Jalan Berliku Sang Juara
Pencapaian atlet jalan cepat Hendro (26) pada SEA Games Kuala Lumpur 2017 sungguh luar biasa. Ia berhasil merebut medali emas dalam tiga SEA Games berturut-turut. Ia bahkan memecahkan rekor jalan cepat SEA Games di lintasan atau trek 20.000 meter yang telah bertahan selama 18 tahun.
Hendro tampil heroik, Selasa (22/8), di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia. Setelah memimpin sejak putaran awal, pemuda dengan nama lahir Yap Kim Lung itu sempat mengalami dehidrasi hingga sulit bernapas. Namun, ia seolah tidak menghiraukan kondisi fisiknya. Ia terus melangkah lebih cepat dan lebih cepat hingga mencapai finis pertama dengan catatan waktu 1 jam 32 menit 11 detik.
Ia pun berhasil melakukan hattrick dengan merebut medali emas berturut-turut di tiga SEA Games berbeda, yakni tahun 2013, 2015, dan 2017. Ia juga berhasil menumbangkan rekor jalan cepat SEA Games (di lintasan) yang telah bertahan selama 18 tahun milik atlet Malaysia, Narinder Singh Harbans, yakni 1 jam 33 menit 47 detik, yang dicetak pada SEA Games Bandar Seri Begawan 1999.
”Saya tidak menyangka akan meraih hasil seperti ini karena sebenarnya kondisi saya kurang prima dan persiapan tidak maksimal,” kata Hendro.
Pencapaian Hendro hari ini sejatinya merupakan buah dari perjuangan panjang dan berliku dalam mengatasi kesulitan hidup. Terlahir dari keluarga kurang mampu yang tinggal di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, anak kedua dari enam bersaudara ini sempat terancam putus sekolah. Saat masih duduk di bangku SMP, sang ayah, Yap Soen Peng, sudah memberi tahu bahwa ia tidak bisa membiayai sekolah Hendro. Gaji sang ayah sebagai kepala gudang, kala itu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan keluarga, apalagi menyekolahkan anak-anaknya. Jika mau melanjutkan pendidikan ke bangku SMA, Hendro disuruh mencari uang sendiri.
Janji Hendro
Keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi mendorong Hendro untuk menceritakan kesulitannya itu kepada guru olahraganya, Anang Suryana. Anang lantas memberi saran kepada Hendro agar mencari jalan untuk sekolah lewat jalur olahraga. Dengan prestasi di bidang olahraga, Anang berharap Hendro bisa masuk Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Jawa Barat di Bandung sekaligus melanjutkan pendidikan di SMA secara gratis.
Hendro menerima saran dari Anang. Sang guru lantas mengenalkan Hendro pada olahraga jalan cepat--olahraga yang sunyi dan jauh dari sorotan media. Selama dua bulan, Hendro bersama 8-10 temannya dilatih Anang di Stadion Persikabo di Cibinong. Hendro tidak memberitahu orang tuanya tentang latihan itu karena mereka tidak mendukung ia menjadi atlet.
Untuk biaya ongkos transportasi dari rumahnya di Cileungsi ke Cibinong, Hendro memulung kardus bekas di TPA Bantar Gebang, selepas pulang sekolah. Seringkali saat haus setelah berlatih, Hendro terpaksa meminum air mentah dari kran. Ia tidak bisa membeli minuman karena uang yang ia peroleh dari hasil memulung kardus, hanya cukup untuk ongkos pulang.
Pernah suatu ketika ia ingin sekali membeli es krim, namun hanya bisa memandangi dari luar toko karena tidak punya uang. Saat itu ada anak kecil yang keluar dari toko sambil memakan es krim, namun tak lama berselang anak tadi membuang es krimnya. Saking inginnya makan es krim, Hendro lantas memungut es krim yang dibuang anak tadi dan memakannya sambil menangis dalam hati.
“Dalam hati saya berjanji, ini terakhir kali saya makan dari makanan yang dibuang orang,” katanya.
Tiga minggu setelah berlatih bersama guru olahraganya, Hendro mengikuti lomba antarpelajar di tingkat Provinsi Jawa Barat. Ia bisa meraih peringkat ketiga di lomba itu. Ia juga mengikuti seleksi untuk mengikuti Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) dan terpilih setelah menempati peringkat kelima. Capaian itu membawanya diterima di PPLP Jabar.
Sang guru pula yang mengantarnya ke PPLP dan untuk menempuh pendidikan SLTA, ia dititipkan di SMA Pasundan 7 Bandung. Keinginan Hendro untuk meneruskan pendidikan lewat pretasi olahraga akhirnya tercapai. Namun, Hendro tidak mau berhenti sampai di situ.
Saat di PPLP, Hendro juga ikut pemusatan latihan nasional, baik yang digelar di Pengalengan, Jabar, maupun di Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Itu sebabnya, untuk pembelajaran di sekolah, ia juga dititipkan di SMA Negeri 1 Pengalengan dan SMA Negeri 1 Tanjungsari Yogyakarta. Hendro banyak belajar jalan cepat dari pelatih nasional Heri Surahno sejak 2007, saat ia masih berusia 17 tahun.
Berkat pelatihan spartan yang diikutinya, Hendro mulai mengukir prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hadiah yang ia terima dari lomba yang ia menangi, ia gunakan untuk membantu perekonomian keluarganya yang miskin. Ia juga membangun rumah di Bandung dan Yogyakarta.
Nekat ke Spanyol
Selepas SMA, Hendro mendapat beasiswa dari Pusat Pembinaan dan Latihan Mahasiswa (PPLM) dan melanjutkan kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung, mengambil jurusan kepelatihan. Hasrat untuk terus berkembang dalam prestasi maupun pendidikan, membawanya untuk kuliah di jenjang strata 2 jurusan manajemen olahraga Universidad Catholica San Antonio de Murcia (UCAM), Spanyol.
“Tujuan saya ke Spanyol adalah ingin berlatih sambil belajar. Di sana ada juara dunia 2015 Miguel Angel Lopez yang berlatih dan kuliah di UCAM, juga ada Antonio Carillo, pelatih yang banyak menghasilkan atlet-atlet kelas dunia,” kata Hendro.
Bermodalkan tekad kuat dan tabungan yang diperolehnya saat memenangi lomba sebelumnya, Hendro dibantu staf pemasaran UCAM di Jakarta Carlos Noguera untuk mendaftar di universitas itu. Kasihan dengan kondisi Hendro yang berjuang membiayai sendiri pendidikannya, pihak universitas memberikan potongan biaya pendidikan sebesar 40 persen.
Perjalanan Hendro untuk sampai ke Murcia tidaklah mulus. Berbekal uang sekitar 300 euro atau sekitar Rp 4,5 juta ia berangkat ke Madrid. Di sana ia dibantu Duta Besar Indonesia untuk Spanyol Yuli Mumpuni Widarso. Dari Madrid, ia melanjutkan perjalanan ke Murcia.
Untuk bertahan hidup selama hampir enam bulan di sana, ia mencairkan tabungannya sebesar 5.000 atau sekitar Rp 80 juta. Sedangkan untuk membayar biaya kuliah sebesar 8.400 euro atau sekitar Rp 120 juta, ia menjual mobil miliknya. Semua dia penuhi sendiri, tanpa ada bantuan dari pemerintah maupun negara.
“Prinsip saya, saat punya uang tidak boleh foya-foya. Semua harus digunakan untuk meningkatkan prestasi dan untuk masa depan,” katanya.
Perjalanan Hendro untuk berguru kepada Carillo dan berlatih dengan Miguel juga unik. Saat itu ia mendapatkan nomor kontak Carillo dari rekannya. Ia pun menghubungi Carillo dan mengutarakan niatnya untuk berlatih. Keesokan harinya, ternyata Carillo sudah menyuruh Miguel, yang seorang juara dunia, untuk menjemputnya dari tempat kost dan langsung berlatih. Padahal saat itu ia tidak tahu harus bayar berapa untuk ikut berlatih. Ia pun was-was jika ternyata harus disuruh membayar mahal, sementara tabungannya juga kian menipis.
Setelah lima kali berlatih, Hendro bertanya ke Carillo melalui Miguel, apakah dia harus membayar untuk ikut latihan bersama tim universitas itu. Carillo pun memanggil dia dan mendengar kisahnya yang datang dengan biaya sendiri yang pas-pasan, hanya bermodalkan nekat.
“Saya terkejut Carillo bilang tidak usah bayar. Yang penting saya latihan dan jadi juara. Carillo hanya minta saya membawakan oleh-oleh jaket tim Indonesia untuknya,” kata Hendro.
Sebagai ungkapan terima kasih, keesokan harinya ia langsung memasak bubur kacang hijau bagi Carillo dan rekan-rekan berlatihnya. Mereka begitu senang dan setiap saat mereka menginginkan Hendro siap memasak bubur kacang ijo untuk mereka.
Dalam latihan atau lomba jalan cepat itu sejatinya yang berat adalah mengalahkan diri sendiri, bukan orang lain
Dari berlatih bersama Carillo dan Miguel itu, Hendro mendapatkan pengalaman berharga. Ia jadi memahami teknik dasar jalan cepat yang benar untuk meningkatkan prestasi. Ia juga menjadi tahu cara berlatih yang sistematis serta apa saja yang dibutuhkan bagi atlet. Namun demikian, setelah berlatih bersama selama beberapa bulan, untuk mengimbangi atau bahkan melampaui Miguel, ia belum mampu. Miguel memiliki catatan waktu terbaik jalan cepat 20.000 m yakni 1 jam 19 menit 58 detik, sedangkan Hendro mencetak waktu terbaik 1 jam 27 menit 24 detik saat di peringkat kelima pada Kejuaraan Asia 2016 di Nomi, Jepang.
“Sulit untuk mengalahkan Miguel karena ia ditunjang fasilitas, nutrisi serta, prasarana lain yang bagus. Saya memang bisa ikut berlatih di fasilitas mereka, namun untuk kebutuhan nutrisi, saya harus memenuhi sendiri. Paling untuk menyiasati dengan cara yang lebih murah, yaitu saya makan nasi yang banyak,” kata Hendro sambil tertawa.
Setelah segala pencapaiannya itu, Hendro memiliki obsesi untuk memajukan olahraga jalan cepat di Tanah Air. Apalagi ia tergolong punya potensi yang lengkap, yakni pengalaman sebagai atlet, punya pengetahuan tentang kepelatihan, pernah belajar dari atlet dan pelatih kelas dunia, serta punya gelar master manajemen olahraga.
Kini, selain menjadi atlet, ia juga menjadi asisten pelatih untuk membantu melatih atlet-atlet yunior. Kepada mereka, ia selalu menanamkan, untuk menjadi atlet dan juara jalan cepat, tidak hanya dibutuhkan kesiapan fisik, tetapi lebih penting lagi adalah kesiapan mental.
“Dalam latihan atau lomba jalan cepat itu sejatinya yang berat adalah mengalahkan diri sendiri, bukan orang lain. Mengalahkan rasa malas, mengalahkan rasa lelah, serta harus fokus dan disiplin,” katanya.
Biodata Hendro
Tempat/tanggal lahir : Medan, 24 oktober 1990
Ayah : Yap Soen Peng (60)
Ibu : Melati (47)
Pendidikan :
- SD 1 Negeri Cileungsi Kabupaten Bogor
- SMPN 1 Cileungsi Kabupaten Bogor
- SMA Pasundan 7, SMA Negeri Pengalengan 1, dan SMA Tanjungsari Yogyakarta
- S1 Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
- S2 Universidad Catholica San Antonio de Murcia, Spanyol
Prestasi internasional :
- Medali perak SEA Games 2011 nomor jalan cepat 20.000 m
- Medali emas SEA Games 2013, 2015, dan 2017 nomor jalan cepat 20.000 m
- Pemegang rekor jalan cepat 20.000 m di lintasan SEA Games 2017 dengan catatan waktu 1 jam 32 menit 11 detik