JAKARTA, KOMPAS — Generasi milenial memiliki cara tersendiri untuk merawat gagasan kebangsaan dengan pendekatan yang lebih kekinian. Namun, masih diperlukan usaha keras untuk menjawab tantangan apatisme politik yang mendera sebagian besar generasi milenial.
Generasi milenial adalah generasi yang lahir pada 1980-2000-an atau mereka yang kini berusia 17 tahun hingga 37 tahun. Meski kerap dianggap sebagai generasi yang apatis terhadap politik, generasi milenial memiliki cara tersendiri untuk merawat gagasan kebangsaan. Sebagaimana dilakukan oleh alumnus Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB), Megawati Institute, mereka meluncurkan buku Mosaik Pemikiran Pendiri Bangsa di Jakarta, Selasa (15/8).
Pengurus Harian Megawati Institute Dida Darul Ulum mengatakan, buku tersebut merupakan inisiatif alumnus SPPB untuk menuliskan dan mengontekstualisasikan pemikiran tokoh pendiri bangsa, mulai dari Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Kartini, Sudjatmoko, hingga Nicolaus Driyarkara, yang jarang dilakukan generasi milenial. Ke-11 penulis yang terlibat berusia 25 tahun dan 37 tahun dan termasuk generasi milenial.
Tidak ada anak muda yang menulis pemikiran pendiri bangsa.
”Sepengetahuan saya, tidak ada anak muda yang menulis pemikiran pendiri bangsa,” ujar Dida dalam peluncuran dan diskusi buku Mosaik Pemikiran Pendiri Bangsa di Jakarta, Selasa (15/8). Padahal, pemikiran tertulis yang diwariskan oleh pendiri bangsa masih dapat digunakan untuk menganalisis persoalan kebangsaan yang melanda Indonesia saat ini.
Keresahan serupa dirasakan Indra Gunawan (24), pengurus Respublica Institute, perkumpulan anak muda lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Indra mengatakan, generasi milenial saat ini sulit untuk menghayati suasana batin para pendiri bangsa saat memperjuangkan kemerdekaan. Pasalnya, arus fundamentalisme agama dan westernisasi begitu kuat menyeret pemuda Indonesia.
Generasi milenial sudah terbawa arus fundamentalisme agama.
”Saat ini generasi milenial sudah terbawa arus fundamentalisme agama dan westernisasi yang membuat mereka semakin jauh dari nilai-nilai keindonesiaan, seperti menghargai keberagaman dan mengupayakan keadilan sosial,” kata Indra di Jakarta, Selasa (15/8).
Sebagai inisiatif merawat gagasan kebangsaan, kata Indra, perkumpulannya melaksanakan diskusi bulanan yang membahas pemikiran tokoh penting di Indonesia. Dari Mei 2017 hingga Agustus 2017, Respublica Institute sudah melaksanakan tiga diskusi berdasarkan hasil riset pegiatnya, yaitu mengenai wacana revolusi pascakemerdekaan, antara lain melalui presiden pertama Indonesia Soekarno hingga pemikiran pakar pendidikan HAR Tilaar.
Untuk menarik perhatian generasi milenial, Respublica Institute menggunakan pendekatan kekinian. Indra mengatakan, kegiatan diskusi selalu dilaksanakan di kafe yang menjadi tempat berkumpul anak muda. Selain itu, selama diskusi peserta juga diajak untuk membagi pengetahuannya mengenai topik yang dibahas terlebih dahulu kemudian disusul paparan dari periset. ”Kami mengusahakan agar peserta lebih aktif sehingga tidak terkesan menggurui,” ujar Indra.
Tantangan
Pengemasan gagasan kebangsaan untuk disebar kepada khalayak milenial merupakan satu pertimbangan penting. Hermien Kleden, Redaktur Senior Majalah Tempo, mengatakan, diskursus kebangsaan dari para pendiri bangsa bukanlah topik menarik bagi generasi milenial. Dalam reportase sederhananya, Hermien menemukan fakta bahwa milenial tidak merasa memiliki ikatan kuat dengan Indonesia.
”Mereka tidak merasa sebagai bagian dari Indonesia, tetapi sebagai bagian dari komunitas dunia,” kata Hermien ketika menjadi pembicara dalam diskusi buku Mosaik Pemikiran Pendiri Bangsa.
Hal itu juga dikatakan Ires Tufana (24), manajer lembaga bimbingan belajar Smartplus, Jakarta. Bagi Ires, kehidupannya saat ini lebih dipengaruhi oleh hubungan-hubungan dengan dunia internasional. Rasa memiliki bangsa dan pentingnya membahas gagasan kebangsaan pun hanya dirasa sebagai bagian kecil dari kehidupan berbangsa dan bernegara. ”Menurut saya, persoalan kebangsaan itu hanya pelengkap identitas,” kata Ires.
Kalau kita melakukan kegiatan atau membahas tentang kebangsaan-kebangsaan, kesannya sudah sangat kuno.
Selain itu, pembicaraan mengenai gagasan kebangsaan dan tokoh pendiri bangsa juga dianggap tidak sesuai zaman. ”Kalau kita melakukan kegiatan atau membahas tentang kebangsaan-kebangsaan gitu kan kesannya sudah sangat kuno, tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang sudah globalisasi sekarang,” kata Ori Muhammad (15), siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 68 Jakarta.
Hermien menambahkan, saat ini sebagian generasi milenial mengalami kondisi buta politik yang belum tentu terjadi hanya secara individual, tetapi juga secara kolektif. Menurut dia, generasi milenial tidak pernah mendapat pencerahan dari referensi gagasan kebangsaan. Apalagi, perilaku politisi yang memimpin negara ini justru menunjukkan banyak penyelewengan. ”Hal-hal mulia yang ditunjukkan pendiri bangsa itu tidak ada yang dilakukan oleh politisi saat ini,” kata Hermien.
Hal-hal mulia yang ditunjukkan pendiri bangsa itu tidak ada yang dilakukan oleh politisi saat ini.
Keterputusan gagasan kebangsaan yang sudah mulai ditulis oleh pendiri bangsa Indonesia dari awal abad ke-20 sampai ke generasi milenial saat ini, menurut Hermien, adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, dibutuhkan peran dari pihak yang dapat meliterasi masyarakat akan pengetahuan sejarah dan kebangsaan. ”Dalam hal ini selain pendidikan, saya pikir media juga harus jadi garda terdepan untuk meliterasi masyarakat,” ujar Hermien. (DD01)