Pemerintah Jangan Bertindak Berlebihan Terhadap Anggota HTI
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menilai langkah pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia sudah tepat. Namun pemerintah diingatkan agar jangan sampai bertindak berlebihan terhadap anggota Hizbut Tahrir Indonesia. Pemerintah punya tanggung jawab mengembalikan pola pikir anggota Hizbut Tahrir Indonesia agar menghormati Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Jimly, NKRI adalah bentuk final yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. NKRI pun merupakan bentuk negara yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945, sehingga bentuk ini tidak dapat diubah. “Perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui prosedur konstitusional, tetapi khusus NKRI tidak bisa ada perubahan,” kata Jimly di di Kantor Pusat ICMI Jakarta, Rabu (9/8).
Secara historis, tambah Jimly, proses menuju kesepakatan mengenai bentuk negara Indonesia memang dipenuhi perdebatan. Selain republik, adapula pendiri bangsa yang menginginkan bentuk kerajaan dan khilafah. Namun, konsensus diantara pendiri bangsa memutuskan NKRI sebagai bentuk akhir negara yang plural ini. “Meskipun ada yang tidak setuju, kesepakatan itu harus dihormati,” ujar Jimly.
Bagaimana bisa HTI membuktikan bahwa dia tidak bertentangan dengan Pancasila
Berdasarkan pertimbangan itu, Jimly menganggap pembubaran HTI adalah langkah yang tepat. Ormas ini mencita-citakan perubahan bentuk negara dari republik menjadi khilafah. “Bagaimana bisa HTI membuktikan bahwa dia tidak bertentangan dengan Pancasila, sementara dia ingin mendirikan khilafah?” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Meski setuju dengan pembubaran HTI, Jimly mengatakan pemerintah jangan sampai bertindak berlebihan terhadap mantan anggota organisasi ini, sebab Indonesia memiliki sejarah kelam ihwal pembubaran organisasi. Ia berharap tidak ada tindak pemberantasan anggota HTI sebagaimana Orde Baru memperlakukan eks anggota Partai Komunis Indonesia setelah peristiwa G30 September 1965.
“Jangan sampai berlebihan memperlakukan eks anggota HTI, karena mereka itu hanya korban. Tanggung jawab negara adalah mengembalikan cara berpikir mereka agar menghormati NKRI,” ujar Jimly.
Konteks besar
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini mengatakan, NU tetap mendukung langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas), meski pun jumlah pemohon uji materi Perppu Ormas ke bertambah. “Apa yang dilakukan pemerintah dengan perppu ini sudah tepat,” kata Sekretaris Jenderal PBNU Helmy.
Menurut Helmy, penertiban perppu ini harus dipandang dalam dua konteks besar, yakni komitmen untuk menjaga NKRI, Pancasila, serta komitmen untuk menjaga demokrasi. Pasalnya, perppu itu lahir sebagai upaya mencari langkah tegas untuk menindak gerakan-gerakan yang bertentangan dengan Pancasila. Perppu Ormas pun menjadi dasar hukum pembubaran HTI yang memasyarakatkan pandangan untuk mengubah bentuk NKRI menjadi khilafah.
Terlebih, kata Helmy, gerakan radikalisme dan terorisme yang menghendaki pembentukan khilafah secara global maupun nasional juga tengah meluas. Dengan begitu, konteks penerbitan Perppu Ormas dan pembubaran HTI pun sudah sesuai, karena memiliki cita-cita yang bertentangan dengan konstitusi. (DD01)