Reklamasi Teluk Jakarta, Sebuah ”Win-win Solution”?
Awal September tahun ini menandai berakhirnya polemik proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Moratorium reklamasi segera dicabut. Bersamaan dengan itu sertifikat hak pengelolaan lahan dan hak guna bangunan telah terbit.
Pengembang dinilai telah memperbaiki semua persyaratan. Analisis dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan, khususnya untuk Pulau Reklamasi C dan D, dinilai telah memenuhi syarat, yaitu sinergi dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), rencana Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD), dan aspek sosial.
Tinggal menunggu pengesahan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta yang kini masih di tangan DPRD DKI Jakarta, maka proyek reklamasi di Teluk Jakarta bakal kembali bergulir.
Kekisruhan terkait pro dan kontra reklamasi Teluk Jakarta di sepanjang 2016 berlalu begitu saja meskipun sebagian pihak, seperti Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), tetap meyakini ada pelanggaran aturan dalam berbagai perizinan proyek reklamasi. Mereka juga percaya menguruk laut untuk pulau-pulau buatan jelas hanya akan memperburuk kerusakan lingkungan di Teluk Jakarta, sama sekali bukan solusi untuk menyelamatkan Ibu Kota. Penikmat pulau-pulau buatan pun hanya segelintir kaum berpunya, sama sekali bukan demi kemaslahatan rakyat banyak, terlebih yang miskin dan terpinggirkan.
Pemerintah pusat dan DKI menolak anggapan proyek reklamasi tak berguna. Proyek pembuatan pulau-pulau hasil reklamasi adalah untuk penyelamatan Jakarta. Sebagian dari setidaknya rencana total 17 pulau buatan untuk memperluas pelayanan pelabuhan internasional, rekreasi, pengolahan air bersih, pengolahan sampah, penyediaan perumahan, dan sisanya dikelola pengembang swasta untuk berbagai keperluan.
Para pengembang mendapat hak pembangunan pulau, mendapat kewajiban untuk membangun tanggul laut di pesisir Teluk Jakarta sepanjang sekitar 80 kilometer. Tanggul laut ini akan mencakup sebagian wilayah pesisir Tangerang dan Bekasi sehingga total panjangnya sekitar 90 km.
Grafis arsip ”Kompas”
Skema pembiayaan, yaitu memperbolehkan pengembang swasta membangun pulau reklamasi lalu membangun tanggul laut dan turut bertanggung jawab pada pemulihan kondisi Teluk Jakarta, menurut pemerintah adalah win-win solution.
Kawasan pesisir Jakarta memang membutuhkan dana besar untuk penanggulangan masalah yang menderanya, yaitu penurunan muka daratan yang terus terjadi. Sebagian daratan di wilayah Jakarta Utara sudah di bawah permukaan air laut. Banjir, air bersih, dan banyak kerugian lain tak terelakkan menghantui kawasan ini.
DKI dan pusat tidak memiliki dana untuk membangun tanggul laut yang dibutuhkan karena nilainya triliunan rupiah. Padahal, jika tidak segera ditanggul, kerusakan akan makin parah. Dampaknya tidak hanya mengancam kawasan pesisir, tetapi juga keseluruhan Ibu Kota dan sekitarnya.
Manfaat dan tren global
Reklamasi bukan hal baru di dunia ini. Sudah banyak negara lain melakukannya. Di Indonesia, juga telah akrab dengan kebijakan pembangunan ini. Ancol adalah daerah yang mungkin pertama kali direklamasi 30-40 tahun lalu dan dikembangkan menjadi kawasan wisata laut dan theme park. Ancol boleh dikatakan menjadi kawasan tertata, area yang dulunya disebut daerah ”hitam” kini ramah bagi siapa pun. Ancol menjadi pusat perputaran ekonomi kota dan menjadi salah satu motor penggerak kemajuan Jakarta.
Bermanfaat. Itu memang syarat utama yang harus dipatuhi saat menentukan proyek reklamasi jadi atau tidak. Bermanfaat tentunya tidak hanya bagi pemilik modal atau pihak-pihak tertentu, tetapi juga menjadi penyambung hidup kawasan sasaran proyek dan sekitarnya. Bisa dibilang daerah atau kota itu harus berkali-kali lebih baik dengan adanya reklamasi, bukan sebaliknya.
Dari makalah berjudul ”Public Perception towards Reclamation of Coastal Areas in Makassar” yang ditulis M Syaiful Saleh, Abd Hakim, Sukoso, dan Andi Tamsil dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, diketahui garis besar tujuan reklamasi.
Keempat peneliti bidang studi lingkungan itu mengutip hasil kajian peneliti lain, yaitu Wagiu pada 2011 yang menyatakan bahwa tujuan reklamasi ada lima. Kelima tujuan tersebut adalah untuk mendapatkan kembali bagian daratan yang hilang atau rusak karena abrasi; untuk membangun daerah baru yang bebas abrasi; menyediakan kawasan untuk pelabuhan, baik pelabuhan untuk angkutan manusia, barang, maupun perikanan; langkah mitigasi untuk mengatasi ancaman abrasi; dan menambah area rekreasional.
Dalam artikel ”New Land By The Sea: Economically And Socially, Land Reclamation Pays oleh René Kolman, Secretary General, International Association of Dredging Companies” dinyatakan bahwa reklamasi direkomendasikan untuk kawasan urban yang padat dan tidak memiliki lahan lagi untuk ekspansi demi memenuhi kebutuhan lahan kota itu.
Terkadang memang tampak dipaksakan untuk terus membangun di kawasan-kawasan yang telah berkembang pesat. Namun, patut disadari bahwa tempat seperti Jakarta adalah magnet pertumbuhan dan perputaran ekonomi yang amat besar. Mengelolanya dengan lebih tepat, dalam hal ini antara lain dengan proyek reklamasi, adalah salah satu upaya agar peran besar kota itu tetap berjalan optimal.
Kolman juga menggarisbawahi penduduk dunia terus bertambah. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendata bahwa populasi manusia di bumi saat ini sekitar separuhnya menghuni wilayah dalam radius 100 km di kawasan pantai, baik sekitar sungai maupun laut. Tren ini akan terus berlanjut. Kota-kota akan terus tumbuh ke atas ataupun melebar. Pantai di depannya pun tak luput dari sasaran perluasan, termasuk dengan reklamasi.
Potensi kerugian kini dan nanti
Tren reklamasi memang tak terbantahkan. Namun, Saleh, Hakim, Sukoso, dan Tamsil tetap menyatakan bahwa reklamasi memiliki potensi dampak buruk bagi lingkungan. Mereka mengutip hasil penelitian Husna di makalahnya yang menyebutkan bahwa reklamasi selama ini menyebabkan turunnya sekitar 50 persen jumlah komoditas laut, baik ikan maupun lainnya. Perubahan bentang alam juga memicu perubahan geomorfologi serta hidrologi di kawasan target reklamasi serta di sekitarnya. Hal ini bisa berpotensi memicu banjir pasang yang lebih tinggi.
Dalam tulisan berjudul ”Making Ground, Losing Space: Land Reclamation and Urban Public Space in Island Cities” oleh Adam Grydehøj dari Universitas Prince Edward Island, Kanada menyadarkan bahwa saat kita me-reclaim lahan yang awalnya adalah milik publik, maka area itu akan terampas dari masyarakat. Grydehøj melihat bahwa reklamasi membuat kawasan pesisir yang awalnya milik publik menjadi kawasan privat.
Apa pun tata ruang pulau-pulau reklamasi nantinya, laut yang awalnya tak bersertifikat, tak berkapling, dan tidak bisa dimiliki perseorangan, akan dikelola penuh oleh pihak-pihak tertentu yang berlindung di balik hak pengelolaan lahan, hak guna bangunan, juga sederet peraturan buatan pemerintah. Ada peruntukan sebagian lahan hasil reklamasi untuk ruang publik, dalam bentuk ruang terbuka hijau atau fasilitas umum ataupun fasilitas sosial, tetapi tetap saja amat terbatas.
Tidak heran jika orang-orang seperti Grydehøj tetap berpikiran bahwa reklamasi tidak diperlukan. Bagi mereka, selalu ada cara lain yang tidak akan merampas hak publik, juga tidak secara sengaja mengubah bentang alam yang berpotensi berdampak buruk di masa kini serta masa depan. Itu bisa dilakukan jika ada kemauan kuat serta kesadaran bahwa segala sesuatu tidak bisa instan, semua butuh proses. Penyebaran pembangunan di daerah-daerah lain yang selama ini kurang terbangun dengan baik didorong untuk terwujud.
Apa pun pro dan kontra yang terus melingkupinya, reklamasi di segala penjuru belahan bumi tetap terus berlangsung. Di Jakarta, ketok palu tanda proyek reklamasi bergulir lagi tinggal menghitung hari. Potensi manfaat, juga kerugian, kini dan nanti sudah dibahas dari banyak sisi oleh para ahli. Tinggal para pemangku kebijakan dan para pelaksana proyek ditagih kebijaksanaannya sebaik-baiknya agar kerugian dapat ditekan sekecil mungkin.
Masyarakat layak mengingat karena perannya sebagai penerima apa pun bentuk dampak proyek ini. Pastikan aspirasi tersalur menjadi dasar bagi para pemegang kebijakan mengambil keputusan. Hidup mati kota ada di tangan manusia penghuninya. Jelilah mengawasi, lantanglah bersuara.