Memiliki fisik yang kurang sempurna tidak membuat sejumlah penyandang disabilitas berdiam diri lalu mengutuki keadaan. Mereka justru bangkit dan bersemangat melatih diri untuk bisa hidup mandiri.
Berkarya mengatasi keterbatasan diri menjadi wujud syukur atas karunia dari Ilahi. ”Saya menjadi tukang pijat sudah hampir 30 tahun,” kata Joko Priyatin (52) di rumahnya, Jalan Lesanpura, Kelurahan Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (3/8).
Joko mengalami kebutaan sejak usia 5 tahun. Ketika itu, dia menderita demam tinggi, lalu kedua orangtuanya yang bekerja sebagai buruh tani membawanya berobat pada mantri di desa. Setelah disuntik, ia merasakan pandangannya kabur dan tidak bisa melihat.
Di tengah keterbatasan fisik dan ekonomi tersebut, Joko tak dapat mengenyam pendidikan formal. Di usianya yang ke-18, ia ditawari mengikuti pelatihan keterampilan di Sasana Rehabilitasi Penderita Cacat Netra di Purworejo oleh pemerintah melalui dinas sosial. ”Di sana, 1983-1986, saya diajari membuat keset dan sapu. Juga diajari anatomi dan memijat,” ujarnya.
Dengan keterampilan itu, Joko mencoba mandiri. Ia membuat keset dari serabut kelapa dan menjualnya berkeliling kota. Ia pun pernah menjadi tukang pijat di sejumlah losmen di Purwokerto. ”Sehari bisa memijat 4-5 orang. Saya siap di rumah pukul 08.00 sampai pukul 21.00. Tarifnya, pelanggan yang menentukan,” kata Joko yang menikahi Sukini (53), dan memiliki seorang anak, Fani Sutrisna (13).
Tuhan pasti adil
Selain Joko, ada penyandang disabilitas yang juga gigih. Ia adalah Saeni (35) dan Kuswati (24) dari Kabupaten Purbalingga, Jateng.
Dua mesin jahit dan sebuah mesin obras pakaian menghiasi satu sudut ruang tamu Saeni (35) yang berukuran 5 meter x 2 meter. Tumpukan kain dan pakaian ada di sekeliling ruang itu. Di tempat itu, Saeni menyelesaikan pesanan jahitan. Meski tangan kirinya tak tumbuh sempurna, ia mampu mandiri dan menghidupi keluarganya.
”Jangan manja. Jangan terpaku pada keadaan,” kata Saeni saat ditemui di rumahnya di Kalijajar, Kaligondang, Purbalingga.
Tangan dan lengan kiri Saeni lebih pendek dan kecil dibanding tangan kanannya yang tumbuh normal. Jari yang tumbuh hanya jari kelingking, jari tengah, dan ibu jari. Namun, dengan keterbatasan itu, Saeni tetap lincah menjahit, memasak, menimba air dari sumur, dan mengendarai sepeda motor.
Saeni mendapatkan pelatihan menjahit dari dinas sosial setempat setelah menyelesaikan pendidikan di SMP. ”Tuhan pasti adil. Hidup tanpa belajar itu seperti hidup tanpa arah,” ujar Saeni, ibu dari Aliyah Dena Cahyani (10).
Dengan hobi menjahitnya, Saeni sering mendapatkan pesanan menjahit aneka busana. Biaya per potong busana berkisar Rp 90.000-Rp 130.000. ”Lumayan bisa untuk membayar kebutuhan sekolah anak dan hidup sehari-hari,” katanya.
Ketidaksempurnaan juga dialami Kuswati, putri kedua Ruswati (47), di Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, Purbalingga. Ia tidak memiliki tangan sejak lahir. Ia pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, tetapi berhenti di kelas III karena malu dan sering diejek temannya karena menulis memakai kaki.
Memasuki usia 15 tahun, Kuswati perlahan mulai belajar merangkai bulu mata palsu pada sang kakak, Lianti (27), dan ibunya. ”Dulu, awal-awal sehari hanya bisa membuat 2-3 bulu mata, sekarang dari pagi sampai maghrib bisa membuat 20 bulu mata,” kata Kuswati.
Dengan harga bulu mata per helai Rp 410-Rp 500, setiap hari ia bisa mendapatkan uang Rp 20.000. Kuswati berharap uang itu bisa ditabung dan bisa digunakan untuk membuka usaha warung kecil-kecilan di kemudian hari.
Ubah paradigma
Ketua Yayasan Pilar Purbalingga Sri Wahyuni mengatakan, di Kabupaten Purbalingga ada 7.893 penyandang disabilitas. Paradigma masyarakat terhadap mereka yang menyandang disabilitas harus diubah.
”Yang harus diluruskan adalah paradigma. Masyarakat melihat mereka tabu atau hal yang aneh sehingga dijadikan tontonan. Semuanya harus memahami, termasuk keluarga, (mereka) jangan disembunyikan. Ajak mereka keluar dan beraktivitas seperti biasa,” kata Sri.
Mereka yang mengalami disabilitas juga memerlukan pelatihan untuk bekal kemandirian di kemudian hari. Yayasan Pilar yang memiliki perhatian pada pemberdayaan masyarakat, terutama yang mengalami disabilitas, memberikan pelatihan keterampilan, mulai dari merajut, menjahit, hingga membuat keset.
”Ada sekitar 100 orang yang telah dilatih,” ucap Sri.