Pada 17 Agustus 2017, kemerdekaan Republik Indonesia telah memasuki tahun ke-72, bukan lagi seumur jagung. Tekad kemerdekaan jelas untuk mengantarkan rakyat Indonesia menuju gerbang kesejahteraan. Oleh karena itu, wujud dari janji kemerdekaan yang paling minimal tentu terhapusnya kemiskinan. Rakyat tak lagi kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama pangan dan sandang, sebagaimana di masa penjajahan. Rakyat bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak.
Sayangnya, sampai dengan Maret 2017, masih ada 27,7 juta (10,64 persen) penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Padahal, garis kemiskinan di perdesaan sebesar Rp 361.496 per bulan (Rp 12.050 per hari) dan di perkotaan Rp 385.621 per bulan (Rp 12.854 per hari), sementara garis kemiskinan menurut standar internasional adalah 2 dollar AS per hari. Dengan asumsi nilai tukar Rp 13.300 per dollar AS, mestinya garis kemiskinan mencapai Rp 26.600 per hari. Artinya, dengan garis kemiskinan yang kurang dari 1 dollar AS saja, masih menghasilkan jumlah orang miskin 27,7 juta penduduk, apalagi jika menggunakan standar ideal. Jumlah penduduk yang rentan miskin diperkirakan masih mencapai 40 juta orang.
Di samping menghilangkan jumlah orang miskin dari sisi kemiskinan mutlak, kesejahteraan juga harus dinikmati bersama oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian, ketimpangan atau kesenjangan antargolongan masyarakat juga harus dikikis. Di era penjajahan, hampir seluruh masyarakat Indonesia bernasib sama sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Justru kondisi itu yang mempersatukan seluruh masyarakat untuk bergerak melawan penjajah, bahu-membahu meraih kemerdekaan. Persatuan itu menjadi modal dasar, membuat sumber daya terbatas menjadi kekuatan dahsyat yang mampu mengusir penjajah.
Kini, filosofi tersebut masih sangat relevan untuk mengisi dan menepati janji kemerdekaan. Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi telah membuat potensi sebagian anak bangsa menganggur atau tidak diberdayakan. Faktor utamanya, keterbatasan lapangan kerja, kepemilikan aset produktif, dan akses terhadap layanan dasar. Dominasi kepemilikan lahan terkonsentrasi pada pemilik modal. Banyak lahan pertanian yang dibiarkan telantar dan tidak ditanami karena lahan itu hanya sebagai instrumen investasi. Keterbatasan akses terhadap fasilitas dasar membuat masyarakat berpenghasilan rendah semakin tidak produktif. Keterbatasan akses pendidikan membuat kemampuan sebagian tenaga kerja hanya menjadi buruh kasar tanpa keterampilan sehingga produktivitasnya rendah. Akses pembiayaan yang minim membuat masyarakat perdesaan hanya mampu menghasilkan komoditas berkualitas rendah.
Untuk itu, harus ada terobosan konkret agar tidak ada lagi sumber daya yang sia-sia. Pertama, fokus pada penciptaan lapangan kerja. Berikan insentif kepada sektor produktif, terutama padat karya yang mampu memberikan pekerjaan layak. Sekalipun angka pengangguran terbuka turun, hasil riset Bank Dunia menunjukkan upah tenaga kerja sektor informal hanya setengah dari sektor formal. Upah tenaga kerja tidak terampil sepertiga dari tenaga kerja terdidik dan terampil. Pengangguran usia muda tujuh kali lipat dari pengangguran usia dewasa.
Kedua, pemerintah harus mengefektifkan dana desa. Banyak potensi desa yang belum diolah sehingga hanya menghasilkan komoditas primer. Potensi desa dapat dipetakan menjadi kawasan desa sesuai kesamaan potensi desa. Dana desa dapat dioptimalkan untuk meningkatkan nilai tambah sehingga menghasilkan produk unggulan setiap kawasan desa. Banyak pilihan, misalnya memfasilitasi sarana dan prasarana industri perdesaan. Jika ada pengolahan komoditas perdesaan, di samping menggerakkan aktivitas ekonomi, juga mampu menciptakan variasi lapangan kerja. Dengan demikian, tenaga kerja terdidik tidak harus urbanisasi, tetapi mampu menciptakan usaha produktif di desa. Dana desa juga dapat dipakai untuk membangun fasilitas penyimpanan atau pergudangan pada sentra-sentra produksi pangan yang mudah rusak. Petani akan terlindungi dari kejatuhan harga ketika panen raya dan konsumen akan mendapat kepastian pasokan pangan yang berkualitas.
Ketiga, peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah bisa menyediakan anggaran dari porsi anggaran pendidikan 20 persen. Program vokasi dan pelatihan tenaga kerja harus dilakukan secara masif. Buruh yang telah masuk perusahaan pun harus diberi pelatihan agar keterampilan dan keahliannya meningkat. Pemerintah dapat berkolaborasi dan bersinergi dengan kementerian teknis, dunia usaha, dan pemerintah daerah untuk mengintensifkan ini.
Keempat, pemerataan kualitas pendidikan dan kesehatan. Pemerataan akses kualitas pendidikan menjadi gunting yang ampuh untuk memutus ketimpangan. Pendidikan harus mampu diakses oleh seluruh masyarakat. Tidak hanya berhenti pada biaya pendidikan gratis pada level pendidikan dasar, tetapi kualitas pendidikan juga harus merata. Harus ada beasiswa yang memadai agar akses masyarakat miskin dapat mengenyam pendidikan tinggi. Untuk pemerataan akses kesehatan, fasilitas puskesmas harus menjangkau kebutuhan masyarakat.
Kelima, infrastruktur yang tepat guna. Membangun dari pinggir, baik daerah perdesaan, terpencil, maupun terluar, serta usaha kecil, kuncinya adalah terbukanya akses pasar. Untuk itu, infrastruktur yang dibangun harus mendorong koneksi dan efisiensi akses pasar. Jika pasar terbuka, berbagai kreativitas akan menumbuhkan kegiatan ekonomi produktif. Pengembangan teknologi informasi dapat menjadi alternatif solusi untuk mengefisienkan transaksi di daerah-daerah pinggiran dan terpencil.