Stasiun Luar Angkasa China Jatuh ke Bumi antara Desember dan Maret
Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Luar Angkasa (UNOOSA) mengingatkan kembali Pemerintah China bahwa stasiun luar angkasa miliknya, Tiangong-1, akan jatuh ke Bumi antara Desember 2017 dan Maret 2018. Pemberitahuan itu dikeluarkan agar China mengambil langkah-langkah yang diperlukan terkait jatuhnya wahana itu dan menyampaikan informasi ke publik.
Perkiraan jatuhnya Tiangong-1 itu dikeluarkan Aerospace Corporation pada Rabu (2/8) berdasarkan pemantauan ketinggian orbitnya. Dalam pemberitahuan UNOOSA yang dikutip space.com, Sabtu (5/8), ketinggian orbit rata-rata Tiangong-1 saat ini adalah 349 kilometer di atas permukaan Bumi. Namun, ketinggian wahana itu terus berkurang rata-rata 160 meter per hari.
Berdasarkan kecenderungan gerak Tiangong-1, stasiun luar angkasa pertama China itu diperkirakan akan masuk ke atmosfer Bumi pada wilayah antara 43 derajat lintang utara dan 43 derajat lintang selatan. Seperti pada penghitungan wahana Bumi lainnya yang masuk kembali ke atmosfer Bumi, memprediksi wilayah jatuhnya sampah antariksa itu lebih sulit dibandingkan memperkirakan waktu jatuhnya.
Meski demikian, jatuhnya Tiangong-1 itu diperkirakan tidak akan menimbulkan kerusakan atau memunculkan bahaya berarti. ”Kemungkinan membahayakan dan menyebabkan kerusakan pada penerbangan ataupuan aktivitas di darat sangat kecil,” demikian tulis pemberitahuan itu.
Digdaya China
Tiangong-1 adalah bukti kekuatan, tekad, dan ambisi China untuk menguasai antariksa. Wahana yang berfungsi sebagai laboratorium luar angkasa berawak itu dibuat dan diluncurkan secara mandiri oleh China, suatu hal yang sulit dilakukan oleh negara-negara maju yang lebih dahulu menguasai teknologi antariksa.
Stasiun luar angkasa yang berarti Istana Kayangan itu diluncurkan dari Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan, Gurun Gobi, China, 29 September 2011, menggunakan roket peluncur Long March (Chang Zheng) 2-F. Wahana itu memiliki bobot 8.500 kilogram dengan panjang 10,5 meter, diameter 3,4 meter, dan ruang layak huni 15 meter kubik. Stasiun ini mengorbit Bumi pada ketinggian sekitar 350 kilometer dari muka Bumi.
Sebagai stasiun yang dirancang untuk terus berkembang dan menjadi galangan bagi wahana Bumi lain, Tiangong-1 sudah dikunjungi sejumlah wahana atau modul luar angkasa China. Wahana pertama yang berhasil mengait atau menggandeng Tiangong-1 adalah wahana tak berawak Shenzhou 8 pada 3 November 2011.
Sementara wahana berawak pertama yang mengunjungi Tiangong-1 adalah Shenzhou 9 yang membawa tiga antariksawan China atau taikonaut pada 18-28 Juni 2012 dengan dua kali docking atau mengait. Wahana berawak lainnya adalah Shenzhou 10 yang juga membawa tiga antariksawan dan mengait di Tiangong-1 antara 13-25 Juni 2013.
Namun, pada 21 Maret 2016, Pemerintah China secara resmi menyatakan data telemetri Tiangong-1 telah berhenti. Saat itu tidak ada awak di laboratorium luar angkasa tersebut karena misi berawak terakhir yang mengunjunginya adalah Shenzhou 10. Meski tidak ada penjelasan bahwa terhentinya data telemetri itu berarti hilangnya kendali pengontrol di Bumi, sejumlah ahli menilai China telah kehilangan kendali atas Tiangong-1.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Aerospace Corportaion, Tiangong-1 sudah kehilangan kendali setidaknya sejak Desember 2015. Sementara data satelit penjejak amatir yang menelusuri orbit Tiangong-1 mengklaim wahana itu kehilangan kendali setidaknya sejak Juni 2016.
Konsekuensi dari hilangnya kendali membuat Tiangong-1 akan jatuh atau memasuki kembali atmosfer Bumi. ”Masuk kembalinya Tiangong-1 itu tidak mungkin terkendali,” seperti dikutip dari aerospace.org.
Pada 14 September 2016, China kembali membuat pernyataan resmi yang memperkirakan Tiangong-1 akan kembali memasuki atmosfer Bumi pada semester kedua 2017. Sementara perkiraan Aerospace Corporation, Tiangong-1 menembus atmosfer Bumi pada Januari 2018 plus minus dua bulan atau antara Desember 2017 dan Maret 2018.
Saat Tiangong-1 memasuki atmosfer Bumi, benda ini akan terlihat seperti benda berpijar atau meteor. Bedanya, pijaran Tiangong-1 yang terbakar saat memasuki atmosfer Bumi itu akan bertahan selama puluhan detik, bahkan bisa lebih dari satu menit. Kondisi itu berbeda jika yang terbakar adalah meteor karena pijaran cahayanya hanya bertahan beberapa detik.
Selain itu, pijaran yang terlihat kemungkinan tidak tunggal karena benda berukuran besar yang memasuki atmosfer Bumi akan terpecah menjadi beberapa bagian. Jika beberapa pecahan Tiangong-1 itu memasuki atmosfer Bumi bersama-sama, pecahan tersebut akan terlihat sebagai beberapa garis pijar yang bergerak dengan arah yang sama.
Meski demikian, lokasi di Bumi yang bisa melihat pijaran cahaya akibat gesekan Tiangong-1 dengan atmosfer itu baru bisa diketahui beberapa hari sebelum wahana itu benar-benar memasuki Bumi.
Informasi publik
Walau peluang membahayakan penerbangan dan kehidupan di Bumi rendah, potensi bahaya dari jatuhnya Tiangong-1 tetap ada. Wahana antariksa umumnya memiliki bahan bakar hidrazin, cairan beracun dan korosif yang bisa bertahan saat wahana itu masuk kembali ke Bumi.
Karena itu, jika ada puing dari Tiangong-1 atau sampah antariksa apa pun yang tidak habis terbakar dan jatuh di permukaan tanah, jangan menyentuhnya atau menghirup uap udara dari puing-puing tersebut.
Jika puing-puing dari sampah antariksa itu ada yang jatuh di Indonesia, masyarakat bisa menyampaikannya ke aparat keamanan setempat, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang juga mengurusi sampah antariksa, atau menghubungi Pusat Studi Sampah Antariksa di Orbit dan yang Masuk Kembali ke Bumi (Center for Orbital and Reentry Debris Studies/CORDS) Aerospace Corporation di www.aerospcae.org/cords/contacting-cords.
Ancaman bahaya yang tetap ada itu membuat UNOOSA berharap China meningkatkan pemantauan dan peramalan terkait jatuhnya Tiangong-1 serta memublikasikan hasilnya. China juga diharapkan menggunakan informasi tim pemantau internasional dalam kerangka Komite Koordinasi Sampah Antariksa Antarlembaga (Inter-Agency Space Debris Coordination Committee) guna mendapatkan informasi yang lebih baik terkait jatuhnya Tiangong-1.
Selain itu, China diharapkan memperbaiki mekanisme pelaporan jatuhnya Tiangong-1 dengan memublikasikan data orbit dan informasi lain terkait Tiangong-1 di situs Badan Antariksa Berawak China di cmse.gov.cn dalam bahasa China dan Inggris. Informasi pasti tentang fase peluruhan orbit atau turun terusnya ketinggian Tiangong-1 juga harus dipublikasikan melalui media.
Sementara terkait perkiraan waktu dan wilayah yang akan dilintasi puing Tiangong-1 yang masuk kembali ke Bumi, Pemerintah China harus mengeluarkan peringatan dini yang sesuai dengan waktu yang tepat. Informasi itu harus disampaikan ke UNOOSA dan Sekretaris Jenderal PBB melalui jalur diplomatik.