JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sudah berusaha mengatasi ketimpangan ekonomi, tetapi hasilnya belum maksimal. Masih banyak warga miskin belum mendapatkan haknya. Masih ada warga miskin yang belum mendapatkan jaminan sosial dan kepastian tempat tinggal.
Sebagai contoh, di DKI Jakarta, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin meningkat dari 384.300 pada Maret 2016 menjadi 389.690 pada Maret 2017. Yudi (64), warga Muara Angke, Jakarta Utara, mengeluhkan dirinya belum mendapat kartu keluarga sejahtera (KKS) sampai sekarang. Keluarga Yudi juga belum mendapatkan kartu jakarta sehat (KJS) dan kartu jakarta pintar (KJP).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, jumlah penduduk miskin di Jakarta meningkat. Pada September 2016, jumlahnya mencapai 385.840 orang dengan persentase 3,75 persen. Adapun pada Maret 2017, jumlahnya mencapai 398.690 orang dengan persentase 3,77 persen.
Yudi yang sehari-hari berjualan di toko kelontong miliknya di kawasan kumuh Blok Empang, Muara Angke, tidak tahu persis jumlah penghasilannya. Ia mengatakan, penghasilannya hanya cukup menutup pengeluaran sehari-hari untuk makanan, listrik, dan air. Pengeluarannya untuk listrik dan air setiap bulan sekitar Rp 400.000. Warga Muara Angke memang harus membeli air yang dijajakan penjual air keliling karena sulit mendapat air bersih. Untuk minum, mereka membeli air galon. ”Begitu dapat uang, uang dipakai untuk beli makan saja,” ujar Yudi, Kamis (10/8).
Sebelum berjualan di toko kelontong, Yudi menjadi nelayan. Namun, sejak sepuluh tahun lalu, dia tidak pernah melaut karena merasa kondisi fisiknya tidak prima lagi. Ikan di Teluk Jakarta juga semakin sulit didapat karena adanya pencemaran sampah. Kemudian, dua tahun lalu, dia memutuskan membuka toko.
Orang yang membeli di toko Yudi terbatas, yaitu tetangga dan beberapa nelayan yang kebetulan melewati rumahnya. Karena hanya ada sedikit pembeli, pendapatannya pun pas-pasan saja. Sebelum tinggal di rumahnya sekarang, Yudi tinggal di daerah Kaliadem. Ia digusur, tetapi tidak ikut dipindahkan di Indramayu. Ia juga menolak tinggal di rumah susun di Muara Angke. ”Di situ selamanya membayar sewa tiap bulan, tetapi belum termasuk bayar listrik dan air. Jadinya sama saja, malah mungkin lebih mahal,” kata Yudi.
Rumah yang ditempati Yudi sekaligus tokonya sekarang berdiri ilegal di tanah milik Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP). Yudi bercerita, beberapa waktu lalu, ada rapat warga untuk meminta dibuatkan RT/RW di daerah Blok Empang. Sampai saat ini, warga Blok Empang ikut di RW 001 Permukiman Nelayan. ”Mungkin sewaktu-waktu bisa digusur. Kalau sudah begitu, saya mungkin kembali ke rumah orangtua saya di Tangerang,” ujar Yudi.
Ketidakpastian juga dialami warga lain di Muara Angke. Juna (52) sudah sekitar lima bulan menunggu pembuatan kartu tanda penduduk (KTP). Hal itu membuatnya merasa repot jika mengurus sesuatu, misalnya untuk berobat dengan menggunakan jaminan sosial kesehatan, dia harus menggunakan KTP sementara.
Seperti Yudi, Juna juga tinggal di tanah ilegal. Rumahnya yang berukuran sekitar 6 x 5 meter dengan dua lantai ditinggali sembilan orang. Ia tinggal bersama suami, dua anak, satu menantu, dan tiga cucu.
Suami, anak, dan menantunya bekerja sebagai nelayan, sementara Juna menjual nasi bungkus di Pelabuhan Muara Angke. ”Pendapatannya tidak tentu. Sekarang, kalau mau dapat ikan, harus jauh ke tengah laut. Kalau ikan dapat banyak bisa dapat Rp 300.000, tetapi pernah juga cuma dapat dua ekor. Padahal, untuk ke laut, harus beli bahan bakar dan perbekalan,” ungkap Juna.
Urbanisasi
Endat Winingsih (52) juga tinggal di bawah jalan layang dalam satu bedeng bersama suaminya, Salim (84). Sehari-hari, Endat dan Salim memulung sampah. Total pendapatannya sekitar Rp 180.000 per minggu. ”Sulit bagi saya untuk menyimpan uang,” kata Endat.
Dengan pendapatan itu, Endat pernah tidak makan selama tiga hari untuk menghemat pengeluaran. Terkadang, dia membeli sayur-mayur seharga Rp 3.000 untuk satu hari. Untuk kebutuhan airnya, dia mengeluarkan Rp 5.000 tiap tiga hari sekali.
Setiap pekan, dia membeli paket sembako seharga Rp 30.000 yang berisi beras 5 kilogram (kg), minyak 1 liter, dan gula 1 kg. ”Saya tidak hanya makan berdua dengan suami saya. Kadang, jika ada tetangga yang butuh, saya kasih juga,” katanya. Selain itu, ia harus membayar iuran rutin sejumlah Rp 50.000 untuk listrik.
Endat dan Salim tidak memiliki KTP DKI. Endat bercerita, dia berasal dari Subang. Akan tetapi, karena sulit mencari pekerjaan di Subang, dia memilih tetap menjadi pemulung di Jakarta. (DD02/DD09)