Payung Hukum Disiapkan, Masyarakat Diminta Tidak Resah
”Masyarakat jangan resah. Aturan ini masih efektif sampai dengan November, masih tiga bulan. Jadi, tidak ada yang berubah,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Solo, Jawa Tengah, Jumat (25/8).
Sebelumnya, Mahkamah Agung membatalkan 14 poin dari 72 pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.
Menurut Budi, selama peraturan itu masih berlaku, pemerintah daerah bisa melakukan operasi penertiban jika ada pengemudi angkutan yang menetapkan tarif sangat rendah atau sebaliknya, sangat tinggi, di luar peraturan itu.
”Saya bersama dengan ahli hukum dan ahli transportasi akan mengkaji serta mengonsultasikan kepada Menteri Hukum dan HAM supaya ada payung hukum agar kesetaraan itu tetap terjadi antara angkutan daring dan konvensional,” lanjut Budi.
Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan, Permenhub No 26/2017 sebetulnya menyelesaikan persoalan persaingan taksi daring berbasis aplikasi dengan taksi konvensional. Dengan keputusan MA tersebut, persaingan tidak sehat kedua jenis angkutan dapat mencuat kembali.
”Saya minta tidak perlu ada gesekan antara sopir taksi daring dan konvensional,” katanya.
Rudyatmo menambahkan, tanpa peraturan khusus tentang penyelenggaraan angkutan daring, monopoli usaha dikhawatirkan terjadi. Sebab, ada kemungkinan muncul persaingan tidak sehat perihal tarif penumpang antara taksi berbasis
aplikasi dan taksi konvensional. Sepanjang Permenhub No 26/2017 masih berlaku, Pemkot Solo berpegang pada aturan itu.
Masukan
Direktur Angkutan dan Multimoda Ditjen Perhubungan Darat Cucu Mulyana menyampaikan, pihaknya sedang mengkaji untuk membuat aturan baru atau kembali ke Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016. Permenhub No 32/2016 merupakan aturan awal dari Permenhub No 26/2017.
”Kami berharap aturan sudah selesai sebelum 1 November sehingga penumpang dan pengemudi tetap terlindungi,” kata Cucu di Jakarta, kemarin.
Menurut Cucu, dalam putusannya, MA tidak mengatakan apakah harus kembali lagi ke peraturan sebelumnya atau membuat aturan baru. ”Jadi, kami memutuskan sendiri, harus tetap ada aturan yang melindungi setiap pihak dan mengedepankan keselamatan,” kata Cucu.
Menurut Cucu, Permenhub No 26/2017 mengakomodasi kepentingan taksi daring dan kendaraan sewa lainnya. ”Saat pembuatan Permenhub No 26/2017, kami mendengarkan masukan dari lima komunitas taksi daring. Permenhub No 32/2016 malah tidak ada masukan dari taksi daring karena komunitasnya belum ada,” ujarnya.
Selain itu, penghitungan tarif yang diputuskan sudah memasukkan biaya asuransi dan perawatan kendaraan. Dengan demikian, penghasilan pengemudi lebih tinggi daripada sebelumnya. ”Jika terjadi kecelakaan di jalan, pengemudi harus menanggung risiko sendiri, bukan perusahaan aplikasi. Dengan asuransi, risiko dipindahkan ke asuransi,” kata Cucu.
Sementara Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit mengatakan, untuk membuat aturan baru, sebaiknya regulator mengetahui rencana bisnis perusahaan aplikasi. ”Dengan mengetahui rencana bisnis, regulator bisa mengambil kebijakan dan memberikan masukan. Selama ini rencana bisnis perusahaan aplikasi sangat tertutup. Padahal, aplikasinya dipakai untuk mengangkut orang yang berarti harus ada jaminan keselamatan,” kata Danang.
Dengan mengetahui rencana bisnis, pemerintah melindungi para pengemudi. Jangan sampai terjadi, ketika pengemudi sudah banyak yang terlibat, tiba-tiba perusahaan aplikasi bangkrut. ”Akibatnya akan terjadi pengangguran besar-besaran dan pemerintah tidak bisa mengantisipasi,” ujarnya. (RWN/ARN)