Kasus tewasnya Ramisya Bazigha (8) karena digigit anjing pitbull classic menyadarkan masyarakat bahwa hewan bukan ”mainan” dan memelihara hewan kesayangan tidak bisa main-main. Memelihara hewan kesayangan adalah komitmen seumur hidup.
Kompas.com (http://regional.kompas.com/read/2017/08/07/19520071/anjing-gigit-bocah-hingga-meninggal-polisi-periksa-sejumlah-saksi ) sebelumnya melaporkan, Ramisya adalah putri pasangan Wisnu dan Aniswatin yang tinggal di Jalan Candi Penataran, Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur. Ramisya digigit anjing jenis pitbull classic di bagian leher saat bermain di rumahnya sendiri, Minggu (6/8) sekitar pukul 16.00.
Kepala Kepolisian Sektor Lowokwaru Komisaris Bindriyo mengatakan, awalnya bocah yang disapa Sasa itu bermain di rumahnya. Mainannya jatuh di dekat kandang anjing pitbull classic yang dipelihara orangtuanya. Anjing berwarna putih dan coklat itu menyerang korban saat hendak mengambil mainannya. Anjing yang masih dalam kondisi diikat dengan rantai itu langsung mencakar wajah korban dan menggigit lehernya.
Keluarga korban yang mengetahui kejadian itu berusaha menyelamatkan Sasa dan meminta bantuan kepada tetangga. Namun, gigitan anjing itu terlalu kencang sehingga menyebabkan korban meninggal. Anjing pitbull classic yang diperkirakan berusia 4 tahun itu langsung dibawa oleh Unit K-9 Kepolisian Resor Malang Kota.
Kasus gigitan karena agresi anjing pada manusia beberapa tahun belakangan ini menjadi obyek penelitian di sejumlah negara di dunia. Penelitian juga mencakup mengapa anggota keluarga yang sudah akrab dengan anjing tersebut juga dapat menjadi korban gigitan anjing.
Penelitian itu antara lain dilakukan Fakultas Kedokteran HewanUniversitas Bristol, Inggris, yang dipublikasikan dalam jurnal Applied Animal Behaviour Science. Sekitar 15.000 kuesioner dibagikan kepada pemilik anjing di mana 4.000 dikembalikan dan digunakan dalam analisis. Para peneliti menemukan bahwa agresi anjing terhadap orang yang tidak dikenal dilaporkan lebih sering dilakukan oleh pemilik daripada agresi anjing terhadap anggota keluarga.
Sebaliknya, sekitar 3 persen anjing disarankan oleh pemiliknya untuk menunjukkan perilaku agresif terhadap anggota keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan untuk mengategorikan anjing umumnya ”aman” atau ”kejam” adalah kesalahpahaman. Kebanyakan anjing menunjukkan agresi sebagai respons yang dipelajari terhadap situasi tertentu.
Doktor Rachel Casey, dosen senior Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Bristol, dalam mata kuliah perilaku dan kesejahteraan hewan peliharaan seperti dikutip dalam laman Universitas Bristol (http://www.bristol.ac.uk/news/2014/january/10055.html) mengatakan, pemilik anjing dan anggota masyarakat perlu menyadari bahwa seekor anjing berpotensi menunjukkan agresi jika mereka cemas atau merasa terancam, bahkan ketika hal itu belum pernah dilakukan sebelumnya.
”Di sisi lain, anjing yang telah menunjukkan tanda agresif dalam satu situasi tidak harus berbahaya apabila berada dalam konteks lain,” katanya.
Penelitian lain tentang agresi anjing terhadap anggota keluarga dilakukan SC Chiam dan kawan-kawan tahun 2014 yang dimuat dalam Journal of Pediatrics and Child Health. Penelitian SC Chiam dan kawan-kawan tersebut berjudul ”Tinjauan Retrospektif terhadap Luka Gigitan Anjing pada Anak-anak yang Datang ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit di Australia Selatan”.
Dalam penelitian ini, para peneliti memeriksa gigitan anjing pada anak-anak Australia di bawah usia 18 tahun. Dari 277 anak-anak yang menjadi sampel penelitian, anak-anak berusia 0-4 tahun adalah yang paling rentan terhadap cedera gigitan anjing. Ada proporsi anak laki-laki yang lebih sering tergigit (57,4 persen) dibandingkan anak perempuan.
Temuan yang menarik, sebagian besar anjing yang menggigit (78 persen) akrab dengan anak-anak. Namun, klasifikasi ”akrab” ini harus dicermati dengan hati-hati, seperti dalam penelitian ini, tidak ditemukan apakah anjing dan anak benar-benar mengenal satu sama lain. Hanya orang yang menjawab pertanyaan di unit gawat darurat mengetahui siapa pemilik anjing tersebut.
Sebagian anjing yang menggigit dalam penelitian tersebut adalah anjing bull terrier dan variannya, seperti pitbull terrier, bull mastiff, american staffordshire terrier, dan jack russell terrier. Hasil riset SC Chiam dan kawan-kawan itu juga mendapati, sekitar kepala dan leher merupakan area yang paling umum untuk gigitan anjing pada anak kecil. Daerah gigitan anjing bergeser ke lengan tangan atau kaki seiring bertambahnya usia anak.
Hasil penelitian tersebut dapat menjadi cermin untuk kasus Ramisya. Ramisya juga digigit oleh anjing pitbull classic pada bagian leher. Namun, harus dicek lagi apakah Ramisya benar-benar mengenal anjingnya tersebut atau tidak. Dalam kasus ini, seperti dikemukakan Rachel Casey, anjing berpotensi menunjukkan agresi jika mereka cemas atau merasa terancam, bahkan ketika hal itu belum pernah dilakukan sebelumnya.
Terhadap kasus Ramisya ini, polisi perlu menyelidiki lebih dalam sejarah perilaku pitbull classic yang menggigit Ramisya. Para ahli anjing di Unit K-9 Polres Malang Kota tentu dapat berkonsultasi dengan sejumlah ahli perilaku anjing yang ada di Indonesia.
Lebih jauh dari itu, masyarakat perlu menyadari bahwa hewan peliharaan bukan ”mainan” dan tidak bisa dibuat main-main. Memelihara hewan kesayangan sama seriusnya seperti memelihara anak kandung sendiri. Oleh karena itu, diperlukan komitmen penuh dari masyarakat sebelum memutuskan memelihara hewan kesayangan apakah itu anjing, kucing, kelinci, atau hewan eksotik lain.
Komitmen itu adalah komitmen seumur hidup hewan kesayangan itu. Kita harus berkomitmen penuh memelihara hewan kesayangan sampai akhir hidupnya sehingga mereka tidak dibuang setelah merasa bosan dan hewan telantar di jalan-jalan. Bahkan mati sia-sia di jalan tol.