YOGYAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam putusannya, MK membatalkan ketentuan yang dinilai mengharuskan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dijabat oleh laki-laki. Dengan putusan itu, maka jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dapat diemban oleh perempuan.
Putusan MK Nomor 88/PUU-XIV/2016 itu dibacakan di Jakarta, Kamis (31/8/2017), dalam Sidang Pleno MK yang dihadiri oleh 8 hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Arief Hidayat. Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan sebagian ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hakim Konstitusi Saldi Isra tidak menyatakan pendapat dalam putusan itu oleh karena menjadi ahli salah satu pihak. Dengan demikian, dia memilih untuk "abstain".
“Menyatakan frasa ‘yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak’ dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi putusan yang tercantum dalam situs resmi MK.
Sebagai daerah istimewa, DIY memiliki aturan khusus mengenai tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernurnya. Tidak seperti provinsi lain di Indonesia, pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak dilakukan melalui mekanisme pemilihan.
UU Keistimewaan DIY menyatakan, jabatan Gubernur DIY dijabat otomatis oleh Raja Keraton Yogyakarta yang bergelar Sultan Hamengku Buwono, sementara jabatan Wakil Gubernur DIY dijabat oleh Adipati Kadipaten Pakualaman yang bergelar Adipati Paku Alam. Ketentuan istimewa itu merupakan bentuk penghargaan terhadap Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, dua institusi kerajaan tradisional di DIY yang memiliki jasa besar terhadap kemerdekaan Indonesia.
Namun, UU Keistimewaan DIY juga menetapkan syarat-syarat khusus terkait calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY menyatakan, calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DIY harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Kata “istri” dalam ketentuan itu dimaknai oleh sebagian pihak bahwa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus diisi oleh seorang laki-laki.
Para pihak yang mendukung ketentuan itu menyatakan, aturan tersebut sesuai tradisi di Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang sejak berdiri hingga sekarang selalu dipimpin oleh seorang laki-laki. Namun, aturan tersebut juga menimbulkan polemik karena dianggap mendiskriminasikan perempuan. Polemik makin kuat karena Sultan Hamengku Buwono X, Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY saat ini, tidak memiliki anak laki-laki.
Di tengah polemik itu, muncul permohonan uji materi ke MK terkait Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY. Permohonan yang diajukan oleh 11 orang itu didaftarkan pada September 2016. Beberapa pemohon itu antara lain tokoh perempuan Saparinah Sadli, Siti Nia Nurhasanah dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, dan abdi dalem Keraton Yogyakarta, Raden Mas Adwin Suryo Satrianto.
Para pemohon menyatakan, Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon juga menyebut, aturan itu telah mencampuri urusan internal Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Campur tangan
Sementara itu, dalam putusannya, MK menyatakan, Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY merupakan bentuk campur tangan negara terhadap proses internal di Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Sebab, dengan mengharuskan Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY dijabat oleh laki-laki, maka negara secara tak langsung mengharuskan Raja Keraton Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Pakualaman dijabat oleh laki-laki.
Padahal, penetapan raja dan adipati merupakan kewenangan penuh Keraton dan Pakualaman yang diakui oleh UUD 1945. Oleh karena itu, MK berpendapat Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dalam undang-undang.
“Karena itu, terlepas dari ada-tidaknya persoalan diskriminasi sebagaimana didalilkan para pemohon, yang akan dipertimbangkan tersendiri dalam putusan ini, telah terang bagi Mahkamah bahwa adanya frasa ‘yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak’ telah menjadikan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY menyimpang dari semangat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945,” kata majelis hakim MK dalam putusannya.
MK juga menyebut frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini karena ketentuan itu berpotensi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf c UU Keistimewaan DIY yang menyatakan bahwa calon Gubernur DIY harus bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono dan calon Wakil Gubernur DIY harus bertahta sebagai Adipati Paku Alam.
“Sangat mungkin terjadi keadaan di mana syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c UU Keistimewaan DIY terpenuhi namun pada saat yang sama syarat yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY tidak terpenuhi. Akibatnya, timbul keragu-raguan perihal ketentuan mana yang harus diutamakan berlakunya,” kata majelis hakim MK dalam putusan itu.
Selain itu, MK juga mengamini dalil para pemohon yang menyebut Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY bersifat diskriminatif.
Tanggapan Sultan
Menanggapi putusan MK tersebut, Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, putusan itu menegaskan bahwa negara tidak boleh memberi perlakuan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.
“Ini kan berarti tidak membeda-bedakan karena negara tidak boleh membedakan laki-laki dan wanita. Konstitusi kan bunyinya semua boleh (menjadi gubernur dan wakil gubernur),” kata Sultan, ditemui seusai Kenduri Rakyat untuk memperingati lima tahun pengesahan UU Keistimewaan DIY, Kamis (31/8) sore, di Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta.
Sultan HB X juga mengatakan, putusan MK tersebut harus diterima oleh semua pihak. “Ya harus menerima karena putusan MK seperti itu,” ujarnya.
Sementara itu, istri Sultan HB X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, menyambut baik putusan MK tersebut. “Alhamdulillah, puji Tuhan semuanya sudah berjalan baik sehingga apa yang digugat itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah itu.