Tutup Celah Korupsi Dana Desa
Kasus di Pamekasan tersebut diduga merupakan fenomena gunung es dan bisa terus membesar jika celah-celah korupsi dalam program dana desa tidak segera ditutup.
Pemerintah mengakui, pengawasan penggunaan dana desa oleh Tim Pengawalan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) tidak cukup untuk mencegah penyimpangan. Persoalan ini terjadi karena keterbatasan jumlah petugas dan luasnya wilayah.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui TP4 tidak bisa mencegah semua praktik penyalahgunaan dana desa. ”TP4 tidak punya kemampuan untuk mengawasi dan mendeteksi penyimpangan dana desa,” kata Kalla di Jakarta, Sabtu (5/8).
Menurut Kalla, paling tidak ada 75.000 desa yang mendapatkan dana desa di Indonesia. Karena itu, tidak mudah memproteksi aliran dana tersebut satu per satu.
Sementara para pendamping desa yang dibentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, perannya juga tidak optimal. Pendamping desa dibentuk hanya untuk memastikan dana desa diterima oleh desa itu dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk pemberdayaan dan pembangunan desa.
Di beberapa desa, menurut Robert, para pendamping desa hanya berperan sebagai pencari data. ”Saat ini ada sekitar 30.000 pendamping desa yang bertugas mendampingi 74.954 desa. Rata-rata seorang pendamping desa harus mendampingi dua desa. Kondisi ini tidak ideal karena pendampingan pada desa menjadi tidak optimal. Kerap kali pendamping hanya cukup memastikan dana desa diterima oleh desa, tetapi tidak ada pendampingan lanjutan,” ujar Robert.
Pendidikan warga
Karena terbatasnya jangkauan TP4 dan tidak optimalnya peran pendamping desa, keterlibatan publik mutlak dibutuhkan untuk mengawasi penggunaan dana desa.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, mengingatkan, peran serta warga desa untuk turut mengawasi aparat pemerintah dan penegak hukum menjadi penting. ”Akan sangat baik kalau ada pendidikan bagi warga desa. Bagaimana kemudian bisa melakukan pemantauan pada pengelola dana desa dan cara mengakses anggarannya,” ujar Lalola Easter.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto menyebutkan, Kementerian Dalam Negeri memiliki peran krusial dalam melakukan pengawasan, pembinaan, sekaligus pendampingan internal terhadap penyelenggara negara di daerah, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga desa. Pemerintah kabupaten menjadi ujung tombak dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
”Karena ujung tombak pengawasan, pendampingan, dan pembinaan di daerah adalah kabupaten, maka yang punya tanggung jawab tata kelola adalah Kemendagri. Bupati melalui camat dan inspektorat daerah punya peran untuk memastikan dana desa bisa dikelola oleh desa untuk kepentingan memberdayakan masyarakat desa,” kata Yenny.
Elite birokrasi kabupaten
Pada kenyataannya, pembinaan dan pengawasan oleh bupati dan inspektorat daerah itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kerap kali kepala desa (kades) justru dimanfaatkan oleh birokrasi negara dalam pengelolaan dana desa itu. Sejumlah kasus yang ditemui Fitra menunjukkan kepala desa justru ditakut-takuti dan dimanfaatkan ketika akan mengelola dana desa.
”Penyunatan dilakukan oleh elite di birokrasi kabupaten. Ini juga menjadi contoh bagaimana elite birokrasi di daerah yang semestinya menjadi pengawas malah memanfaatkan kelemahan kades dalam pengelolaan dana desa,” kata Yenny.
Dalam konteks elite birokrasi yang tidak bertanggung jawab itu, menurut Yenny, Kemendagri punya tanggung jawab besar melakukan evaluasi internal.
Pada kasus Pamekasan, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan dan kemudian menetapkan Bupati Pamekasan Achmad Syafii Yasin, Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra, dan Kades Dasok, Pamekasan, Agus Mulyadi sebagai tersangka suap kepada penegak hukum atas penyelewengan dana desa sebesar Rp 100 juta. Suap dilakukan Sutjipto kepada Rudy setelah memperoleh arahan dari Bupati Syafii dan Kades Agus Mulyadi (Kompas, 3/8).
Celah korupsi juga timbul di dalam ketidakjelasan regulasi dalam tata cara pengadaan barang dan jasa di desa yang harus mengikuti aturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 Tahun 2013. Dalam prosesnya, pengadaan barang dan jasa di desa harus memperoleh tanda tangan dari bupati. Aturan itu memungkinkan terjadinya intervensi elite kabupaten kepada aparatur di desa.
”Ada aturan yang membuka peluang bagi kabupaten untuk memengaruhi pengelolaan dana desa. Kabupaten bisa mencoret-coret usulan dari desa sehingga mengebiri otoritas desa dalam mengelola dana tersebut. Ini yang harus diatur juga oleh Kemendagri,” katanya.
48 kasus
Menurut Robert, data KPPOD menyebutkan, selama tiga tahun dana desa digulirkan, sudah ada 48 kasus penyelewengan dana desa yang ditangani penegak hukum. Kasus itu menyebar di 16 provinsi di Tanah Air.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK merekomendasikan pengelolaan dana desa disertai mekanisme pelaporan ke sistem keuangan desa (siskeudes) yang telah dikembangkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
”Sayangnya kesadaran penggunaan siskeudes itu masih rendah. Jika lebih banyak desa dari total hampir 75.000 desa memanfaatkan sistem pelaporan itu, KPK meyakini beberapa penyimpangan bisa terdeteksi lebih awal,” kata Febri.
Siskeudes merupakan upaya maju untuk mengontrol dan mengawasi penggunaan dana desa. Kemendagri dan Kementerian Desa diharapkan lebih konsen dalam pemanfaatan sistem pelaporan tersebut.
Meskipun potensi korupsinya sangat besar dan pengawasannya teramat minim, pemerintah daerah meminta dana desa jangan sampai dihentikan. ”Lihat saja banyak desa di Maluku yang sudah maju infrastrukturnya setelah ada dana desa. Ada jalan menuju lokasi pertanian, pembangunan balai desa, dan pemberdayaan ekonomi. Ini menjadi bukti bahwa dana desa sangat memberi efek positif bagi pembangunan di desa,” kata Gubernur Maluku Said Assagaff.
Jika hanya menunggu alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, infrastruktur desa sulit maju karena keuangan daerah seperti Maluku, menurut Said, sangat terbatas. Dari pantauan di Desa Wakal, Kabupaten Maluku Tengah, terpampang sejumlah baliho yang berisi anggaran dan rencana penggunaan dana desa. Tahun 2017, desa itu mendapat anggaran dana desa Rp 849.080.625. Dalam perencanaannya, 59 persen untuk pembangunan infrastruktur, sisanya untuk pemberdayaan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur antara lain pembangunan jalan menuju kebun rakyat dan tempat mandi cuci kakus. ”Dari baliho ini kami bisa kontrol penggunaannya. Kami sesuaikan dengan laporan pertanggungjawaban,” kata Isman (42), warga. (REK/NDY/FRN/DD10)