Jakarta, Kompas – Berbagai upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gencar dilakukan dua tahun terakhir. Meskipun demikian, kebakaran hutan dan lahan terus terjadi di sejumlah daerah. Hasil pemantauan satelit Aqua, Terra, SNNP pada catalog modis Lapan yang dilaporkan pada Minggu (27/8), titik panas terbanyak ditemukan di Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Hasil pemantauan 24 jam terakhir dari satelit Aqua, Terra, SNNP pada katalog modis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang dilaporkan pada Minggu pukul 07.30 WIB, dengan kategori resolusi sedang (30-79 persen), titik panas terbanyak ditemukan di Papua mencapai 42 lokasi, disusul Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 31 lokasi, serta Jawa Timur, Maluku, Riau, dan Jawa Barat masing-masing sebanyak 12 lokasi. Sedangkan pantauan dengan kategori resolusi tinggi (di atas 80 persen), titik panas terbanyak ditemukan di NTT sebanyak 21 lokasi, disusul Papua sebanyak 13 lokasi, dan Jawa Timur sebanyak 7 lokasi.
Di Papua, titik api ditemukan di wilayah Kabupaten Merauke dam Mappi. Berdasarkan data Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Maluku-Papua, di Merauke pada Minggu terdapat 11 titik panas. Jumlah itu meningkat dibandingkan pada Jumat (25/8) yang sebanyak 11 titik, tetapi menurun dibandingkan pada Senin (21/8) yang mencapai 40 titik.
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Maluku-Papua, Christian Mambor, mengatakan, faktor utama terjadinya titik panas di Merauke adalah tindakan masyarakat yang membuka lahan pertanian dengan cara membakar.
“Biasanya pada musim kering, warga memanfaatkan kondisi tersebut untuk membersihkan lahan,” katanya, di Jayapura.
Mengkhawatirkan
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta, mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di Papua paling mengkhawatirkan karena terjadi di lahan gambut yang selama ini masih terjaga. Di sisi lain, infrastruktur untuk pemadaman di sana masih belum memadai. “BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) di sana juga baru terbentuk sehingga belum optimal," katanya.
Indikasi unsur kesengajaan terlihat kuat dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Papua. Menurut Sutopo, kebakaran hutan di Papua mulai terjadi pada 2015. Hasil analisis penginderaan jauh pada 1 Juli 2015 hingga 20 Oktober 2015 oleh Lapan, luas hutan dan lahan yang terbakar di Papua mencapai 354.191 hektar. Kebakaran hutan dan lahan di Papua ini banyak terjadi di Kabupaten Merauke dan Mappi.
Tahun ini, kebakaran lahan di Papua juga terjadi di dua kabupaten di kawasan selatan provinsi tersebut, dan mulai marak sejak awal Agustus. Sejak saat itu, titik panas di Papua seringkali menjadi yang terbanyak. Misalnya, pada 8 Agustus 2017, terdeteksi 93 titik dari total 169 titik di seluruh Indonesia.
Padahal, hingga pertengahan Agustus, hujan masih kerap turun di kawasan selatan Papua. Analisa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berdasarkan berbagai parameter cuaca, kawasan hutan dan lahan di Papua seharusnya tidak rentan terbakar.
Menurut data indeks presipitasi terstandarisasi BMKG, dari April hingga Agustus, tidak terdapat indikasi kekeringan yang ekstrem terjadi di Papua dalam tiga bulan terakhir, bahkan terdapat wilayah yang malah terindikasi lebih basah dari biasanya. Indeks presipitasi ini berguna untuk memonitoring kekeringan dan kebasahan hidrologis.
”Jika ada kebakaran hutan dan lahan di Papua, kemungkinan karena kesengajaan karena dari aspek cuaca potensinya kecil,” kata Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG Ramlan.
Sutopo mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di Papua ini terjadi seiring dengan pembukaan perkebunan kelapa sawit skala besar di kawasan ini. "Kami mengidentifikasi ada perusahaan sawit dengan modal asing yang baru dibuka di Merauke. Kalau pembukaan oleh masyarakat setempat saya kira tidak akan semasif ini. Karena masyarakat di Papua, kegiatan bercocok tanamnya relatif terbatas," katanya.