Pemerintah Harus Lebih Agresif
Tema acara adalah ”Memerangi Ketimpangan untuk Pertumbuhan yang Lebih Baik”. Forum internasional ini membahas dan mencari solusi persoalan pembangunan di Indonesia. Para pemangku kepentingan terkait dari domestik dan luar negeri diundang sebagai narasumber. Narasumber tersebut antara lain Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, Guru Besar Georgetown University Martin Ravallion, Kuasa Usaha Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia Bradley Armstrong, serta Menteri Keuangan dan Perencanaan Nasional Tonga Hon Tevita Lavemaau.
Kalla dalam pidato sambutan menyatakan, pemerintah berharap pemerataan kesejahteraan bisa dicapai secepat-cepatnya. Untuk itu, peningkatan pendapatan di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah menjadi hal yang mutlak. Akan tetapi, ini perlu beriringan dengan peningkatan produktivitas.
Kalla memberi contoh, penghasilan seorang profesional di Jakarta bisa beratus kali lipat daripada penghasilan buruh dengan upah minimum. Hal serupa juga terjadi pada pendapatan petani yang jauh berbeda dengan buruh, guru, dokter, atau nelayan.
Upaya mengatasi ketimpangan tersebut, menurut Kalla, adalah meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pemerintah berupaya mengurangi pengeluaran warga miskin melalui subsidi, seperti subsidi listrik, bahan bakar minyak, dan pupuk. Pemerintah juga mentransfer dana untuk pemenuhan kebutuhan pokok melalui Program Keluarga Harapan dan Kartu Indonesia Pintar. ”Namun, hal ini belum cukup karena yang paling penting adalah bagaimana meningkatkan pendapatan warga secara keseluruhan. Karena itu, ada program KUR (kredit usaha rakyat), subsidi dana desa, dan lainnya,” katanya.
Darmin dalam pidato kunci memaparkan konsep pemerintah dalam usaha mempercepat pengurangan angka kemiskinan dan mengatasi ketimpangan. Konsep ini pernah dijelaskan kepada Kompas dalam wawancara khusus pada Maret lalu.
Konsep pemerataan ekonomi tersebut terdiri dari tiga pilar, yakni lahan, kesempatan, dan sumber daya manusia. Untuk lahan, programnya mencakup reforma agraria, pertanian, perkebunan, kaum miskin kota dan perumahan terjangkau, serta nelayan dan budidaya rumput laut.
Untuk kesempatan, programnya meliputi sistem pajak berkeadilan, manufaktur dan teknologi informasi dan komunikasi, ritel dan pasar, serta pembiayaan dan anggaran pemerintah. Untuk kapasitas SDM, programnya pendidikan kejuruan, kewirausahaan, dan pasar tenaga kerja.
Pemerataan ekonomi
Darmin mengakui penurunan angka kemiskinan dan rasio gini berlangsung lambat. Per Maret 2017, jumlah penduduk miskin 27,77 juta jiwa atau 10,64 persen dari populasi penduduk. Sementara rasio gini 0,393. Untuk itu, percepatan melalui konsep pemerataan ekonomi mesti dijalankan. Konvergensi program bantuan sosial juga dianggap penting. Hal ini dilakukan dengan cara mempertajam sasaran dan mentransformasi bantuan barang ke bantuan langsung nontunai.
”Kita harus sudah membuat lebih konvergen semua bantuan sosial kepada orang-orang yang berhak. Kalau kita tidak berhasil melakukan itu, penurunan tingkat kemiskinan dan ketimpangan dalam situasi pertumbuhan ekonomi yang terjadi semakin lama semakin sulit,” kata Darmin.
Pada sesi lain, Martin menyatakan, kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia, mencatatkan perkembangan positif dalam mengurangi angka kemiskinan. Namun, terdapat sejumlah tantangan yang terus berlanjut. Salah satunya tertinggalnya penduduk paling miskin meski berbagai program pemberantasan kemiskinan telah dijalankan pemerintah.
Peningkatan konsumsi sebagai indikator kemampuan ekonomi rumah tangga menunjukkan perbaikan untuk kelas menengah atas. Namun, untuk penduduk paling miskin, pergerakannya sangat minim. ”Kebijakan sudah ada dan sejumlah pengalaman bisa menjadi acuan. Namun, sering kali yang absen adalah kemauan politik dan kapasitas administrasi guna implementasi yang efektif,” kata Martin.
Pada sesi dialog, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menekankan persoalan korupsi menjadi salah satu faktor nyata yang menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan. Korupsi berakar antara lain dari kewenangan yang tumpang tindih antar-instansi pemerintah.
Untuk itu, ia mengusulkan perombakan birokrasi sebagai solusi dasar. Secara paralel, pemerintah mesti segera mengimplementasikan nomor induk penduduk tunggal.
Bambang menyatakan, pemerintah akan fokus memperbaiki tarah hidup 40 persen penduduk terbawah dalam struktur ekonomi. Artinya, intervensi pemerintah akan difokuskan kepada kelompok masyarakat tersebut.
”Indonesia sudah baik polanya dalam mengurangi kemiskinan, tetapi belum cukup agresif. Tentu banyak area yang harus diperbaiki,” kata Bambang.
Bambang juga menyatakan perlunya peran swasta guna mempercepat pengurangan angka kemiskinan dan mengatasi ketimpangan. Sebab, peran pemerintah pusat saja tidak cukup. Demikian pula dengan peran pemerintah daerah karena apa pun programnya, eksekusi pada akhirnya di daerah.
Sementara itu, Bradley membagikan pengalaman pajak sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan di Australia. Pemerintah Australia bekerja keras mengatasi ketimpangan pendapatan melalui upaya yang mendorong perekonomian dan mengumpulkan penerimaan negara.
Hasil penerimaan negara tersebut selanjutnya disalurkan untuk membiayai program-program kesehatan, pendidikan, dan sosial. ”Kami menerapkan sistem perpajakan progresif. Beban pajak semakin tinggi seiring dengan tingkat penghasilan seseorang,” kata Bradley.
Sebanyak 20 persen penduduk berpenghasilan tertinggi di Australia menyumbang 70 persen dari total pajak yang dikumpulkan. Sebaliknya, 40 persen penduduk berpenghasilan terendah hanya membayar 3 persen. Penerimaan pajak Australia sekitar 24 persen terhadap PDB.
”Transfer sosial merupakan alokasi terbesar dalam APBN Australia, yakni 140 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.600 triliun. Tanpa sistem perpajakan dan transfer sosial tersebut, rasio gini diperkirakan bisa menjadi 0,52. Sekarang faktanya 0,33,” kata Bradley. (INA/LAS)