan karena bahan baku rotan yang dibutuhkan tidak ada. Saya pasrah kena denda,” ujar Ketua Yayasan Kampung Wisata Rotan Galmantro, Solihin, Rabu (2/8), di Cirebon, Jawa Barat.
Kesulitan yang dimaksud Solihin adalah minimnya jenis dan ukuran bahan baku rotan favorit. Untuk membuat kursi, misalnya, pabrik membutuhkan batang rotan berdiameter 22 milimeter sampai 32 milimeter.
Menurut Solihin, hal ini tidak hanya merugikan pelaku industri, tetapi juga berdampak terhadap kepercayaan pasar internasional. Kondisi ini bisa lebih buruk saat permintaan tinggi pada Oktober-Juni. ”Perusahaan bisa dicoret dan pembeli beralih ke Vietnam atau China. Ketidakjelasan bahan baku tersebut membuat pelaku industri takut berpromosi,” ujarnya.
Sejumlah masalah memicu kondisi ini, salah satunya minimnya informasi pelaku usaha di sektor hulu dan hilir. Selama ini pelaku industri di hilir tidak mengetahui pasti jenis dan ukuran bahan baku yang tersedia di hulu. Sebaliknya, sektor hulu juga tidak tahu kebutuhan di hilir.
Panjangnya rantai pasok
Rantai pasok industri rotan sangat panjang. Rotan yang diambil petani di hutan Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera dikumpulkan dulu di pengepul kecil di daerah tersebut. Setelah itu rotan dibawa ke pengepul besar di Surabaya, Jawa Timur, untuk dibersihkan dan dipoles lalu dikirim ke pabrik bahan baku di Cirebon sebelum digunakan perusahaan penghasil produk rotan.
”Seharusnya ada data kebutuhan dan ketersediaan bahan baku. Dengan perkembangan teknologi seperti sekarang, pelaku industri seharusnya dapat mengetahui hal itu,” ujarnya.
Kepala Bidang Mebel, Rotan, dan Bambu Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Sumartja mengatakan, kebutuhan dan ketersediaan data bahan baku selama ini belum berjalan baik. Pemerintah perlu berperan mendata sekaligus menghubungkan sektor hilir dan hulu.
Revisi SVLK
Pelaku industri mebel di Jawa Tengah mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) merevisi pengaturan sertifikasi verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 30 Tahun 2016. Selain membebani biaya pengurusan sertifikasi yang mencapai puluhan juta rupiah, regulasi itu, kata Pelaksana Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Jawa Tengah Anggoro Rahmadiputro, juga mensyaratkan pembangunan pabrik terpadu.
Biaya sertifikasi legalitas kayu berkisar Rp 30 juta-Rp 40 juta untuk jangka waktu dua tahun. ”Hingga kini, belum ada solusi konkret terhadap keluhan pengusaha mebel soal SVLK. Soal SVLK ini juga tidak melibatkan pengusaha di semua jenis industri mebel,” ujarnya.
Selain legalitas kayu, aturan SVLK juga mensyaratkan industri kecil memiliki dan menempati pabrik serta membangun gudang terpadu. Pabrik dan gudang terpadu juga harus tercantum pada surat izin usaha, surat izin bebas gangguan, nomor identifikasi wajib pajak, identitas pemasok bahan baku, dan dokumen proses bahan baku.
Padahal, 80 persen pelaku usaha mebel, terutama skala kecil dan menengah, lokasi usahanya terpisah-pisah antara tempat produksi, pergudangan, dan pusat bahan baku. Untuk membangun industri terpadu minimal dibutuhkan biaya Rp 1 miliar-Rp 2 miliar. Belum lagi membangun infrastruktur penunjang, total kebutuhan bisa mencapai Rp 5 miliar.
Anggoro juga meminta program insentif terhadap pengusaha saat mengurus dokumen SVLK dapat diteruskan. Saat ini, dari sekitar 600 usaha kecil dan menengah mebel di Jateng, baru sekitar 30 persen yang memperoleh kemudahan mengurus SVLK dengan biaya subsidi.
Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah HIMKI Jepara Raya Maskur Zaenuri, berlarutnya persoalan pengurusan SVLK akibat tidak ada konsistensi kesepakatan dari pejabat Kementerian LHK. Padahal, persoalan mengenai regulasi SVLK sudah berulang kali disampaikan bersama oleh HIMKI dan Asmindo.
”Pengusaha mendukung kebijakan pemerintah dalam mengatur legalitas bahan baku kayu untuk mebel dan furnitur. Pengusaha tidak minta kebijakan itu dicabut, tetapi perlu ada solusi bersama untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi dari sektor mebel,” ujar Zaenuri. (WHO/IKI)