BANGKOK, SABTU — Mantan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra dikabarkan berada di Dubai, Uni Emirat Arab, bergabung dengan kakaknya, Thaksin Shinawatra. Thaksin menyiapkan pelarian karena tidak ingin Yingluck dipenjara.
Informasi keberadaan Yingluck disampaikan pada Sabtu (26/8) oleh seorang anggota senior Partai Pheu Thai. Yingluck (50), yang seharusnya hadir di persidangan, Jumat, melarikan diri lewat Kamboja, lalu ke Singapura sebelum terbang ke Dubai.
”Dia tiba dengan selamat dan sekarang di sana (Dubai),” kata pejabat senior partai yang tidak bersedia dikutip namanya.
Sumber di junta militer mengungkapkan, Yingluck meninggalkan Bangkok dengan pesawat jet pribadi ke Singapura. Menurut pejabat ini, Dubai bukan merupakan tujuan akhir. Yingluck diperkirakan akan meminta suaka ke Inggris. Dubai menjadi tempat antara karena di sana ada Thaksin yang mempunyai rumah.
Terancam 10 tahun
Yingluck, yang dilengserkan sebagai perdana menteri pada 2014, kemungkinan diadili secara in absentia pada 27 September. Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat perintah penangkapan atas dirinya.
Kepergian Yingluck ke luar negeri sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Perempuan berusia 50 tahun ini mengikuti jejak kakaknya, Thaksin, yang hidup di pengasingan sejak 2008.
Mulai awal penyidikan, Yingluck bersikukuh menyatakan perkara yang dihadapinya bersifat sangat politis. Para pendukungnya selalu hadir dalam setiap persidangan.
Mantan perempuan perdana menteri pertama Thailand yang dijatuhkan lewat kudeta tahun 2014 ini terancam hukuman 10 tahun penjara atas tuduhan penyalahgunaan program dana subsidi beras saat dia berkuasa. Menteri perdagangan di kabinetnya, Boonsong Teriyapirom, dijatuhi hukuman 42 tahun penjara.
Yingluck sendiri dilarang junta berkiprah dalam politik selama lima tahun sejak 2015. Larangan ini bisa diperberat hingga seumur hidup oleh pengadilan yang sedang menyidangkan perkaranya.
Junta menjanjikan membolehkan Yingluck mendukung kampanye partainya pada pemilihan umum tahun depan. Namun, jika dia masuk penjara, sulit bagi dia ikut kampanye. Pelaksanaan pemilihan umum sudah berkali-kali ditunda pemerintah.
Belum ada pengganti
Dengan kepergian Yingluck, gerakan populis Thailand semakin kehilangan tokoh. Gerak mereka, yang sudah sedemikian dibatasi militer, akan semakin redup dengan hilangnya tokoh sepopuler Yingluck.
Hal ini yang dikhawatirkan banyak orang menanggapi situasi terbaru di Thailand. ”Partai sekarang tidak mempunyai pemimpin. Tanpa Yingluck, partai tanpa pemimpin,” kata seorang tokoh Partai Pheu Thai. ”Partai kehilangan figur panutan yang dicintai rakyat,” lanjut senior partai tadi yang tidak bersedia disebut namanya.
Kakak perempuan Yingluck, Monthathip Kovitcharoenkul (58), seorang pebisnis, menyatakan dirinya tidak mempunyai kemampuan politik.
Dukungan terhadap keluarga Shinawatra tampaknya belum redup meskipun militer terus berupaya menghalangi. Ketidakhadiran Thaksin di Thailand bahkan tidak menyurutkan dukungan rakyat, terbukti dengan terpilihnya Yingluck sebagai perdana menteri pada 2011.
Pada masa pemerintahannya, tahun 2013, Yingluck mengusulkan pemberian amnesti bagi kakaknya yang hidup di pengasingan. Hal ini menimbulkan protes dari lawan politik dalam berbagai bentuk. Militer menggunakan kesempatan kemudian mengambil alih kekuasaan pada 2014 hingga sekarang.
Meski demikian, para pemilih Shinawatra tampaknya tidak akan hilang begitu saja. Mayoritas pemilih di bagian selatan dan timur laut, populasinya lebih dari 45 persen dari seluruh rakyat.
Setelah kepergian Shinawatra, orang-orang miskin dan pemilih di desa-desa yang mendapat keuntungan dari kebijakan Yingluck akan semakin bersimpati, kata Paul Chambers, pengajar di Naresuan University di Thailand utara. ”Pemimpin Partai Pheu Thai akan segera muncul,” katanya. (AFP/AP/REUTERS/RET)