Jejak Pencuri Teripang di ”Jakarta Dua”
Oleh
Frans Pati Herin
·4 menit baca
Kehadiran Devi seperti mengusik kenyamanan mereka. Devi tak peduli. Seorang laki-laki berusia lanjut lalu diajaknya pergi dari kerumunan. Laki-laki itu, Elat (59), berjalan di belakang Devi. Tatapan para pria kekar mengikuti langkah mereka hingga terhalang rumah berdinding papan dengan atap daun sagu.
Di gubuk itu, Devi masuk dan berbicara dengan Elat. Devi menggali informasi tentang keseharian warga. Terungkap, ada di antara mereka yang bekerja sama dengan oknum aparat keamanan dan pengusaha untuk mengambil teripang (Holothuroidea) di perairan yang sedang di-sasi. Sasi adalah larangan adat untuk mengambil hasil alam hingga batas waktu tertentu.
”Mereka memakai kompresor untuk mengambil teripang. Mereka diberi modal oleh pembeli teripang di Saumlaki (ibu kota kabupaten). Dua minggu, mereka bisa dapat Rp 30 juta,” kata Elat setengah berbisik dengan bahasa Melayu bercampur lokal.
Tatunarwatu dianggap strategis karena terjangkau sinyal telekomunikasi. Di situlah tempat penyelam berkumpul. Dari situ pula mereka memantau tokoh masyarakat dari Pulau Seira, seperti Devi, yang sewaktu-waktu mengawasi perairan. Hanya orang bernyali yang bisa datang ke tempat itu.
Seira adalah pusat kendali pemerintahan, adat, dan agama bagi beberapa pulau sekitar, seperti Pulau Ngolin, Pulau Wuriaru, Pulau Tamdalan Nawa, dan Pulau Tatunarwatu, dalam cakupan sekitar 150 kilometer persegi.
Seorang eks penyelam yang biasa mencuri teripang menyatakan pernah menerima tawaran dari seorang petugas keamanan yang memberikan satu kompresor alat bantu pernapasan. Dia biasa menyelam mulai pukul 19.00 WIT hingga pukul 02.00 WIT. Ia menjelajahi kedalaman lebih dari 50 meter.
Tekanan ekonomi dan merasa dalam lindungan aparat membuatnya tak takut celaka atau ditangkap warga. Agar aman, ia beroperasi pada malam hari. Hasilnya dibagi rata untuk penyelam, pemilik kompresor, dan pemilik perahu motor. Harga jual 1 kilogram teripang Rp 245.000 hingga Rp 1,8 juta.
Bujukan oknum aparat dan pengusaha membius pikiran dan nurani penyelam. Mereka tak takut melanggar hukum adat dan imbauan tokoh agama. Mereka menutup mata atas nasib sekitar 7.000 warga lain yang berharap akan memanen teripang pada Juli 2018 atau dua tahun setelah di-sasi.
Adapun Devi merasa bertanggung jawab mengarahkan warga kembali menghargai kearifan lokal. Pencurian teripang dimulai November 2016. Diperkirakan, lebih dari 100 ton teripang telah hilang. Teripang sejak zaman dulu dikenal sebagai bahan obat.
Pertemuan dengan penyelam itu dilakukan setelah sekitar 25 jam perjalanan menyusuri jejak pencurian teripang, sejak berangkat dari Seira, Jumat (25/8), menggunakan perahu motor. Sebanyak empat pulau didatangi, mulai dari Tamdalan Nawa, Wuriaru, Ngolin, hingga Tatunarwatu.
Di pesisir Pulau Tamdalan Nawa, seorang pria setinggi 170 sentimeter dengan ujung janggut menyentuh dada berdiri tak jauh dari bibir pantai. ”Teripang sudah habis dicuri,” ujar pria bernama Djat Warmatan (60) itu sembari menyalami Devi.
Serakah
Di atas tempat penjemuran tergeletak empat ekor teripang. ”Sekarang, satu hari hanya dapat 1 ons. Dulu bisa 10 kilogram,” kata Djat yang sejak SD mengolah teripang.
Tahun ini terburuk. Bukan karena kondisi alam yang membuat produksi teripang berkurang, melainkan keserakahan manusia yang mengambil teripang saat masa sasi. Djat mengatakan, pemburu telah bergeser ke Pulau Wuriaru yang masih memiliki banyak teripang.
Perahu lalu bergerak ke Wuriaru, masih dengan kondisi gelombang tinggi. Menjelang malam, perahu merapat di Wuriaru. Lukas Binan (38), warga, menyebutkan, penyelam teripang telah pergi setelah seorang di antara mereka tewas saat menyelam. ”Dia meninggal mungkin karena Tuhan dan leluhur marah. Dia mencuri teripang yang sedang di-sasi,” kata Lukas.
Keesokan harinya, perahu motor bergerak menuju Ngolin. Tiba di pesisir, Imer Matuty, tokoh di Ngolin, sedang mengeringkan teripang dengan cara memanggang. Ia mengatakan, 2 jam sebelumnya, seorang kaki tangan pengusaha bersama penyelam baru meninggalkan Ngolin dan diperkirakan pergi ke Tatunarwatu, yang oleh warga disebut ”Jakarta Dua”.
”Jakarta Dua” bermakna bahwa daerah itu seolah sudah modern sehingga tak lagi menghiraukan kearifan lokal.
Menanggapi dugaan keterlibatan oknum aparat keamanan dalam aktivitas itu, Panglima Komando Daerah Militer XVI/ Pattimura Mayor Jenderal TNI Doni Monardo memerintahkan dilakukan penyelidikan dan akan memberi sanksi jika ada anggota yang terlibat. Tim dari Kodam Pattimura sudah berada di Seira sejak Senin (28/8).
Terkait keterlibatan pengusaha lokal, kepolisian berharap agar masyarakat melaporkan hal itu. Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Maluku Ajun Komisaris Besar Richard Abner Tatuh, Selasa (29/8), mengatakan, pengambilan teripang yang sedang di-sasi merupakan pelanggaran hukum. ”Ini masuk tindak pidana karena merugikan banyak orang,” katanya.
Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Suharyanto mengatakan, kearifan lokal, termasuk sasi, wajib dihargai. Untuk melindungi, diperlukan peraturan daerah (perda) tentang zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di Maluku, rancangan perda itu sedang disusun.