Efredi (53) dan istrinya, Delila (43), termenung di gubuk berukuran 3 meter x 2 meter di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan Ke-72 RI, mereka justru bersedih.
Gubuk itu bukan milik dia, melainkan kepunyaan pemilik kebun karet tempat mereka bekerja. Dinding gubuk itu terbuat dari kayu tanpa cat. Tak ada apa-apa di gubuk itu, alas karpet pun sobek. Pada seutas tali di dinding tergantung pakaian lusuh. Tak ada penerangan listrik.
Efredi dan Delila baru sebulan bekerja di kebun karet milik warga Entikong. Mereka warga Kecamatan Jangkang, 100 kilometer dari Entikong. ”Kami memiliki kebun karet di Jangkang, tetapi tidak sampai 1 hektar. Dengan anjloknya harga karet, penghasilan kami hanya sekitar Rp 250.000 per bulan. Sementara biaya pendidikan tiga anak di SMP, SMK, dan perguruan tinggi minimal Rp 1 juta per bulan. Harga 1 kilogram karet saja tidak cukup membeli 1 kg beras,” kata Efredi.
Selama empat tahun terakhir, harga karet anjlok dari Rp 10.000 per kg menjadi Rp 5.000 per kg. Harga ini lebih murah daripada 1 kg beras.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anak, Efredi kerap berutang. Ekonomi keluarganya kian sulit sehingga mereka mencoba peruntungan dengan menjadi penyadap karet di Entikong. Namun, ekonomi mereka tak kunjung membaik. Penghasilan hanya Rp 500.000-Rp 700.000 per bulan. Itu tidak cukup untuk membayar utang, membiayai pendidikan anak, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
”Anak saya yang SMK selama kelas I berseragam SMP karena belum bisa membeli seragam SMK,” ujarnya.
Kesulitan serupa dialami Matius (35), petani karet di Kabupaten Ketapang, Kalbar. Anaknya yang SMP tak bisa menerima rapor karena tak bisa melunasi SPP. ”Ketika harga karet Rp 10.000-Rp 15.000 per kg, petani bisa berpenghasilan jutaan rupiah per bulan. Biaya pendidikan bisa dijangkau. Sekarang tinggal kenangan,” kata Matius.
Nasib serupa dialami banyak petani karet lain. Berdasarkan data Sensus Karet 2015-2017, ada 264.328 keluarga petani karet di Kalimantan Barat.
Di Desa Henda, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (12/8), Wahyudi (47) bergerak pelan menuju kebun karet. Harga karet yang jatuh membuat dia tak bergairah menyadap karet. Namun, tak ada pilihan lain.
Setelah menyadap 30 batang pohon karet, Wahyudi bergegas ke desa tetangga naik sepeda motor. Ia membersihkan kebun orang lain dengan upah Rp 40.000 setengah hari. ”Kalau tidak cari sampingan, saya tidak bisa beli beras,” kata Wahyudi.
Wahyudi bercerita, rumah tembok tipe 45 miliknya dibangun saat harga karet Rp 12.000 per kg sembilan tahun lalu. Saat ini, harapan bisa menikmati kejayaan karet hampir musnah.
Nasib sama dirasakan Tumbit M Sipet (45), warga Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau. Ia kini bekerja sebagai tenaga harian mengurus kebun buah naga di satu perusahaan agrobisnis. Ia bosan mengurus dan menyadap karet di kebun miliknya seluas 2 hektar karena harga karet tak kunjung membaik.
Banyak masalah
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Kalbar Jusdar Sutan mengatakan, di tingkat internasional harga karet sangat rendah. Pada Februari harga karet 2,3 dollar AS per kg. Namun, pada Agustus 1,5 dollar AS per kg. Keputusan Dewan Tripartit Karet Internasional mengurangi ekspor karet 1 Maret-31 Agustus 2016 tidak memulihkan harga karet dalam waktu lama.
Masalah lain, produktivitas karet di Kalbar rendah, hanya 600 kg-700 kg per hektar setiap tahun karena tidak diremajakan. Kalau diremajakan, bisa 1,8 ton per hektar per tahun. Jika ditunjang pemeliharaan yang benar, bisa menghasilkan 2,5 ton per hektar per tahun.
Rendahnya produktivitas membuat pabrik kekurangan bahan baku. Dua dari 16 pabrik karet di Kalbar tutup. Sekitar 500 pekerja pabrik kehilangan pekerjaan. Sebanyak 14 pabrik lain beroperasi tidak dalam kapasitas penuh. Kapasitas produksi terpasang untuk 500.000 ton per tahun. Namun, produksi hanya 220.000 ton per tahun.
Christiandy Sanjaya, Wakil Gubernur Kalbar, mengatakan, pemerintah berupaya mengatasi masalah ini. Selain menerbitkan sejumlah peraturan, pemerintah juga memberi bantuan bibit dan menyelenggarakan pelatihan. Di beberapa daerah dibentuk Unit Pengolahan Pemasaran Bokar.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menilai, pemberian bantuan bibit kepada petani belum diikuti perhatian pada efektivitas program.
Tata niaga juga belum baik. Spekulan masih ”bermain”. Perlu badan khusus di daerah untuk membeli karet dengan harga layak saat harga anjlok. Juga perlu industri hilir agar penyerapan dalam negeri optimal.
Dicampur
Berdasarkan data Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalteng tahun 2017, produktivitas karet di Kalteng rendah, hanya 1,04 ton per hektar, di bawah rata-rata nasional 1,23 ton per hektar. Padahal, karet adalah komoditas utama di Kalteng.
Menurut data Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, sekitar 80 persen perkebunan rakyat didominasi kebun karet. Namun, seperti diakui Kepala Desa Gohong Yanto L Adam, mutu getah karet rakyat umumnya kurang baik. ”Ada yang dicampur batu, ada yang direndam di sungai untuk menambah berat. Itu membuat perusahaan malas membeli,” ujarnya.
Pemandangan berbeda terlihat di Kelurahan Sei Gohong, Kota Palangkaraya. Kelompok tani Panunjung Tarung yang beranggotakan 55 petani bertahan menyadap karet di tengah harga karet rendah.
Mereka mampu bertahan karena memiliki gudang bahan olah karet (bokar) dengan kapasitas 12 ton getah karet. Ukuran gudang itu 6 meter x 8 meter. Di dalamnya dibuat meja-meja bertingkat dari bambu untuk menyimpan karet.
Holdi (50), ketua kelompok tani, mengatakan, gudang dibangun atas bantuan BI perwakilan Kalteng tahun 2015. Mereka juga membentuk koperasi untuk membeli karet petani. ”Dulu petani langsung jual kepada pengumpul. Saat ini kami bisa membeli dan mengolah sehingga harga lebih tinggi,” katanya.
Mereka mampu menjual getah karet dengan harga Rp 12.000 per kg. Dari petani mereka membeli Rp 9.500-Rp 10.000 per kg.
Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalteng Wuryanto mengatakan, pihaknya mendampingi tiga kelompok tani khusus komoditas karet agar petani bisa lebih mandiri. ”Komoditas karet sangat bergantung pada kondisi global. Itu tak baik. Solusinya adalah pendampingan sehingga karet bisa lebih berkualitas dan mendorong petani melakukan hilirisasi komoditas karet di Kalteng. Minimal jadi barang setengah jadi,” katanya. (Dionisius Reynaldo Triwibowo)