Pilih Telur atau Rokok? Rokok!
Apa yang Anda bayangkan terhadap asupan nutrisi seperti ini: makan telur tak sampai dua butir per minggu, daging sapi 8 gram dan daging ayam 98 gram per minggu, ditambah mengisap rokok 16 batang. Itulah Indonesia.
Indonesia punya target menghapuskan segala bentuk kekurangan gizi dan kelaparan pada 2030. Itu 13 tahun lagi. Apakah tahun di awal jendela kesempatan bonus demografi itu masih lama dan jauh atau sudah dekat di depan mata? Entahlah.
Gizi, nutrisi, asupan berkualitas, apa pun namanya, adalah modal manusia untuk menjadi berkualitas atau tidak berkualitas. Dunia kesehatan menyederhanakan kebutuhan nutrisi itu menjadi dua macam: kalori sebagai bahan bakar untuk bekerja, beraktivitas, berinteraksi dan protein untuk tumbuh-kembang, generasi dan regenerasi sel agar tetap hidup sehat bugar, dan untuk menjadi pintar.
Namun, asupan rata-rata manusia Indonesia belum mencapai standar saat ini, 13 tahun menjelang masa di mana populasi manusia Indonesia usia produktif jauh lebih banyak daripada usia nonproduktif. Masa yang bisa menjadi masa gemilang karena produksi dilakukan oleh banyak orang dan orang yang ditanggung jauh lebih sedikit. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2012 menggariskan standar asupan sebesar 2.150 kilokalori dan 57 gram protein sehari.
Faktanya, secara nasional rerata manusia Indonesia belum mencapai batas bawah itu. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 yang diselenggarakan Badan Statistik Nasional ”menemukan” angka 2.037,40 kkal kalori dan 56,67 gram protein sehari.
Jangan khawatir. Untuk ukuran sehari, kesenjangan asupan itu kecil saja kelihatannya. Tambahkan saja sebutir telur ayam ras yang mengandung sekitar 6 gram protein. Bagi rata saja untuk seluruh keluarga yang terdiri dari empat kepala, cukup sudah untuk memenuhi standar. Kalorinya, tambahkan nasi dari 50 gram beras untuk setiap orang. Maka, defisit yang kurang dari 120 kkal itu tertutupi.
Puas? Mudah-mudahan tidak. Karena yang namanya standar adalah istilah untuk cukup-cukup saja. Sebagai bangsa, Indonesia berada di belantara persaingan yang semakin dan kian sengit. Merujuk pada pendapatan per kapita dan kesejahteraan, China, Singapura, Malaysia telah berada di depan. Dunia pun kian terbuka, SDM dari negara mana pun bakal bisa masuk untuk berkompetisi di negara lain. Kualitas manusia adalah kata kuncinya. Asupan berkualitas adalah modalnya.
Pengeluaran terbesar
Sesungguhnya, Indonesia bisa mendongkrak standar asupannya tanpa perlu menunggu sampai 2030. Susenas tahun lalu mengungkapkan temuan berharga. Orang Indonesia tampaknya doyan jajan dan…rokok. Itu terlihat dari pengeluaran terbesar untuk makanan adalah makanan dan minuman jadi. Terbesar kedua, padi-padian—beras, beras ketan, jagung. Terbesar ketiga: rokok.
Dari survei itu, pengeluaran rata-rata orang Indonesia untuk rokok sebulan hampir lebih besar dari uang yang dihabiskan untuk beli daging, dua kali lebih banyak dibandingkan belanja telur dan susu, hampir dua kali lipat dari belanja sayur-mayur.
Sedihnya jika bicara per kapita, kita bicara tentang rata-rata kepala, per orang. Faktanya, tidak setiap orang dalam satu keluarga adalah perokok dan merokok. Artinya, survei itu menyiratkan ada uang hak anak, uang hak anggota keluarga yang lain untuk memperoleh tambahan asupan pangan yang diambil oleh si perokok untuk membeli tembakau berbungkus kertas yang kemudian dibakar agar asapnya memenuhi paru-paru.
Dalam perbincangan via telepon, peneliti dari Muhammadiyah Tobacco Control Center, Yogyakarta, Dianita Sugiyo, mengungkapkan, sesungguhnya anggota keluarga yang bukan perokok tidaklah nrimo begitu saja. “Survei kami terhadap ibu-ibu yang anggota keluarganya ada yang merokok cenderung berharap si anggota itu berhenti merokok,” kata pengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga seorang dokter itu.
Konsumsi rokok di rerata orang Indonesia tidak lagi dapat dikatakan sepele. Data Susenas 2016 memperlihatkan, rata-rata konsumsi seminggu (Maret 2016) orang Indonesia tidak sampai dua butir telur ayam kampung (1,983 butir), daging sapi delapan gram, daging ayam ras 98 gram—mungkin setara dengan sepotong daging paha.
Adapun jumlah rokok yang dihisap rerata orang dalam sepekan terakhir survei berjumlah 6,455 batang rokok kretek, 8,557 batang rokok kretek filter, dan 1,426 batang rokok putih—total lebih dari 16 batang. Tanpa merinci dalam pembagian jenisnya, Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2013 menemukan, rerata rokok yang dihisap penduduk berusia minimal 10 tahun di Indonesia adalah 12,3 batang per hari.
Sayang, riset yang semula dilakukan per tiga tahun itu dimelarkan menjadi lima tahun sejak 2013. Namun dari riset 2013, ditemukan hasil bahwa proporsi penduduk berusia minimal 15 tahun yang merokok cenderung meningkat dari 34,2 persen pada 2007; 34,7 persen 2010; dan 36,3 persen pada 2013.
Perokok usia muda juga tidak bisa dikatakan sedikit. Dianita menyebut 20 persen remaja usia 13-15 tahun telah merokok. Rokok tidak lagi cuma mengancam uang dapur rerata keluarga Indonesia, juga mengancam kualitas generasi penerus.
Rokok, urai Dianita, punya segala kemampuan untuk menurunkan kualitas kesehatan seseorang. Dia mengganggu tumbuh kembang manusia muda. Nikotin—khususnya bagi perokok berumur di bawah 25 tahun—sangat mengganggu bagian otak yang berfungsi untuk proses berpikir. Perokok juga punya prevalensi besar dalam menurunkan konsentrasi dan membuat kendali emosi menjadi rendah.
Kampanye masif
Pemerintah sesungguhnya sudah memulai perang terhadap rokok. Banyak pemerintah daerah yang menegakkan peraturan berupa lokasi-lokasi bebas rokok: di lingkungan sekolah, rumah sakit, perkantoran, hingga pusat perbelanjaan.
Namun toh data menunjukkan rokok begitu perkasa. Dia merampas bagian besar dana masyarakat yang alangkah eloknya jika digunakan untuk membeli susu, telur, daging agar orang Indonesia menjadi lebih sehat dan pintar. Alangkah eloknya jika uang pembelian rokok itu juga dibelikan buku atau kursus keterampilan agar nilai tambah anak Indonesia menjadi tinggi di masa depan.
Pertempuran dengan berbagai perda belum bisa menaklukkan asap nikotin. Agaknya kita memerlukan kampanye masif pula hingga ke pelosok-pelosok untuk mendukungnya karena kompetisi global semakin menjepit kita.
Kita perlu semua tokoh untuk mengatakan, ganti rokok dengan telur. Modal ketokohan kita sangat banyak, tidak cuma bintang film dan musisi. Tokoh-tokoh di pemerintahan pun banyak yang berwibawa seperti Presiden Jokowi atau Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang inspiratif.
Jadi, mari kita ajak saudara sebangsa untuk makan ikan dan berhenti merokok. Atau…tenggelamkan!