JEMBER, KOMPAS — Rendahnya harga jual gula membuat petani kesulitan mendapatkan untung untuk modal musim tanam berikutnya. Jika kondisi ini terus berlangsung, petani kemungkinan tidak bisa menanam tebu sehingga akan berdampak pada kelangsungan pabrik gula.
Hal itu disampaikan Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Dewan Pimpinan Cabang Olean Taufik Arahman, Jumat (11/8). "Kalau harga rendah terus seperti ini, kelangsungan musim tanam tahun depan akan terancam," ujar Taufik.
Taufik mengatakan, saat ini harga gula di tingkat petani di Pabrik Gula (PG) Olean hanya Rp 9.150 per kilogram. Harga itu merupakan besaran dana talangan yang disepakati PG Olean dan petani yang menggiling tebu di pabrik tersebut.
Harga itu di bawah harga pokok produksi Rp 10.500 per kg. Taufik khawatir jika kondisi ini dibiarkan, petani akan mengurangi jumlah luasan yang ditanami tebu. "Jika ini terus terjadi, sejumlah pabrik gula bisa tutup," kata Taufik.
Hal senada disampaikan Kepala Bagian Humas PG Olean Fitro Hariyadi. "Petani belum bisa menjual gula karena harga jual gula masih di bawah harga produksi. Padahal, petani butuh uang untuk operasional tebang, angkut, dan giling hingga bulan Desember," ujarnya.
Fitro menuturkan, dampak jatuhnya harga jual gula membuat gula hasil giling menumpuk di gudang-gudang penyimpanan. Gula belum akan dijual karena harga jual yang mengacu pada harga lelang masih di bawah harga pokok produksi.
Gula menumpuk
Gula petani juga menumpuk di pabrik di sejumlah wilayah lain. Penyebabnya tawaran pembeli saat lelang Rp 9.200 per kg, lebih rendah daripada biaya pokok produksi petani Rp 11.000-Rp 13.000 per kg. Harga lelang cenderung rendah karena, antara lain, penawaran harga saat lelang disisihkan 10 persen untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara XI Cholidi, Jumat, di Surabaya, mengatakan, hampir semua pabrik gula di lingkungan PTPN XI sedang menggiling. Saat ini, ada 213.000 ton gula milik petani, PTPN XI, dan pedagang menumpuk di pabrik karena belum terserap pasar.
Kondisi serupa terjadi di gudang-gudang PTPN X. Firda Suraida dari Bagian Humas PTPN X mengatakan, dua kali lelang gula petani belum ada yang berhasil. Sebanyak 10.000 ton gula ditawar pembeli Rp 9.710 per kg. Pada lelang kedua, 5.000 ton gula ditawar Rp 9.525 per kg.
Hingga saat ini, di PTPN X menumpuk 135.799 ton gula. Jumlah itu akan terus bertambah karena 10 pabrik gula di wilayah PTPN X, di antaranya PG Modjopanggoong di Tulungagung, PG Ngadiredjo di Kediri, dan PG Watoetoelis di Sidoarjo, masih menggiling tebu petani.
Ketua Harian Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Dewan Pimpinan Daerah PTPN XI Sunardi Edi Sukamto mengatakan, harga lelang rendah karena pembeli mengantisipasi PPN 10 persen dan dampak penetapan harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 oleh pemerintah.
Dampak lanjutan, meskipun sudah menggiling tebu, petani belum bisa menikmati hasil setelah ditunggu setahun tanam. Padahal, kebutuhan hidup petani tidak bisa ditunda. "Pembayaran cicilan pinjaman petani tebu tidak bisa ditunda karena harus dibayarkan setiap bulan," katanya.
Untuk melindungi petani, Sunardi berharap pemerintah mengubah HET menjadi Rp 15.000 per kg atau 1,5 kali harga beras seperti zaman Orde Baru.
Sudah dikaji mendalam
Di Jakarta, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, penetapan harga eceran tertinggi gula kristal putih Rp 12.500 per kg sudah dikaji mendalam. Harga itu dinilai wajar untuk memberi keuntungan bagi petani dan menjaga harga gula tidak terlalu tinggi di konsumen.
Terkait pajak, kata Enggartiasto, petani memang tak dikenai PPN dalam menjual tebu. Namun, pedagang gula masih dikenai PPN sehingga harga gula petani cenderung tertekan.
Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro mengatakan, gula belum termasuk komoditas pangan strategis yang bebas PPN.