JAKARTA, KOMPAS – Maraknya busana adat tradisional dan nuansa merah putih dalam peringatan HUT ke-72 Proklamasi Kemerdekaan RI di berbagai tempat menjadi titik balik atas maraknya gejala antikeberagaman dan anti-NKRI. Simbol-simbol kultural yang muncul alamiah tersebut mengirim pesan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia berdaulat secara budaya, melebihi dimensi politik dan yuridis.
Demikian pandangan budayawan Radhar Panca Dahana dan dosen filsafat Universitas Indonesia Saras Dewi ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (18/8). Keduanya memaknai secara positif penggunaan busana daerah oleh Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan para tokoh dalam acara peringatan HUT ke-72 Proklamasi RI di Istana Merdeka, Kamis lalu.
Kesemarakan tersebut secara juga dijumpai secara masif di perkotaan hingga di pelosok negeri. Semua warga dari aneka latarbalakang suku, agama, dan ras membaur merayakan HUT Proklamasi, melalui upacara bendera dan aneka lomba dengan busana tradisional dan pernak-pernik merah putih.
Menurut Radhar, fenomena itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuatan asing yang ingin merongrong eksistensi bangsa Indonesia. “Ini proklamasi kebudayaan. Berbicara soal bangsa, ya bicara soal kebudayaan, antara lain melalui busana. Hal ini mengonfirmasi bahwa kita tidak rapuh menghadapi terpaan dari luar, termasuk radikalisme dan intoleransi,” kata Radhar.
Radhar menilai, pamer kebudayaan dalam momentum 17 Agustus dengan sendirinya juga meneguhkan kesadaran eksistensialisme bahwa “aku hadir karena perbedaan”. Kesadaran akan perbedaan itu membangun sikap saling memahami. Bagi orang kebanyakan termasuk generasi milenial, simbol-simbol budaya itu diharapkan mendorong mereka untuk menggali narasi demi mendapatkan penejalasan yang utuh.
Saras Dewi menambahkan, kesadaran untuk eksis dengam simbol kultural di momentum HUT Proklamasi sebetulnya telah tersemai sejak peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni lalu. Melalui teknologi digital, generasi milenial yang gandrung dengan visualisasi, menebarkan semangat Pancasila untuk menghargai perbedaan suku, agama, dan dan ras. “Kita punya ajaran asli produk Nusantara. Lalu mengapa pula harus tercabik-cabik dengan paham dari luar? Masyarakat jenuh dengan amuk dan kebencian. Momentum 17 Agustus ini sebagai titik baliknya,” ujar Saras. (NAR)