logo Kompas.id
UtamaLahan Kritis Itu Kembali Hijau
Iklan

Lahan Kritis Itu Kembali Hijau

Oleh
Reny Sri Ayu
· 5 menit baca

Wajah M Arif (42) dan istrinya semringah, Sabtu (19/8). Mereka menunjukkan padi jenis Black Madras yang baru mereka panen di Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma\'rang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Sebagian tanaman padi tampak hijau. Sebagian lagi berjenis Black Madras, daun dan batangnya berwarna ungu kehitaman. Sekilas, hamparan padi Black Madras tampak seperti hangus terbakar. "Ini kali pertama saya tanam Black Madras. Rekan-rekan dari Yayasan Blue Forest dan penyuluh pertanian memperkenalkan padi jenis ini. Ternyata hasilnya bagus," kata Arif. Menurut Arif, harga beras Black Madras lebih mahal daripada beras biasa, Rp 20.000 per kilogram, sedangkan harga beras biasa Rp 8.000 per kilogram. Beras Black Madras dipercaya bagus untuk kesehatan. Benihnya dari Balai Penelitian Pertanian Maros. Saat ini, petani juga diajari membuat benih. Lahan yang ditanami padi sesungguhnya adalah tambak. Setiap musim hujan, saat tambak berisi air, Arif menebar benih ikan bandeng atau nila. Saat ikan berusia dua bulan, petak diisi benih padi. Ketika umur ikan siap dipanen dan tanaman padi tak butuh air, tambak dikeringkan. Ikan diambil, lalu tanaman padi dibiarkan tumbuh hingga saat panen.Hal sama dilakukan Usman (40) dan Saharuddin (39), petani sekaligus petambak penggarap di Kecamatan Labakkang, Pangkajene dan Kepulauan. Di lahan mereka, tanaman padi dan ikan nila ditempatkan dalam satu areal. Di tengah tambak ada tanaman padi, sekelilingnya diberi ruang kosong selebar 1 meter dan diperdalam untuk budidaya ikan. Di petak lain, mereka memelihara udang.Baik Arif, Usman, maupun Saharuddin menggunakan pupuk organik pada sawah dan tambak. Pupuk dibuat dari sampah rumah tangga, seperti sisa makanan, sisa sayuran, dedaunan, serta ikan yang dicampur air cucian beras dan gula, kemudian difermentasi.Hasilnya adalah pupuk cair atau MOL (mikroorganisme lokal). Untuk kompos, mereka membuat dari dedaunan dan rumput yang dicampur kotoran sapi ataupun kambing yang juga melalui fermentasi.Lahan tempat Arif, Usman, Saharuddin, dan warga lain menanam padi atau memelihara ikan sebelumnya adalah lahan kritis dan bekas tambak yang telantar. Sebagian bahkan lebih dari 20 tahun tak produktif.Berada di pesisir Selat Makassar dan mengandalkan pemompaan, pada awalnya banyak petani dan petambak putus asa memulihkan lahan. Banyak warga yang meninggalkan desa untuk membuka tambak di daerah lain, seperti Kalimantan dan Gorontalo.Pemulihan lahan Di tengah keputusasaan, tahun 2010, Yayasan Blue Forest (dulu Mangrove Action Project) datang mendampingi warga. Tak banyak warga meyakini ide memulihkan lahan kritis dan mandiri pangan. "Saat itu banyak lahan kritis yang sulit ditanami. Kalaupun difungsikan, hasil tambak jauh dari harapan," kata Ratna Fadilah, salah satu pendiri Yayasan Blue Forest.Penolakan tidak membuat Ratna dan rekan-rekan menyerah. Mereka sabar hingga sejumlah ibu rumah tangga berubah pikiran, salah satunya Sitti Rahma (38), istri Arif."Lahan pekarangan saya dulunya hampir tak pernah ditanami. Selain kering, tanahnya juga berpasir. Sekarang, untuk keperluan sehari-hari, mulai dari beras hingga sayur, bisa mengambil dari lahan sendiri. Aman pula, karena pakai pupuk organik," kata Sitti.Tak hanya beragam sayur dan buah, beberapa kali pekarangannya juga ditanami padi saat curah hujan tinggi. Hampir semua tanaman yang ditanam tumbuh. Hal itu memotivasi warga desa lain untuk mencoba. Sitti dan kelompoknya menyebarluaskan praktik itu ke beberapa desa.Saharuddin dan Usman awalnya tak percaya lahan kritis bisa dipulihkan. Keberhasilan seorang perempuan di desanya menghijaukan pekarangan menjadi motivasi. "Dulu, kalau tebar 20.000 benih udang, syukur kalau ada 20 ekor yang hidup. Biasanya, di usia sebulan sampai dua bulan, udang jadi merah dan mati. Sekarang, tebar 20.000 benih, panen bisa lebih dari 100 kilogram. Ukuran udang juga cukup besar, hingga 70 ekor per kilogram," kata Saharuddin yang lahannya pernah telantar hingga 17 tahun.Dalam setahun, Saharuddin dan petambak lain bisa memanen tiga kali udang. Saat hujan mereka memanfaatkan air hujan dan saat kering mereka menggunakan pompa air. Sebagai gambaran, harga udang saat ini Rp 70.000 per kilogram. Jika di petak seluas 50 are (setengah hektar) Saharuddin mendapat 100 kilogram sekali panen, hasilnya Rp 7 juta. Padahal, modalnya paling banyak Rp 1,5 juta per petak. Keberhasilan warga memulihkan lahan kritis tak lepas dari sistem sekolah lapang yang diterapkan Yayasan Blue Forest. Setiap kali memulai penanaman padi atau menebar benih ikan, warga rutin dikumpulkan dalam sekolah lapang. Di situ, mereka berdiskusi dan mengamati keadaan alam, lingkungan, dan iklim. "Tahap demi tahap pertumbuhan padi ataupun ikan dan udang diamati dan diteliti, termasuk melihat faktor apa yang menunjang pertumbuhan dan apa yang bisa jadi predator alami. Semua petani dan petambak terlibat aktif," ujar Ratna. Setiap percobaan selalu dilakukan di lahan yang berdampingan dengan pertanian dan tambak non-organik sehingga hasilnya akan lebih mudah dibandingkan. Pada beberapa kali peristiwa kematian massal ikan dan udang, tambak organik selalu selamat. Pangkajene dan Kepulauan adalah salah satu kabupaten yang menjadi sentra tambak ikan dan udang dengan potensi tambak lebih dari 10.000 hektar. Saat krisis ekonomi di era 1998-1999, komoditas ekspor, terutama udang, "naik daun". Warga kemudian beramai-ramai membuka tambak. Namun, pemanfaatan pupuk berlebih membuat banyak tambak yang jenuh dan rusak.Kini, sebagian lahan yang dulu telantar dan rusak berangsur pulih dan hijau. Perubahan ini membuka mata warga bahwa masih banyak harapan yang tersisa. Petambak pun kerap dipanggil ke daerah lain untuk berbagi kisah sukses.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000