Mahasiswa, KKN Diatas Segalanya
Sejumlah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengadakan kerja sosial kesehatan di Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, pada 1-8 Agustus 1973. Ini pertama kalinya kerja sosial diadakan di daerah yang berjarak hanya sekitar 90 kilometer dari Jakarta. Rombongan berjumlah sekitar 60 orang.
Pada tahun-tahun sebelumnya, kerja sosial biasanya dilakukan di daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Untuk pertama kalinya pula dalam kerja sosial ini diikut-sertakan pula mahasiswa dari Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan mahasiswa jurusan Antropologi Universitas Indonesia.
Berita itu dimuat Kompas yang terbit pada tanggal 11 Agustus 1973 atau 44 tahun yang lalu.
Dalam berita itu, kegiatan mahasiswa Universitas Indonesia di luar kampus disebut sebagai kerja sosial kesehatan. Kerja sosial hanya salah satu bentuk kepedulian warga kampus terhadap masyarakat. Selain kerja sosial, dikenal pula program Kuliah Kerja Nyata atau KKN yang pada sebagian perguruan tinggi menjadi salah satu syarat kelulusan mahasiswa meraih gelar sarjana atau S1.
KKN sudah dilaksanakan sebagian perguruan tinggi (PT) setidaknya tahun 1971. Niat KKN antara lain untuk mendekatkan mahasiswa kepada realitas kehidupan masyarakat sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Namun dalam perjalanannya, pro dan kontra terhadap kegiatan KKN muncul.
Mereka yang tak setuju KKN antara lain beralasan, di mata mahasiswa, warga desa sekadar menjadi obyek. Ada lagi yang menyatakan, hasil KKN bagi mahasiswa “tidak kelihatan”. Akan tetapi yang nyata adalah masa studi mahasiswa menjadi molor 3-6 bulan, karena diwajibkan KKN.
Berkali-kali pula KKN dievaluasi, dijadikan bahan diskusi, menjadi kajian penelitian ilmiah, bahkan pernah diberhentikan pelaksanaannya karena berbagai pertimbangan, tetapi faktanya hingga kini sebagian PT tetap mewajibkan KKN bagi mahasiswanya.
KKN adalah kepanjangan dari kuliah kerja nyata, tetapi pada suatu ketika sempat dipelesetkan menjadi “kuliah kerja nyaman” karena ada sebagian mahasiswa yang justru menggunakan waktu KKN untuk leyeh-leyeh. Ada pula orangtua mahasiswa yang begitu mengkhawatirkan kehidupan anaknya selama tinggal di desa, hingga mengirimkan makanan dan perlengkapan berlebihan untuk mereka.
Adeng H. Sudarsa, seorang pengamat masalah sosial kemasyarakatan dalam tulisannya di harian Kompas, 25 Juni 1985 bercerita tentang mahasiswa yang KKN di sebuah perkebunan negara di Jawa Barat (Jabar). Kebetulan di antara kelompok mahasiswa itu ada anak seorang pejabat tinggi pemerintahan dan anak seorang perwira tinggi. Mereka datang ke perkebunan dengan kendaraan masing-masing. Bahkan anak sang perwira tinggi disertai ajudan dan pengawal pribadi!
Di sisi lain, semangat KKN ditunjukkan antara lain oleh tiga ibu yang juga mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar (Kompas, 23 Oktober 1976). Mereka adalah Netty Tengkano (anaknya berusia 3 tahun), Ratna Tedjakusuma (anaknya berusia 1,5 tahun), dan Bernadette (anaknya berusia 4 dan 2 tahun).
Unhas mewajibkan semua mahasiswa mengikuti KKN selama tiga bulan. Jadilah Ratna dan Netty, mahasiswa Jurusan Farmasi Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam, kebagian KKN di Segeri Mandalle, sekitar 73 kilometer (km) dari Makassar. Sedangkan Bernadette, mahasiswa Fakultas Kedokteran ditempatkan di Kandora, Tanah Toraja, sekitar 300 km dari Makassar. Bagi mereka, untuk sementara waktu KKN diatas segalanya.
Urusan keluarga mereka kesampingkan, demi KKN. Mereka tak keberatan karena menyadari inilah risiko kuliah sekaligus berkeluarga. Selama mereka KKN, urusan anak dipasrahkan kepada kakek-neneknya, karena suami mereka pun bekerja sambil kuliah.
Wajib
Pada Februari 1972 Presiden Soeharto menganjurkan KKN masuk intrakurikuler. Semua mahasiswa tinggal dan bekerja di desa selama sekitar enam bulan. KKN pun termasuk syarat ujian untuk meraih gelar S1. Lewat KKN mahasiswa tahu dan terbiasa melakukan pendekatan interdisipliner masalah pembangunan. Di sisi lain, seusai studi diharapkan banyak sarjana yang mau bekerja di desa (Kompas, 21 Januari 1974).
Setidaknya 13 PT negeri mewajibkan KKN untuk mahasiswanya. Kompas, 20 Agustus 1973 mencatat, ke-13 PT itu adalah Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Syiah Kuala Aceh, Universitas Andalas Padang, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Universitas Sriwijaya Palembang, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Udayana Bali, Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan, Universitas Pattimura Ambon, Universitas Hasanuddin Makassar dan Universitas Sam Ratulangi Manado.
Kompas 20 Maret 1975 mencatat, KKN masuk dalam kerangka kurikulum PT. KKN merupakan persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa calon sarjana. Sebelum ditempatkan, mahasiswa dibekali pengetahuan sosial budaya dan masalah pembangunan masyarakat desa. Selama sekitar 3-6 bulan tinggal di desa, mereka bekerja dan belajar menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan desa.
Penegasan soal KKN juga muncul dalam Kompas, 21 Juni 1976. Menteri P & K Syarif Thajeb mengatakan, mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan KKN tidak boleh diikutsertakan dalam ujian kenaikan tingkat.
Meski tidak disebut KKN, tetapi pengerahan mahasiswa seperti dalam program KKN sebenarnya bukan hal baru. Kompas, 21 Januari 1974 menulis, antara tahun 1951-1962 dikerahkan sekitar 1.500 mahasiswa untuk menjadi guru di sekolah-sekolah di luar Pulau Jawa.
Tahun 1963 ada progam Bimbingan Masyarakat atau Bimas yang juga menyertakan mahasiswa bidang pertanian. Selain itu, sejak tahun 1969 ada BUTSI (Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia) yang mengerahkan sekitar 850 orang muda bergelar sarjana muda dan S1 turun ke desa-desa menjadi pelopor pembaruan dan pembangunan.
Seprovinsi
Biasanya daerah yang menjadi tujuan KKN masih satu provinsi dengan lokasi PT masing-masing. Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung misalnya, KKN selama tiga bulan di Kecamatan Kalipucang, Padaherang dan Lakbok, Ciamis selatan, Jabar (Kompas, 12 Januari 1974).
Pada pelaksanaan KKN untuk kedua kalinya, mahasiswa Unpad ditempatkan di Kabupaten Tasikmalaya, Jabar dengan uang saku Rp 9.000 per bulan. Uang saku itu untuk biaya mereka selama tinggal di desa dan transportasi lokal (Kompas, 19 September 1974) .
Universitas Gadjah Mada (UGM) mengarahkan mahasiswa KKN ke wilayah DI Yogyakarta seperti Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman. Selama tiga bulan KKN mahasiswa diberi uang saku Rp 10.000 per bulan (Kompas, 15 Juli 1974). Minat mereka tinggi, untuk gelombang pertama, mendaftar lebih dari 100 mahasiswa. Sementara yang akan diberangkatkan hanya 30 orang (Kompas, 18 September 1974).
Universitas Sriwijaya (Unsri) tahun 1974 mengirim mahasiswanya KKN di Kabupaten Langkat, Sumatera Selatan (Kompas, 27 September 1974). Pada tahun yang sama, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menempatkan mahasiswa KKN di Kabupaten Batang, di Kecamatan Tlogowungu, Pati dan Kecamatan Grabag, Magelang, Jawa Tengah (Jateng).
Penempatan mahasiswa Undip itu disesuaikan dengan topografi wilayah sesuai sasaran program KKN, yakni desa pantai, desa hutan dan desa pertanian. “Mahasiswa KKN harus menguasai segala masalah, tidak terbatas pada masalah yang berhubungan dengan ruang pendidikannya saja,” demikian ditulis Kompas, 14 Oktober 1974.
Tak ketinggalan sekitar 200 mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung melakukan KKN di Kabupaten Bandung, Cianjur dan Garut, Jabar untuk pertama kalinya pada 1975. Sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari, mereka mengajar di sekolah selain berpartisipasi dan membantu warga dalam berbagai bidang (Kompas, 2 Desember 1975).
Di luar Pulau Jawa, sekitar 240 mahasiswa IKIP Negeri Manado misalnya, melakukan KKN di Kabupaten Sangir Talaud, Kotamadya Manado, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan di kota administratif Bitung. Selain melakukan prakter keguruan, mereka juga terlibat dalam kegiatan kesenian dan olahraga dengan warga setempat (Kompas, 13 Juli 1978).
Masalah muncul antara lain bila mahasiswa tak menguasai bahasa daerah yang digunakan di desa tempatnya KKN. Kompas, 19 Agustus 1982 menulis, di desa pedalaman Jabar umumnya warga berbahasa Indonesia pasif. Sedangkan tak semua mahasiswa IPB mampu aktif berbahasa Sunda. Jalan keluarnya, setiap kali berkomunikasi dengan warga, harus ada satu-dua mahasiswa yang menguasai bahasa Sunda aktif.
Kenalan
Selama KKN biasanya mahasiswa tinggal di rumah kepala desa, sekretaris desa, atau salah satu penduduk desa. Pada masa awal kedatangan, kepala desa atau perangkat pemerintahan desa membantu mahasiswa mengenal kondisi desa dan melibatkan diri dengan kegiatan warga. Jumlah mahasiswa di setiap desa bervariasi, sekitar 4-10 orang.
Meskipun dari satu PT tetapi karena berbeda jurusan atau fakultas, umumnya mahasiswa baru mengenal teman KKN ketika hendak berangkat ke desa tujuan. Bahkan tak jarang mereka baru berkenalan dengan sesama mahasiswa KKN setiba di desa di mana mereka ditempatkan.
Terbatasnya waktu KKN turut memengaruhi hasil karya mereka. Biasanya pada minggu-minggu awal KKN, mereka berusaha menyamakan persepsi, mengumpulkan masalah desa, dan membuat program yang bisa dilaksanakan selama masa KKN.
Berinteraksi terus-menerus setiap hari membuat hubungan antar-mahasiswa KKN semakin erat. Bahkan hubungan mereka dengan warga desa, terutama keluarga di rumah tempat mereka tinggal pun menjadi dekat.
Secara umum keberadaan mahasiswa KKN diterima warga desa dengan tangan terbuka. Sebagian warga bahkan menganggap mahasiswa KKN memiliki kemampuan memecahkan masalah desa. “Banyak permintaan dari para pamongpraja, baik kepala desa, camat dan bupati untuk memperpanjang waktu KKN,” demikian dicatat Kompas, 31 Desember 1975.
“Banyak penduduk desa ketika didatangi masih ingat nama-nama mahasiswa KKN yang pernah bekerja di desa mereka. Hubungan surat-menyurat juga sering terjadi. Bahkan banyak lurah dalam suratnya menulis supaya mahasiswa yang pernah ber-KKN di desanya kalau tamat mau bekerja di sana,” kata Dr Ir Darwis S. Gani, Kepala Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan IPB (Kompas, 1 November 1980).
Kepanjangan tangan
Beragam kegiatan dilakukan mahasiswa KKN bersama warga desa. Mahasiswa Unpad yang KKN di Kabupaten Tasikmalaya misalnya, selain mengadakan penyuluhan pertanian, peternakan dan perikanan, juga membantu merapikan administrasi kantor desa.
Mereka juga menjadi kepanjangan tangan bagi petugas Keluarga Berencana (KB) untuk mengadakan penyuluhan tentang pentingnya KB dan kaitannya dengan gizi keluarga, pendidikan anak sampai komunikasi dalam keluarga (Kompas, 19 September 1974).
Sementara mahasiswa Undip membantu warga desa memuat kolam ikan, mendirikan penerangan jalan, mengajak berolahraga dan memberi penyuluhan tentang pentingnya makanan sehat. Mahasiswa KKN Institut Pertanian Bogor (IPB) antara lain memperkenalkan berbagai sumber makanan dan pengolahannya (Kompas, 3 April 1975).
Sekitar 130 mahasiswa IPB yang KKN di Sumedang, Karawang, Sukabumi, Bogor dan Cirebon disebar di 57 desa. Selama tiga bulan mereka menangani tak kurang dari 19 proyek, di antaranya pembinaan usaha petani, organisasi petani, pengembangan perikanan laut dan darat, kesehatan ternak, inseminasi buatan dan reboisasi (Kompas, 3 Desember 1975).
Mahasiswa Unsri yang KKN di Desa Bungamas, Kabupaten Lahat, Sumsel menyelenggarakan pos kesehatan. Sedangkan di Kotanegara, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumsel, mereka antara lain memberi penyuluhan tentang isi UU Perkawinan untuk mengatasi kemungkinan pernikahan dibawah umur (Kompas, 31 Desember 1975).
Beda lagi yang dilakukan mahasiswa Universitas Brawijaya Malang saat KKN di DesaTumpakrejo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jatim. Mereka membantu warga membuka toko yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari. Selama ini warga harus berjalan kaki sekitar lima km untuk mencapai toko terdekat. Modal membuka toko antara lain dari uang saku mahasiswa KKN yang besarnya Rp 15.000 per bulan.
Sedangkan mahasiswa KKN Undip di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jateng, antara lain mendirikan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM), sarana mandi-cuci-kakus (MCK), membuat saluran air bersih, dan mengajak warga melakukan penghijauan sepanjang 12 km (Kompas, 23 Mei 1989).
Dana untuk membuat semua sarana tersebut sebagian dari kocek mahasiswa. Sebagian dana lainnya dari pendapatan saat mahasiswa KKN mengadakan pertunjukan band dan dangdut. Mereka juga berusaha mendapatkan sponsor dari perusahaan swasta.
Joki
Dengan segenap nilai positifnya, KKN juga menyisakan kisah pilu. Kompas, 5 Januari 1993 menulis tentang joki mahasiswa KKN di lingkungan UGM. Selain itu, 30 mahasiswa Universitas Jember ditunda proses kelulusannya karena terbukti melakukan KKN fiktif. Keterlibatan staf Universitas Jember memungkinkan mereka mendapat sertifikat selesai KKN meskipun tak melaksanakannya (Kompas, 23 Maret 1993).
Seiring berjalannya waktu, KKN tak lagi menjadi satu-satunya persentuhan mahasiswa dengan “dunia kerja nyata”. IPB memberi alternatif magang atau praktek lapangan di industri-industri yang mengolah hasil pertanian selama minimal 6 bulan untuk mahasiswa yang tidak KKN (Kompas, 29 Agustus 1994).
Di sisi lain, untuk lebih memaksimalkan hasil KKN, beberapa PT mengadakan KKN bersama. Kompas, 16 Agustus 1996 menulis tentang KKN terpadu di 10 desa wilayah Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jabar, yang dilakukan mahasiswa UI, ITB dan IPB.
Dalam perkembangannya, KKN melibatkan lebih banyak PT untuk melaksanakannya secara bersama-sama. KKN yang melibatkan 224 mahasiswa dari 32 PT di seluruh Indonesia dan TNI ini, disebut KKN Kebangsaan. Unhas yang menjadi panitia penyelenggara KKN Kebangsaan menempatkan mereka di Kecamatan Pajukukang, Eremerasa, dan Sinoa, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Kompas, 27 Oktober 2013).
Bahkan pada pemilu tahun 2004, mahasiswa KKN dikerahkan menjadi pemantau pemilu (Kompas, 4 Februari 2004) di desa-desa. Peran mahasiswa di sini antara lain memberikan pendidikan politik bagi pemilih, terutama pemilih pemula. Bahkan sosialisasi pemilu pun melibatkan mahasiswa KKN, seperti di Nusa Tenggara Barat (Kompas, 14 Februari 2004).
Sukarela dan biaya
Sampai akhir 1970-an baru PT negeri yang melaksanakan KKN. Untuk PT swasta KKN belum menjadi kewajiban,KKN bersifat sukarela. Di Yogyakarta misalnya, dari 30 PT hanya 12 yang mengirimkan mahasiswanya untuk KKN (Kompas, 5 Mei 1978).
KKN gabungan antara mahasiswa PT negeri dan PT swasta ditulis Kompas, 16 November 1978. Kali ini KKN sudah bersifat wajib bagi mahasiswa PT swasta. Setelah diwajibkan, peserta KKN dari PT swasta di Yogyakarta pun meningkat. Sebanyak 28 PT swasta mengikut-sertakan mahasiswanya KKN di Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul.
“Perubahan sifat dari sukarela menjadi wajib bertujuan mendisiplinkan mahasiswa dan perguruan tinggi swasta yang terlibat,” kata Kepala Bagian Peningkatan Mutu dan Penyantunan Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta) Wilayah IV Yogyakarta, S. Bilyas Soegondo waktu itu.
Kalau mahasiswa PT swasta di Yogyakarta mulai wajib KKN awal tahun 1979, maka pada saat bersamaan 374 mahasiswa IPB peserta KKN mulai diasuransikan (Kompas, 10 Januari 1979). Dari uang saku mahasiswa KKN sebesar Rp 15.000 per bulan, Rp 2.325 di antaranya untuk asuransi.
Asuransi juga diwajibkan bagi mahasiswa Universitas Jember, Jatim yang melakukan KKN. Premi yang dibayarkan untuk seorang mahasiswa selama KKN sekitar enam bulan sebesar Rp 1.000 (Kompas, 11 April 1984).
Tahun 1983 mahasiswa Undip yang wajib KKN mengeluh karena harus mengeluarkan biaya KKN dari kocek sendiri. Untuk biaya tinggal dan makan selama tiga bulan di desa, mereka membayar Rp 45.000 (Kompas, 31 Agustus 1983). Meskipun begitu, KKN tetap diikuti 541 mahasiswa yang ditempatkan di Kabupaten Kendal, Grobogan, Purwodadi, Batang, Pemalang dan Pekalongan, Jawa Tengah.
Keluhan serupa disuarakan mahasiswa peserta KKN Universitas Jember. Mereka memilih pergi-pulang Kota Jember ke desa tempat KKN daripada tinggal di desa. Alasannya, biaya selama 3 bulan tinggal di desa lumayan mahal, sekitar Rp 22.000 per orang (Kompas, 2 Maret 1985).
Dengan pertimbangan karena ketersediaan dana pula, lama waktu KKN mahasiswa UGM dipersingkat menjadi dua bulan. Mahasiswa KKN juga wajib membayar Rp 25.000 per orang untuk biaya hidup di desa (Kompas, 5 Maret 1986).
KKN yang pertama kali dilakukan UGM, Unhas dan Universitas Andalas pada 1971, sampai 46 tahun kemudian masih mencari bentuk yang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya (Kompas, 26 Oktober 2013). Semoga apa yang ditinggalkan mahasiswa KKN selama ini diteruskan warga desa, dan semakin banyak pula lulusan PT yang mau kembali dan bekerja di desa.