PALEMBANG, KOMPAS — Sekitar tiga bulan lalu, Gubernur Sumatera Selatan, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, dan Panglima Kodam II Sriwijaya telah menandatangani Maklumat Larangan Membuka Hutan dan Lahan dengan Cara Membakar. Maklumat itu telah disosialisasikan melalui spanduk-spanduk, tetapi belum menyentuh ke akar rumput.
Masih munculnya kebakaran di wilayah Sumsel merupakan bukti bahwa masih ada masyarakat yang belum tahu adanya maklumat itu. Titik panas di Sumsel justru meningkat. Dari awal Agustus hingga 28 Agustus 2017 terpantau 191 titik, meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 148 titik panas.
”Peningkatan ini menunjukkan kerentanan lahan untuk terbakar sangat tinggi di sini. Karena itu, butuh kerja sama semua pihak untuk menekannya, salah satunya dengan sosialisasi larangan membakar ke semua lapisan masyarakat,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Iriansyah di Palembang, Senin (28/8).
Dia mengatakan, segenap pihak patut menyebarkan aturan itu agar sampai ke semua lapisan masyarakat. ”Aturan ini juga seharusnya disampaikan oleh para ketua RT kepada masyarakat setempat,” kata Iriansyah.
Sekretaris Desa Bukit Batu, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir Prehanto mengutarakan, pihaknya berharap pemerintah tidak sekadar melarang warga membakar lahan, tetapi juga mendampingi warga agar paham tata cara membuka lahan tanpa membakar.
”Membuka lahan dengan membakar sudah menjadi budaya. Karena itu, dibutuhkan pendampingan khusus dan kesabaran agar tak berulang lagi,” katanya.
Raperda
Staf Khusus Gubernur Sumsel Bidang Perubahan Iklim Najib Asmani mengatakan, Pemprov Sumsel tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengolahan Gambut dan Kelestarian Hutan. Raperda itu akan mengatur sistem pengolahan gambut, hutan, dan lahan tanpa membakar.
Tahapan dimulai dari sosialisasi yang wajib dilakukan terus-menerus untuk mengingatkan masyarakat tentang bahaya dan sanksi bagi pembuka lahan dengan membakar.
Raperda ini mengatur solusi bagi warga yang dilarang membuka lahan dengan membakar. Solusi tersebut antara lain adalah memberikan bibit tanaman yang sesuai dengan hutan ataupun lahan setempat.
Pemda juga akan menyelenggarakan pelatihan pengolahan hasil alam yang dihasilkan dengan cara ramah lingkungan. Setelah itu, pemda memberikan kepastian pasar untuk warga yang telah menerapkan sistem itu. Koperasi wajib menampung hasil hutan/lahan yang diolah dengan cara lestari itu.
Dalam perda itu, Najib mengatakan, pihaknya pun menyusun sistem pengolahan lahan tidur yang selama ini diolah warga berpenghasilan cukup dengan cara membakar. Pihaknya akan membuat aturan yang membolehkan warga mengolah lahan tidur dengan syarat tanpa membakar.
”Nantinya, hasil dari lahan itu bisa diambil semua oleh si penggarap kalau lahan itu belum ada kepastian pemilik, atau hasilnya dibagi dengan pemilik lahan yang tidak memperhatikan lahannya. Cara itu bertujuan untuk meningkatkan pengawasan lahan tidur. Selama ini, kebakaran banyak terjadi di lahan tidur,” ucap Najib.
Menurut Najib, saat ini perda itu masuk dalam tahap pendaftaran. ”Perda ini diharapkan bisa disahkan pada tahun ini. Nantinya, kami berharap ini menjadi payung hukum jangka panjang dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan akibat pembukaan lahan dengan membakar,” katanya.