KOTA AGUNG, KOMPAS — Nasib petani padi tidak pernah enak. Menjelang musim panen, mereka tidak pernah menikmati harga tinggi. Menjelang musim tanam padi, petani kerap menghadapi permasalahan kekurangan pupuk bersubsidi. Sementara memasuki musim panen raya, harga gabah kering panen anjlok.
Harga gabah kering pungut (GKP) hanya berkisar Rp 3.400-Rp 3.700 per kilogram. Harga gabah petani yang selalu turun menjelang panen nyatanya telah menjadi permasalahan pelik setiap tahun yang belum bisa diatasi.
Kondisi itu membuat hasil penjualan gabah petani hanya cukup untuk menyambung hidup hingga musim panen berikutnya. Selain harus menyisihkan gabah untuk cadangan pangan keluarganya, petani juga harus mencari pekerjaan lain agar bisa membayar tagihan listrik serta biaya pendidikan dan kesehatan keluarga.
Amri (63), warga Desa Tegal Sari, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung, mengatakan, dirinya mendapat 1,2 ton gabah kering panen dari hasil mengolah lahan seluas 2.500 meter persegi. Untuk mengolah lahan itu, dia harus mengeluarkan modal sekitar Rp 700.000 guna mengolah lahan serta membeli bibit dan pupuk.
Dia hanya menjual 3-4 kuintal gabah simpanannya untuk modal mengolah lahan musim berikutnya. Sebagian gabah dia simpan untuk cadangan pangan keluarganya hingga musim panen berikutnya.
Untuk menghidupi istri dan lima anaknya, Amri juga mengolah kebun kopi dan kakao.
Kalau hanya mengandalkan padi, saya tidak dapat menghidupi istri dan anak-anak. Hasil panen padi hanya untuk mencukupi cadangan beras di rumah.
Sejak mengolah lahan pertanian pada tahun 1970-an, Amri tidak pernah menikmati manisnya harga padi saat panen raya. Harga padi selalu anjlok saat petani mempunyai banyak cadangan padi di rumahnya. Amri yang membutuhkan uang untuk biaya sekolah anak-anaknya harus rela menjual padi dengan harga rendah. Harga padi itu sudah ditetapkan oleh para tengkulak.
Menjelang musim tanam padi, Amri juga tidak selalu mendapat pupuk bersubsidi dari pemerintah. Bantuan pupuk dari kelompok tani di desanya diberikan secara bergiliran. Dia pun harus membeli pupuk tambahan menggunakan uang pribadi.
”Tahun ini, saya mendapat bantuan pupuk kandang sebanyak 10 kantong. Saya masih harus membeli pupuk tambahan,” ujarnya.
Nasib buruh petani lepas yang bekerja menanam dan memanen padi pun tak jauh berbeda. Kasini (42), warga Desa Wonodadi, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, menuturkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, upahnya hanya naik Rp 10.000 per hari.
”Tahun 2007, upah saya sebagai buruh tanam padi Rp 30.000 per hari. Tahun ini, upah saya baru naik jadi Rp 40.000 per hari,” katanya.
Menurut dia, kenaikan upahnya tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang kian melambung. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan hidup suami dan dua anaknya, Kasini membutuhkan uang paling sedikit Rp 50.000 per hari. Uang itu untuk biaya makan, sekolah, dan transportasi. Untuk biaya listrik dan kebutuhan lain, Daryanto (43), suami Karsini, harus mencari pekerjaan tambahan dengan berkebun atau mencari kayu.
”Kalau hanya mengandalkan upah sebagai buruh tani, penghasilan saya dan suami tidak akan cukup. Apalagi, kami tidak mengolah lahan pertanian setiap hari,” ucapnya.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.