Peningkatan Subsidi Negara untuk Parpol Jadi Keniscayaan
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menaikkan dana partai politik hingga 10 kali lipat menimbulkan konsekuensi yang juga besar bagi partai politik. Selama ini, pengurus partai politik di tingkat pusat maupun daerah dinilai belum begitu mengerti aspek pengelolaan dana partai.
Partai politik memegang peranan penting bagi negara yang menerapkan sistem demokrasi. Dari partai politik inilah nantinya akan lahir kader-kader yang akan menggengam tonggak kepemimpinan negara. Oleh karenanya, pemerintah merasa perlu untuk menaikkan dana parpol dari Rp 108 per suara menjadi Rp 1.000.
Dari hasil kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada tahun 2012, nilai nominal subsidi negara bagi parpol sangat kecil. Hanya mencukupi sekitar 1,3 persen dari total kebutuhan parpol selama satu tahun. Dengan subsidi yang sedemikian kecil tersebut, parpol juga tidak diperbolehkan untuk mencari sumber-sumber dana sendiri melalui badan usaha atau bisnis legal lainnya.
Selama ini, kas keuangan parpol diisi dari tiga sumber, yaitu iuran anggota, sumbangan yang sah menurit hukum, dan bantuan subsidi negara melalui APBN dan APBD. Realitnya, banyak parpol di Indonesia yang dibiayai individu pemilik parpol. Selain itu, kekuatan finansial parpol juga ditopang dari setoran kader parpol yang menjabat sebagai pejabat publik. Tidak jarang dana setoran itu diperoleh dari korupsi dan penyalahgunaan dana APBN dan APBD. Maka, tidak heran kini semakin banyak ditemui pejabat publik yang menjadi \'pasien\' KPK.
Pengamat politik Syamsuddin Haris menyoroti ketepatan bantuan dana dari negara terhadap parpol. Menurutnya, parpol membutuhkan penguatan. Penguatan parpol, kata Syamsudin Haris, adalah bagaimana supaya parpol benar-benar menjadi badan hukum publik yang kedaulatannya berada di tangan anggota.
Oleh sebab itu, peningkatan subsidi negara bagi parpol adalah keniscayaan dalam upaya publik mengambilalih parpol dari individu-individu pemilik modal. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Parpol yang mengamanatkan kedaulatan parpol berada di tangan anggota, bukan di tangan pemilik modal.
"Salah satu cara mengembalikannya adalah dengan meningkatkan subsidi negara," kata Syamsudin Haris dalam acara Dialog Kanal KPK yang mengambil tema tentang Penguatan Partai Politik, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (3/8).
Perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri Jusuf Andi mengatakan, masih banyak hal yang harus dibenahi dari aspek pendanaan parpol. Pengertian pengurus parpol di pusat maupun daerah terkait dana bantuan parpol ini masih rendah. Menurut Jusuf, ada persepsi yang timbul pada pengurus parpol di daerah, dana bantuan parpol dari negara seakan menjadi satu-satunya sumber pendanaan. Saat ini, kebutuhan dana parpol di pusat yang rata-rata mencapai Rp 13 miliar dalam setahun. Sementara, bantuan keuangan partai yang ada saat ini hanya mampu memenuhi 1,3 persen kebutuhan parpol dalam satu tahun.
"Ini dari 2014 kami mengadakan semacam pemikiran untuk merevisi PP Nomor 5 Tahun 2009. Mengingat kebutuhan (dana) partai politik yang jauh panggang dari api," kata Jusuf.
Perwakilan Indonesia Corruption Watch, Almas, sepakat untuk mendorong penguatan partai politik. Menurutnya, inti masuknya tujuan itu adalah melalui penguatan pengelolaan keuangan parpol. Namun, wacana kenaikan bantuan keuangan parpol ini, kata dia, tidak akan menjawab persoalan partai secara keseluruhan. Ada masalah lain seperti belanja anggaran partai. Almas menjelaskan, ada partai di Banten yang salah mendefinisikan belanja anggaran partai untuk pendidikan politik. Partai itu menggunakan anggaran partai untuk pendidikan politik menjadi pesta ulang tahun. Hal-hal macam inilah yang masih harus mendapat perhatian dari pemerintah.
Sehubungan dengan itu skema subsidi nefara kepada parpol mestibdihiting dengan betul.
Cek kosong
Terkait polemik bantuan keuangan parpol, Syamsudin Haris mengusulkan bantuan parpol tidak disubsidi sepenuhnya oleh negara, melainkan maksimal hanya 40 persen saja. Kuota bantuan sebesar 40 persen, menurut Haris, baik untuk parpol agar masih ada ruang otonomi secara finansial. Bantuan pun tidak mesti sepenuhnya berupa suntikan dana segar. Namun, bisa berupa dana kampanye yang ditanggung negara melalui TV nasional.
Skema kedua, bantuan 40 persen itu dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Tidak sekaligus, mengingat ruang fiskal APBN yang terbatas.
Syamsudin Haris menekankan mesti ada syarat tata kelola alokasi bantuan sebesar 40 persen itu diperuntukkan untuk kegiatan apa saja. Tata kelolanya juga mesti diatur, agar negara tidak memberikan cek kosong kepada parpol.
"Idealnya standar pengawasan yang baik dengan binbingan atau dengan bantuan atau dukungan BPK dan KPK. Juga mesti ada alokasi uang 40 persen itu untuk pendidikan politik, rekrutmen dan kaderisasi, ketiga untuk biaya kantor dan lain-lain," ucap Haris. (DD10)