Petani Berhak Sejahtera
CIREBON, KOMPAS — Petani dan buruh tani, tulang punggung kedaulatan pangan, belum hidup sejahtera. Selama 72 tahun Indonesia merdeka, mereka menjadi kelompok paling marjinal dalam struktur pertanian dan perekonomian nasional. Kini, sektor pertanian menjadi kian tidak menarik dan makin ditinggalkan.
Petani yang dimaksud merujuk pada petani dengan luas lahan kurang dari skala ekonomi minimal atau tak sampai 2 hektar. Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, jumlahnya mencapai 22,9 juta rumah tangga atau 87,63 persen dari total rumah tangga petani.
Mayoritas adalah pemilik lahan kurang dari 0,5 hektar atau petani gurem. Adapun buruh tani adalah buruh di sektor pertanian. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlahnya lebih dari 5 juta rumah tangga.
Pantauan Kompas di sejumlah daerah selama sepekan terakhir menunjukkan, petani dan buruh tani berjuang sangat keras untuk memperoleh penghasilan. Mereka menghadapi tekanan di semua aspek, dari hulu hingga hilir. Hal ini merupakan persoalan klasik, tetapi tak kunjung ada solusi.
Masalah pertama, modal jauh dari skala ekonomi minimal. Kedua, risiko gagal panen akibat serangan hama atau perubahan iklim terus berlanjut. Ketiga, program bantuan pemerintah di sektor pertanian, seperti subsidi dan kredit usaha rakyat (KUR), tidak efektif. Keempat, petani tidak berdaulat atas harga jual.
Semua hal ini bermuara pada penghasilan yang pas-pasan atau bahkan tak cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga.
Pilihannya, bertahan atau menyerah. Mereka yang menyerah meninggalkan pertanian dan pindah ke sektor informal di kota, sementara yang bertahan tak punya pilihan kecuali mati-matian hidup di sektor pertanian.
Junari (59), petani di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, misalnya, lebih dari 40 tahun bergelut di sawah, tetapi kehidupannya tak banyak berubah. Tahun 1977, pertama terjun ke sawah dengan menyewa lahan, hingga kini ia masih penyewa. Sepetak lahan milik orangtuanya sudah dijual saat Junari masih kecil.
Selama bertani, Junari berulang-ulang mengalami panen anjlok. Tak jarang, harga jual gabah terjun di bawah ongkos produksi. Situasi serupa ia alami lagi sekarang. Ia merugi. Akibatnya, Junari tak bisa melunasi utang di awal musim tanam untuk membeli sarana produksi dan sewa lahan desa Rp 11 juta.
Utang
Utang sebagai tumpuan modal kerja atau penyambung hidup harian merupakan hal yang jamak bagi petani. Sumber utang dari mana saja, kecuali bank. Umumnya, pemberi utang adalah tetangga, agen penjual sarana produksi, atau rentenir.
Bank selaku penyalur KUR bukan pilihan bagi petani untuk meminjam uang karena berbagai syarat yang tak masuk akal bagi petani dan prosedur yang sulit dipenuhi petani.
Bukan berarti petani hanya mengandalkan utang. Faktanya, rata-rata petani berusaha mencari sumber penghasilan alternatif, biasanya di sektor informal yang serba tidak pasti dan hasilnya pun sedikit.
Situasi ini dialami Dari (62), petani di Tegalrejo, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Menurut Dari, hasil panen tak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan harian sehingga ia mencari tambahan penghasilan dengan menjadi buruh bangunan. ”Keluarga kami juga ingin hidup layak dan sejahtera,” ujarnya.
Pendapatan petani yang rendah berimbas pada upah buruh tani yang rendah. Berdasarkan data BPS, upah buruh per hari secara nominal meningkat dari Rp 47.985 pada Juli 2016 menjadi Rp 50.003 pada Juli 2017. Namun, upah riilnya sebenarnya nyaris stagnan, dari Rp 37.208 pada Juli 2016 menjadi Rp 37.408 pada Juli 2017.
Tak menarik
Tasrif (55), Ketua Kelompok Tani Geger Karya Binangun di Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, menyatakan, sektor pertanian semakin tidak menarik karena penuh risiko dan sering hasilnya tak menguntungkan. Akibatnya, sejumlah anggota Kelompok Tani Geger Karya Binangun menjual sawah dan berganti pekerjaan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Khaerudin (40), misalnya, lima tahun lalu memilih menjual 0,5 hektar sawahnya seharga Rp 150 juta untuk modal membuka usaha gorengan di Jakarta. Sementara anggota lain ada yang menjual 0,35 hektar sawahnya untuk modal membuka bengkel di Bekasi.
Sektor pertanian, bersama sektor manufaktur dan perdagangan, merupakan pilar utama penopang produk domestik bruto nasional. Pertanian juga menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar setelah manufaktur dan perdagangan.
Namun, pertumbuhan sektor pertanian setiap tahun selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, setidaknya sejak tahun 2011 sampai dengan 2016. Sementara nilai tukar petani (NTP) sebagai indikator kesejahteraan petani selama Januari-Agustus 2017 terus-menerus di bawah periode yang sama pada tahun lalu.
NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani. Indeks harga yang dibayar petani mencakup semua aspek pengeluaran rumah tangga tani. NTP di bawah 100 berarti petani tekor.
Khusus untuk petani tanaman pangan, NTP-nya bahkan terus-menerus di bawah 100 sejak April 2016 sampai dengan Juli 2017. Artinya, ekonomi petani tanaman pangan tekor selama 15 terakhir.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman, menjawab pertanyaan Kompas pada konferensi pers tentang RAPBN 2018 pada 16 Agustus lalu, menyatakan, kesejahteraan petani tidak bisa diukur dengan NTP bulanan, tetapi setahun, karena tanaman pangan adalah tanaman semusim.
Amran kemudian merujuk pada nilai tukar usaha pertanian (NTUP). NTUP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani, khusus untuk usaha tani.
”NTUP tidak pernah di bawah 100. Pasti di atas 100. NTUP sekarang (Juli 2017) 109. Artinya, daya beli petani cukup tinggi. Bisa dilihat dari tingkat kemiskinan dan rasio gini di desa yang turun,” kata Amran.
(MKN/ACI/SEM/VIO/ZAK/RAM/DRI/KRN/GER/LAS)