Kesetiaan Ramayana di Candi Prambanan
Gladi resik Festival Ramayana yang berlangsung tanggal 26-29 Agustus 1971 mendapat sambutan meluap. Tiap malam tak kurang dari 5.000 orang menonton. Dari keseluruhan pertunjukan, rombongan Solo mendapat perhatian penonton. Jumlah pemainnya banyak, terkoordinasi, pakaiannya mencolok dan cerita yang disajikan lengkap.
Versi Bali tak kurang menarik dengan gaya khas dan lincah. Sedangkan Jawa Timur menyelipkan “gaya ludruk” dalam penampilannya.
Di antara peserta, rombongan Yogyakarta paling prihatin. Mereka mengeluh karena kurangnya perhatian dan bantuan dari pemerintah daerahnya. Rombongan Yogyakarta terpaksa memakai pakaian yang telah usang. Mereka tak punya cukup dana untuk mengganti pakaian yang rusak, apalagi membeli pakaian baru seperti rombongan lainnya.
Berita tersebut tercatat dalam arsip harian Kompas yang terbit pada tanggal 1 September 1971, atau tepat 46 tahun lalu.
Kisah Ramayana sudah menjadi legenda di Tanah Air, jauh sebelum Sendratari Ramayana ditampilkan secara berkesinambungan di panggung kompleks Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta sejak tahun 1961 atau 56 tahun yang lalu. Sekitar 500 penari terlibat dalam pementasan di candi yang letaknya sekitar 15 kilometer timur Yogyakarta ini (Kompas, 18 April 1972).
Sampai sekarang Ramayana tetap setia menemani penonton di panggung berlatar candi yang sering juga disebut Candi Roro Jonggrang itu. Kisah Ramayana, kemegahan bangunan candi dan legenda tentang keberadaan Candi Roro Jonggrang tak lekang dimakan waktu.
Tahun 2012 Sendratari Ramayana di Candi Prambanan mendapat piagam Guinness World Records dari Guinness World Records Ltd, Inggris sebagai pementasan tari Ramayana dengan kurun waktu terlama dan terbesar di dunia (Kompas, 16 Oktober 2012).
Rekor itu diraih karena kelompok Sendratari Ramayana Yayasan Roro Jonggrang mampu bertahan hingga lebih 51 tahun melestarikan seni tradisi. Selain itu, jumlah personel yang terlibat pementasan pun dinilai spektakuler, yakni 260 orang untuk pementasan dengan lakon Api Suci di panggung terbuka kompleks Candi Prambanan (Kompas, 16 Oktober 2012).
Kompas, 14 Mei 1966 mencatat, pementasan Sendratari Ramayana diadakan pada musim kemarau sekitar bulan April-Oktober pada malam-malam bulan purnama. Terbagi dalam tiga episode, Sendratari Ramayana berkisah tentang hilangnya Dewi Sinta saat mengikuti Sri Rama mengembara di hutan. Dia diculik Rahwana, sang Raja Alengka.
Segala upaya dilakukan Dewi Sinta untuk melawan bujuk rayu Rahwana, hingga menimbulkan perang dahsyat antara Kerajaan Alengka dan Kerajaan Ayodya. Rahwana dibantu bala raksasanya, sedangkan Sri Rama mendapat bantuan tentara kera dibawah pimpinan Hanoman atau Anoman.
Tak sekadar demi melestarikan seni tradisi, pementasan Ramayana juga mampu mengundang wisatawan. Candi Prambanan dan Sendratari Ramayana menjadi bagian dari obyek wisata yang diminati turis selama di Jawa Tengah dan Yogyakarta (Kompas, 3 Juni 1966).
Namun sebagian turis terpaksa batal menyaksikan Sendratari Ramayana, karena hujan. Pertunjukan yang diadakan di panggung terbuka itu memang rawan batal karena hujan (Kompas, 17 Juni 1968). Di sisi lain, keindahan alam seperti taburan bintang dan bulan purnama, serta bangunan candi yang mistis memberi suasana berbeda dan khas pada Sendratari Ramayana.
Perubahan
Meskipun tetap mendasarkan diri pada kisah Ramayana gubahan Walmiki lebih dari 400 tahuh sebelum Masehi (Kompas, 28 Oktober 2012), pertunjukan reguler Ramayana di candi Prambanan tak berarti statis. Perubahan antara lain muncul dalam menata episode kisah yang dipentaskan.
Misalnya, dari semula tiga episode menjadi enam lakon, yakni Hilangnya Dewi Sinta, Anoman Duta, Anoman Obong, Romo Tambak atau pembuatan jembatan menuju Kerajaan Alengka, Kumbokarno Gugur, dan Dewi Sinta Obong (Kompas, 18 April 1972).
Mengikuti keinginan sebagian besar orang Indonesia yang menyukai kisah dengan akhir bahagia, Sendratari Ramayana memilih gubahan pujangga Yosodipuro. Rama berhasil mengalahkan Rahwana, dan kembali memboyong Sinta ke Kerajaan Ayodya.
Kisah Sendratari Ramayana itu berbeda dengan karya aslinya. Di sini Rama meragukan kesetiaan Sinta selama diculik Rahwana, Raja Alengka. Sinta tersinggung dengan keraguan sang suami, dia membuktikan dirinya suci dengan masuk ke kobaran api, kembali ke pelukan ibu pertiwi (Kompas, 9 Mei 1987).
Operasional pementasan pun mengalami perubahan. Kompas, 23 September 1984 mencatat, selain hujan yang mengakibatkan pementasan Ramayana mendadak batal, jumlah penonton pun mengalami pasang-surut. Dari kapasitas 3.000 orang, seringkali hanya terisi sekitar 75 penonton.
Kondisi panggung juga kerap tergenang air, sehingga menyulitkan penari yang harus melakukan banyak gerakan kaki. KRT Kusumotenoyo, direktur pertunjukan yang biasa dipanggil Pak Kanjeng mengatakan, Ramayana memang mandek.
Penarinya sebagian sudah apatis, akibatnya mereka “asal menari”. Namun pengelola tak bisa menegur penari, biar pun mereka sering membolos sekalipun. “Mereka dibayar secara amatir,” kata Pak Kanjeng. Honor penari rata-rata Rp 750 plus uang makan Rp 250.
Dari semua faktor tersebut, ketidakpastian pertunjukan yang membuat sebagian orang tak lagi melirik Sendratari Ramayana. Bahkan masyarakat Yogyakarta pun enggan menonton, karena khawatir sudah tiba di lokasi tetapi pementasan batal karena hujan (Kompas, 10 Mei 1985).
Keprihatinan tentang penyelenggaraan Sendratari Ramayana juga dikemukakan Prof Dr Soedarsono, mahaguru Universitas Gadjah Mada dan seniman tari. “Lama-kelamaan, sejak tahun 1970-an pergelaran tari yang membanggakan ini makin merosot. Tahun 1986 ini sudah sampai pada titik menyedihkan, baik ditinjau dari jumlah penonton maupun mutu pergelarannya,” kata Soedarsono seperti dikutip Kompas, 2 Agustus 1986.
Penertiban
Tak selamanya pertunjukan Sendratari Ramayana berjalan mulus. Meskipun tetap berlangsung, tetapi suara-suara kontra pada keberadaannya pun terdengar. Kompas, 19 September 1978 mencatat, sebagian ahli purbakala tak setuju dengan panggung yang berada di kompleks Candi Roro Jonggrang. Alasan mereka, kegiatan itu bisa merusak kelestarian peninggalan berharga tersebut.
Keberadaan panggung terbuka Roro Jonggrang juga sempat terancam ketika dilakukan penertiban tanah di sekitar Candi Prambanan. Panggung yang dibangun tahun 1962 ini terletak di bagian selatan candi (Kompas, 13 Maret 1979).
Padahal lokasi panggung itu sudah dipertimbangkan agar saat pentas Ramayana, penonton sekaligus melihat bergesernya bulan dari arah timur ke barat di belakang candi. Sinar bulan juga menjadi bagian “tata lampu” karena menghadirkan siluet candi sebagai latar belakang panggung.
Tahun 1983 muncul rencana pemindahan panggung Ramayana ke bagian barat Candi Prambanan (Kompas, 2 Februari 1983). Bentuk panggung seperti huruf U, dengan luas 19 x 24 meter (Kompas, 28 Juli 1988). Pergelaran Sendratari Ramayana pada tahun 1988 diadakan di Teater Tertutup Taman Candi Prambanan yang luasnya sama dengan teater terbuka (Kompas, 5 Desember 1988).
Dari sisi penari pun dianggap tak semuanya memiliki kemampuan yang setara. Mereka yang sudah dilatih menari, pada perjalanannya kemudian tak lagi bisa menari untuk Sendratari Ramayana karena sudah bekerja di tempat lain.
Meskipun dilakukan kaderisasi, tetapi penari untuk tokoh kera-kera kecil pun kerap berganti karena penari lama sudah tumbuh dewasa atau ada penari yang berhalangan tampil karena ada keperluan sekolah atau sakit.
Bagaimana pun kondisinya, yang pasti dari Sendratari Ramayana di Candi Prambanan ini muncul tokoh-tokoh penari yang mumpuni. Di antaranya adalah koreografer sekaligus penari Sardono W. Koesoemo, Bagong Kussudiardjo, Wisnu Wardhana, Retno Maruti, Tunjung Suharso, dan Sal Murgianto (Kompas, 10 Mei 1985).
Sardono, sang pencipta tari ini menjadi penari tetap Sendratari Ramayana tahun 1961-1964 (Kompas, 19 September 1978). Sardono mulai menari di sini sebagai kera kecil, lalu menjadi Anoman, sebelum kemudian menjadi salah satu tokoh utamanya, yakni Rahwana.
Retno Maruti selama delapan tahun sejak tahun 1961 sampai 1968 membawakan tari kijang dalam Sendratari Ramayana. Dalam usia 14 tahun dia menjadi kijang kencana yang lincah menggemaskan, sampai membuat Dewi Sinta terpesona (Kompas, 28 September 1996).
Selera wisata
Seiring berjalannya waktu, Sendratari Ramayana di panggung terbuka Candi Prambanan itu diubah mengikuti selera wisata. Waktu pertunjukan dipersingkat, dan penonton bisa berfoto bareng para penari (Kompas, 8 Agustus 1991).
Sebelumnya setiap pertunjukan memerlukan waktu sekitar dua jam setiap malamnya. Untuk keseluruhan cerita dalam episode yang berbeda-beda bisa menghabiskan empat malam. Maka, dengan pertimbangan selera wisata, keseluruhan cerita Ramayana dalam sendratari dipadatkan (“Ramayana padat”) dalam waktu pertunjukan sekitar satu setengah jam (Kompas, 12 Agustus 1994).
Selain itu, agar lebih variatif gaya tari yang ditampilkan pada setiap episodenya berbeda-beda. Misalnya, pada episode Hilangnya Dewi Shinta, menampilkan gaya klasik, dan gaya Bali yang ekspresif muncul pada episode Shinta Obong (Kompas, 8 Agustus 1991).
Lewat uji coba tahun 1994 dan 1995, mulai 1996 frekuensi pertunjukan “Ramayana padat” meningkat, dari sebelumnya 70 kali menjadi 128 kali selama bulan purnama pada bulan Mei-Oktober. Ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar.
“Waktu dipentaskan di Trimurti (panggung tertutup) penonton hanya 30-40 orang. Setelah dialihkan ke panggung terbuka, penonton sampai 300-an,” kata Harri Satrio, Kepala Unit Teater dan Pentas PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (Kompas, 12 April 1996).
Bertahan
Tahun 1959 GPH Djatikusumo yang ketika itu menjadi Menteri Perhubungan dan membawahi bidang pariwisata, mengemukakan gagasan mengadakan Sendratari Ramayana di panggung Candi Roro Jonggrang (Kompas, 10 Mei 1985). Djatikusumo bersama dr Suharso dan Paku Alam VIII dikenal sebagai perintis sendratari ini (Kompas, 4 Agustus 1994).
Dibangun di atas areal seluas sekitar satu hektar, panggung dan semua perlengkapannya menelan biaya sekitar Rp 56 juta. Pertunjukan Sendratari Ramayana diresmikan tanggal 15 Agustus 1961 dan dikelola Yayasan Roro Jonggrang.
Menurut Prof Dr Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada yang juga Ketua Pelaksana Pentas Sendratari Ramayana Yayasan Roro Jonggrang di panggung terbuka dan Ketua Kelompok Tari Sekar Puri, Djatikusumo memilih Prambanan, karena semasa perang gerilya melawan Belanda, dia dan para taruna Akademi Militer mednapat bantuan besar dari rakyat setempat.
“Beliau (Djatikusumo) berharap Sendratari Ramayana dapat mengangkat kondisi ekonomi warga di Prambanan. Dengan itu beliau membalas jasa warga (Prambanan),” kata Timbul Haryono (Kompas, 27 Agustus 2006).
Dengan segala dinamika yang menyertainya selama sekitar 56 tahun Sendratari Ramayana, para penarinya pun datang dan pergi, silih berganti. Ketika sendratari ini berusia 25 tahun, Kompas, 9 Mei 1987 antara lain mencatat, pemeran Sinta yang semula ditarikan Retno Dhewayani beralih ke putrinya, Retno Kusumastuti. Tokoh Rahwana yang dibawakan Sardono W. Kusumo beralih kepada Her Supandi.
Rahwana di pentas itu, dalam kehidupan nyata beristrikan Retno Widanarni, penari yang membawakan tokoh Trijata, istri Rahwana yang jatuh cinta kepada Hanoman. Sedangkan Tejo Sulistyo yang berperan sebagai Rama sejak tahun 1980, sebelumnya menari untuk tokoh raksasa, lalu menjadi penari sesaji dan penari burung massal sejak 1975 (Kompas, 28 Oktober 2012).
Istrinya, Indah Nuraini juga penari Sendratari Ramayana. Tahun 1992-2003 Tejo dan istrinya menari sebagai Rama dan Shinta. Kedua anaknya, Wisnu Aji Setyo Wicaksono dan Ratih Dewayani juga menari. Ratusan penari pendukung Sendratari Ramayana umumnya berasal dari Solo, Yogyakarta, dan warga yang tinggal di sekitar Candi Prambanan.
Kompas, 5 Oktober 1991 mencatat, Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko dari Jepang dalam kunjungannya ke Indonesia, menyempatkan diri menikmati Sendratari Ramayana. Legenda tentang keberadaan Candi Roro Jonggrang pun mengiringinya.
Alkisah, seorang ksatria sakti, Bandung Bondowoso ingin menyunting gadis jelita Roro Jonggrang. Namun ayah sang gadis, Ratu Boko tak mengizinkan. Peperangan pun tak terelakan, Ratu Boko tewas. Tak mungkin menolak langsung lamaran Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang mau diperistri asalkan sang ksatria bisa membangun 1.000 candi dalam semalam.
Dengan kesaktiannya, Bandung Bondowoso mampu memenuhi permintaan sang calon istri. Untuk menggagalkan usaha Bandung Bondowoso, pada tengah malam Roro Jonggrang membangunkan para wanita dan minta mereka menabuh lesung (alat penumbuk padi) sebagai tanda hari sudah pagi. Saat itu hanya kurang satu candi untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang.
Melihat “kecurangan” Roro Jonggrang, murkalah Bandung Bondowoso hingga ia menggenapi kekurangan satu candi itu dengan mengutuk sang gadis menjadi candi. Jadilah candi terakhir itu disebut Roro Jonggrang (Kompas, 2 Desember 2000).
Dari sisi sejarah, kompleks Candi Prambanan diperkirakan dibangun pada abad ke-9 semasa pemerintahan Dinasti Sanjaya di Jawa Tengah. Pada dinding Candi Syiwa dan Candi Brahma dipahatkan kisah Ramayana (Kompas, 28 Oktober 2012).
Perang antara Kerajaan Ayodya dan Kerajaan Alengka itu terpahat di Candi Syiwa dalam 24 panel berisi 42 kisah atau adegan. Sedangkan di Candi Brahma terdapat 21 panel berisi 30 kisah (Kompas, 6 April 2013).
Festival
Panggung terbuka Prambanan tak melulu diisi dengan pertunjukan Sendratari Ramayana reguler. Di panggung ini juga diadakan Festival Ramayana dalam berbagai versi. Kompas, 29 April 1970 menulis, empat daerah yakni Solo, Yogyakarta, Bali dan Jawa Barat mengirimkan wakil mereka dalam festival ini.
Bahkan festival Ramayana tingkat internasional sempat diwacanakan, seperti tercatat pada berita Kompas, 20 Agustus 1970. Untuk itu, kapasitas kursi penonton pun ditingkatkan, dari 2.000 menjadi sekitar 3.000 orang.
Berkaca dari pelaksanaan Festival Ramayana tingkat nasional, luasnya panggung membuat pentas dengan sedikit penari mengakibatkan munculnya “kekosongan” yang mengganggu. Tata cahaya dari lampu pun perlu diperbaiki (Kompas, 23 September 1970). Luas panggung pertunjukan ini sekitar 50 x 12 meter (Kompas, 18 April 1972).
ASEAN Festival of Arts 1992 (AFA) juga berlangsung di panggung terbuka Candi Prambanan, yang dipenuhi sekitar 1.000 penonton (Kompas, 4 Agustus 1992). Indonesia yang diwakili Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta muncul dengan tari topeng kolosal cerita Panji, Klana Jayengsari (Kompas, 6 Agustus 1992).
Meski tak berkaitan dengan Ramayana, tetapi di panggung yang sama berlangsung Festival Lagu Pop ASEAN pada 1991. Dalam festival ini Indonesia diwakili Dharma Oratmangun dengan lagu “Penjor” (Kompas, 22 Juni 1991).
Tahun 2012 kembali dipertunjukkan Festival Ramayana di Prambanan. Kali ini muncul delapan versi kisah Ramayana dari para penampil yang berasal dari Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali (Kompas, 14 Oktober 2012).
Setahun kemudian, 2013 diadakan Festival Internasional Ramayana di panggung terbuka Candi Prambanan. Ramayana, kisah asal India itu diinterpretasikan dengan cara pandang dan gaya berbeda-beda sesampainya di Asia Tenggara. Selain Indonesia, peserta festival datang dari Laos, Myanmar, Kamboja, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand (Kompas, 15 September 2013).
Dengan segala suka dukanya, Sendratari Ramayana tetap setia tampil di panggung terbuka Candi Prambanan. Sebagai konsumsi wisata, sendratari dan semua unsur pendukungnya mampu memenuhi keingintahuan turis. Namun sebagai produk budaya, kita seharusnya tak berhenti di sini dan cepat merasa puas.