YANGON, SELASA — Krisis di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, berpotensi menjadi krisis kemanusiaan. Saat ini, setidaknya lebih dari 6.000 warga Rohingya terdampar di perbatasan antara Banglades dan Myanmar setelah mengungsi dari kampung halaman di Rakhine yang dilanda pertempuran. Mereka hidup tanpa kepastian setelah otoritas di Banglades, Selasa (29/8), melarang mereka memasuki negara itu.
Gubuk-gubuk yang mereka dirikan di perbatasan dirobohkan tentara penjaga perbatasan. Sejumlah pengungsi terpisah dari kerabat mereka. ”Saya pergi ke toilet ketika penjaga perbatasan mengusir orangtua saya, di mana saya bisa menemukan mereka sekarang?” kata Marium (11), anak perempuan Rohingya, dengan berlinang air mata karena terpisah dari orangtuanya.
Sejak Jumat lalu, arus pengungsi itu terus bertambah seiring pertempuran antara tentara Myanmar dan militan Rohingya di kampung-kampung komunitas Rohingya. Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan, setidaknya 5.200 warga Rohingya menyeberang ke Banglades. Namun, sebagian besar di antara mereka telah dihentikan di perbatasan.
Mereka tidak diizinkan memasuki wilayah Banglades meski pertempuran terus berkecamuk di Rakhine. Seorang pejabat perbatasan Banglades mengatakan, diperkirakan lebih dari 10.000 warga Rohingya lainnya berada dalam ketidakpastian dan bahaya. Mereka diyakini bersembunyi di perbukitan dan hutan.
Sebagai catatan, sejak konflik sektarian merebak di wilayah perbatasan, termasuk serangan atas pos-pos polisi di Maungdaw akhir tahun lalu, kamp-kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Banglades, dipadati pengungsi Rohingya. Saat ini sekitar 400.000 warga Rohingya tinggal di tenda serta gubuk di kamp itu.
Melihat situasi yang makin kritis di Rakhine, juru bicara UNHCR, Adrian Erwards, mendesak Banglades membuka pintu perbatasan. Harapan itu menegaskan pernyataan Sekjen PBB Antonio Guterres yang meminta Banglades membantu warga Rohingya, terutama bagi mereka yang terluka.
Alih-alih membantu, otoritas Banglades justru mengusulkan operasi gabungan dengan Myanmar untuk melawan militan Rohingya. Langkah itu untuk membendung arus pengungsi. Kelompok yang hendak mereka lawan adalah Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA), yang menyatakan berjuang untuk melindungi warga Rohingya.
Bukan hanya warga Rohingya, ribuan warga desa lainnya di Rakhine utara juga dievakuasi ke kota, biara, dan kantor polisi. Pemerintah Myanmar mengatakan, sekitar 500 orang tiba di Sittwe, ibu kota Rakhine.
Sikap internasional
Di Myanmar, warga Rohingya tidak diakui sebagai warga negara. Mereka disebut sebagai orang Bengal—sebutan untuk migran ilegal dari Banglades. Di Rakhine, mobilitas mereka dibatasi dan layanan dasar untuk mereka dikontrol dengan sangat ketat, bahkan cenderung terabaikan. Pernyataan Menteri Dalam Negeri Myanmar Kyaw Swe di Yangon, yang menegaskan tidak ada Rohingya, menegaskan stigma migran ilegal itu.
Menyikapi situasi sosial, politik, dan keamanan di Rakhine, mantan Sekjen PBB Kofi Annan yang memimpin komisi independen meminta otoritas Myanmar mencari jalan agar kewarganegaraan etnis Rohingya diakui. PBB juga meminta pasukan Myanmar menahan diri.
Sementara itu, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan siap menerima pengungsi Rohingya. ”Kami akan memberi mereka tempat berlindung, seperti dulu, dan akan mengirim mereka kembali saat mereka siap,” kata Prayuth.
Thailand merupakan salah satu rute transit populer bagi warga Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine. Namun, mereka kerap menjadi korban jaringan penyelundupan dan perdagangan manusia. Sebuah operasi yang digelar polisi Thailand pada 2015 menyebabkan sindikat perdagangan manusia mengalihkan operasi ke jalur perairan.
Di Jakarta, Pemerintah RI meminta semua pihak yang berkonflik di Rakhine menghentikan kekerasan. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyampaikan, semua pihak yang berkonflik harus peduli dengan masalah kemanusiaan. ”Jangan sampai jatuh korban lagi, terutama di kalangan sipil. Kami tekankan bagi semua pihak untuk tidak melakukan kekerasan yang dapat memperburuk situasi,” kata Retno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Menlu Retno menyesalkan dan menyatakan keprihatinannya karena kekerasan kembali terjadi. Kekerasan tersebut mengakibatkan lahirnya lingkaran kekerasan baru di sana. Indonesia terus mencermati situasi yang berkembang di sana.
Menurut dia, perlindungan keamanan harus diberikan secara inklusif kepada masyarakat yang ada di Rakhine. Menlu Retno pun telah menghubungi mitranya, Menlu Banglades Abul Hassan Mahmood Ali dan mantan Sekjen PBB Kofi Annan.
”Saya tekankan tadi saat berbicara kepada National Security Adviser (Myanmar) bahwa Indonesia tetap berkomitmen memberikan kerja sama dan bantuannya kepada Pemerintah Myanmar untuk mengatasi situasi atau untuk membangun Rakhine State yang kondusif,” kata Menlu Retno. (AP/AFP/Reuters/NDY/JOS)