Selama puluhan tahun sejak 1960-an hingga 2000-an, warga Gampong (Desa) Pande, Kutaraja, Banda Aceh, Aceh, banyak yang bergantung hidup pada pohon nipah atau Nypa fruticans. Daun pohon nipah dianyam menjadi atap rumah, pembungkus tembakau rokok, dan buahnya dijadikan penganan buka puasa.
Namun, saat tsunami 26 Desember 2004, semua pohon nipah di Gampong Pande musnah sehingga warga tidak lagi mengandalkan nipah sebagai sumber pendapatan.
Kini, setelah 13 tahun tsunami, pohon nipah kembali subur. Warga pun mulai mengolah buah nipah menjadi makanan dan minuman. Bahkan, dengan tampilan lebih berkelas dan dengan beragam racikan, seperti dicampur dengan susu, sirup, karamel, dan lainnya. Kuliner dengan bahan baku nipah didorong menjadi makanan khas Gampong Pande.
Seperti yang terlihat Minggu (6/8) pagi, sekitar 30 ibu warga Gampong Pande berkumpul di ruang pertemuan desa. Mereka terbagi dalam delapan kelompok sesuai jumlah dusun di desa itu. Di meja setiap kelompok, aneka minuman berbahan baku buah nipah ditata rapi. Tampilan minuman terlihat mewah dengan warna ungu, kuning, hijau, dan putih.
Kegiatan itu bertajuk ”Festival Minuman Nipah di Gampong Pande”. Sebagai desa pesisir, di sepanjang pantai desa itu ditumbuhi pohon nipah. Nipah merupakan tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut air laut. Di Gampong Pande setidaknya terdapat 30 hektar lahan yang ditumbuhi nipah.
”Minuman ini semuanya berbahan baku buah nipah. Kami berharap pohon nipah yang tumbuh alami di desa ini bermanfaat secara ekonomis,” kata koordinator acara, Pratitou Arafat.
Selama ini buah nipah dibiarkan terbuang begitu saja. Padahal, nipah menyimpan nilai ekonomis. Buahnya dapat diolah menjadi aneka makanan dan minuman serta cuka. Keterbatasan pengetahaun membuat warga ogah mengolah nipah.
Dulu, pada era 1960-an, warga Gampong Pande menganyam nipah menjadi atap rumah, tetapi di era modern, atap nipah ditinggalkan berganti dengan seng dan genteng. Pada saat itu, rokok daun nipah juga sangat terkenal. Namun, akhirnya juga tersisih oleh rokok pabrikan.
Pada era 2000-an kian sedikit warga yang mengolah nipah menjadi kerajinan atau makanan. Pada saat tsunami 26 Desember 2004, semua hancur dihantam gelombang. Ratusan warga meninggal. Sebanyak 50 hektar lahan nipah juga lenyap. Saat itulah nipah benar-benar dilupakan.
Geuchik (Kepala Desa) Gampong Pande Amiruddin mengatakan, setelah sempat mati suri, kini minat warga mengolah nipah menjadi makanan dan minuman tumbuh. Namun, produksi masih terbatas sebab di pasaran minuman nipah belum populer.
”Mungkin sebagian orang mengira nipah tidak bisa dimakan. Padahal, rasanya enak dan baik buat kesehatan,” kata Amiruddin.
Daging buah nipah mentah rasanya hampir sama dengan kelapa, tetapi bentuknya seperti buah kolang-kaling. Teksturnya kenyal dengan warna bening. ”Nipah kuliner khas Gampong Pande. Kami berharap pemerintah membantu pemasaran dengan pameran dan menyajikan minuman nipah pada acara resmi mereka,” kata Amiruddin.
Dosen Tata Boga Universitas Syiah Kuala, Iswani, mengatakan, kuliner khas dapat menumbuhkan citra baik sebuah desa. Menurut dia, kuliner menjadi salah satu alasan wisatawan berkunjung ke suatu daerah.
”Saya berharap nipah menjadi kuliner khas Gampong Pande. Namun, ke depan perlu penelitian dan uji coba lebih luas agar melahirkan berbagai aneka makanan berbahan baku nipah,” ujar Iswani.