JAKARTA, KOMPAS — Memasuki bulan September, kewaspadaan terhadap kebakaran hutan dan lahan harus ditingkatkan karena musim kemarau diprediksi mencapai puncaknya. Beberapa daerah telah diidentifikasi memiliki tingkat kerentanan tinggi kebakaran.
”Dibandingkan 2016, puncak musim kemarau kali ini lebih kering tetapi tidak sekering tahun 2015,” kata Kepala Bidang Informasi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ramlan, Selasa (29/8).
Menurut Ramlan, pada 2016 terjadi La Nina sehingga musim kemarau sangat pendek. ”Untuk tahun ini ada beberapa wilayah yang lebih basah dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi secara keseluruhan tahun ini masih lebih kering,” katanya.
Selama September mendatang, curah hujan terendah (0-20 milimeter) terjadi di Nusa Tenggara Timur. Curah hujan rendah (20-100 mm) juga berpotensi terjadi di Merauke dan Nusa Tenggara Barat serta sebagian Jawa Timur. Jawa dan Sulawesi Selatan pada umumnya berada pada tingkatan curah hujan rendah dan menengah (50-150 mm). Sebagian besar Kalimantan dan Sumatera umumnya dalam kategori menengah (150-200 mm).
Jika dikombinasikan dengan keberadaan lahan gambut dan pola perulangan kebakaran selama ini, menurut Ramlan, daerah yang perlu diwaspadai berpotensi kebakaran hutan dan lahan pada September adalah Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Merauke.
Kekeringan
Menurut peneliti cuaca BMKG, Siswanto, intensitas kebakaran hutan dan lahan dihitung dari luas area terdampak sangat dipengaruhi oleh faktor kekeringan meteorologis yang terjadi. Kekeringan meteorologis yang berkait dengan kebakaran hutan dan lahan adalah suhu permukaan yang lebih panas dari biasanya disertai dengan hari tanpa hujan berturut-turut. Dua faktor ini yang dianggap ikut mengontrol titik panas kebakaran hutan dan lahan.
Sekalipun demikian, peningkatan kejadian atau frekuensi kebakaran hutan dan lahan secara dominan disebabkan ulah manusia. Menurut Siswanto, cuaca hanya meningkatkan intensitas kebakaran atau mempermudah meluasnya kebakaran. Ketika cuaca semakin kering, penyebaran titik api akan semakin cepat dan upaya pemadamannya menjadi lebih sulit.
”Namun, kalau tidak ada pemicunya, tentu tidak terbakar,” katanya.
Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kebakaran hutan di Indonesia umumnya terjadi di lokasi provinsi dan kabupaten yang sama.
”Daerah yang paling sering terbakar biasanya di perbatasan administratif, misalnya di perbatasan antara Riau dan Jambi atau atau Jambi dan Sumatera Selatan. Kebakaran juga sering terjadi di batas hutan produksi dan lindung. Daerah perbatasan biasanya pengawasannya paling lemah,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Kawasan lain yang juga kerap terbakar berada di lahan konsesi perusahaan yang belum digarap atau sudah habis masa usahanya. ”Dalam konsesi perusahaan biasanya ada lahan yang harusnya menjadi kawasan lindung. Lahan ini yang biasanya dibiarkan perusahaan dan dianggap tanah tak bertuan yang kemudian menjadi rebutan,” katanya.
Menurut Sutopo, dari pantauan lapangan yang dilakukan BNPB, kebanyakan area bekas kebakaran ini kemudian ditanami kelapa sawit. ”Fenomena ini sangat sering ditemui tim di lapangan. Baru-baru ini, kami juga menemukan lahan-lahan yang mengalami kebakaran tahun 2015 dan 2016 di Riau sudah penuh lahan sawit, termasuk juga ada pondokannya juga,” ujarnya. (AIK)