Nelayan Dilanda Keresahan
JEPARA, KOMPAS — Upaya pemerintah melepaskan eksploitasi laut yang masif melalui kebijakan pelarangan penggunaan jaring cantrang dinilai positif. Namun, larangan itu tidak diikuti langkah kebijakan komprehensif dan cepat sehingga hasilnya jauh dari harapan dan memicu keresahan.
Tidak sedikit nelayan yang telah menerima alat tangkap pengganti cantrang dari pemerintah akhirnya menjual kembali kepada nelayan lain dengan harga murah. Proses yang diharapkan dapat menyejahterakan nelayan justru memicu keresahan.
Semua itu, kata Ketua Forum Nelayan Jepara Utara Sholikul Hadi, Senin (7/8), karena tidak adanya sosialisasi yang memadai, pembagian yang tidak merata, tidak adanya pengawasan yang ketat, dan jumlah jaring yang diberikan sedikit sehingga hasil penangkapan tak mampu menutup biaya operasi melaut.
Kondisi itu pada akhirnya mempersulit upaya pelestarian laut dan mendorong nelayan kembali ke pola penangkapan lama. Mereka menilai, dengan pola lama lebih memberikan hasil dan menutup biaya hidup.
Berbagai kondisi itu, kata Sholikul, membuat nelayan yang sudah mendapat bantuan pengganti jaring cantrang dengan jaring milenium menjual kepada nelayan lain.
Nelayan di Jepara utara, mulai dari pesisir Kecamatan Mlonggo, Mbayuran, hingga Ujung Watu, menjadi target utama penjualan jaring milenium. Jaring milenium yang dijual umumnya berukuran mata jaring 4 inci dengan berat di bawah 13 kilogram. Jaring itu dijual berkisar Rp 850.000-Rp 1 juta, lebih murah dibandingkan dengan harga normal Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per unit. Mereka menjual karena tidak terbiasa dan tangkapan terus menyusut. Mereka yang menjual jaring bantuan kemudian kembali ke cara lama. ”Padahal, saya sudah memberi pengertian, meski sedikit, metode baru lebih ramah lingkungan,” kata Ketua Koperasi Nelayan Subur Laut Rustoni di Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Sejak tahun lalu, 84 perahu ukuran sekitar 5 gros ton (GT) di Gebang mendapatkan bantuan alat tangkap pengganti berupa jaring milenium. Mereka kembali ke pola lama karena ketersediaan jaring milenium minim. Rata-rata nelayan hanya dapat 10 jaring milenium. Padahal, kebutuhan nelayan 25 jaring agar mendapat hasil tangkapan ideal.
”Saat menggunakan arad dan garuk, nelayan bisa mendapatkan 20 kilogram setiap sekali melaut. Sementara dengan 10 jaring milenium hanya mampu menjaring 10 kilogram,” katanya.
Kebijakan solusi
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja, pemerintah tengah melaksanakan kebijakan solusi untuk alat tangkap ikan yang dilarang. Untuk kapal cantrang berukuran di bawah 10 GT, pemerintah akan mengalokasikan bantuan alat tangkap pengganti. Untuk kapal cantrang berukuran 10 GT-30 GT, pemerintah akan memfasilitasi pendanaan penggantian alat dan pengembangan usaha. Kapal eks cantrang di atas 30 GT diarahkan beralih wilayah tangkapan ke Laut Arafura dan Natuna.
Meski demikian, transisi penggantian cantrang ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan harus didahului proses ukur ulang kapal. Pengukuran ulang dilakukan tim Kementerian Perhubungan bekerja sama dengan KKP.
Pihaknya tengah memfasilitasi nelayan kapal eks cantrang hasil ukur ulang ke perbankan, di antaranya BNI, BRI, Bank Pembangunan Daerah, untuk memberikan pinjaman dan restrukturisasi utang.
Berdasarkan data KKP, jumlah kapal ikan yang akan diukur ulang 15.800 unit. Hingga akhir Juli 2017, jumlah kapal yang telah diukur ulang 11.800 unit. Sekitar 50 persen dari kapal yang diukur ulang terindikasi memanipulasi ukuran. Jadi, setelah pengukuran ulang ada perubahan menjadi di atas 30 GT sehingga butuh perizinan baru di tingkat pemerintah pusat.
Sepanjang 2016, jumlah alat tangkap pengganti cantrang yang dialokasikan 1.884 paket. Januari-Juli 2017, paket bantuan alat tangkap pengganti cantrang yang dialokasikan 7.915 paket dari total paket bantuan tahun ini 11.437 paket.
Tolak bantuan
Kondisi itu, menurut Ketua Rukun Nelayan Samadikun, Kota Cirebon, Sofyan, membuat pihaknya menolak bantuan jaring milenium. Alasannya, jatah jaring milenium jauh dari kebutuhan ideal nelayan. Dari kebutuhan 21 jaring per nelayan, mereka hanya mendapat sembilan jaring.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat Nandang A Permana mengatakan, nelayan tidak bisa berbuat banyak saat bantuan alat tangkap yang diterima tak sesuai kebutuhan. Keinginan nelayan untuk membeli jaring milenium juga terkendala biaya.
Akibatnya, kata Nandang, penghasilan nelayan anjlok hingga 50 persen dari sebelumnya. Kondisi itu membuat nelayan kembali ke metode lama.
Demikian juga pengakuan nelayan di Lampung. Mereka mengaku sulit mendapatkan jaring pengganti cantrang. Nelayan di pesisir Teluk Lampung berharap pemerintah segera punya solusi agar mereka bisa melaut.
Antoni (40), nelayan di Lempasing, Kecamatan Teluk Betung Timur, Kota Bandar Lampung, mengatakan, ia belum mendapatkan alat tangkap pengganti cantrang yang dijanjikan pemerintah. Padahal, ia membutuhkan alat tangkap itu.
Penghasilan menyusut juga disampaikan nelayan di Lohgung, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Mereka mendukung pelarangan jaring cantrang. Namun, dengan jaring baru, hasil tangkapan teri nasi dan udang rebon justru menyusut. Jika sebelumnya bisa membawa pulang 60 kilogram saat ini hanya mencapai 20 kilogram.
”Kami mendukung pelarangan penggunaan cantrang, tetapi harus ada solusi. Larangan itu kami sadari untuk kelangsungan jumlah ikan, tetapi bukan mengurangi hasil,” kata Monaji (67), nelayan di Lamongan. (KRN/TAM/IKI/LKT/BAY/VIO/ACI)