Memang Siapa yang Gagal di SEA Games?
Pekan olahraga Asia Tenggara, SEA Games 2017, berakhir di Kuala Lumpur, 30 Agustus lalu. Semua orang meneriakkan kegagalan Indonesia. Memang siapa yang gagal? Yang pasti bukan atlet, pelatih, dan pengurus cabang olahraga. Pemerintahlah yang gagal dalam memfasilitasi komunitas olahraga elite Indonesia itu tepat waktu.
Di Kuala Lumpur, Indonesia berada di peringkat kelima pengumpulan medali dengan 38 emas, 63 perak, 90 perunggu. Total medali yang dikantongi 191 keping. Semua itu disumbang oleh para atlet dari 30 cabang olahraga, termasuk kelompok cabang akuatik yang terdiri dari renang, renang perairan terbuka, loncat indah, polo air, dan renang indah. Dari 39 cabang olahraga yang dipentaskan, Indonesia absen di dua cabang, yaitu netball dan lawnball.
Secara statistik sederhana, perolehan medali di 30 dari 37 cabang tidaklah buruk. Apalagi, umumnya cabang peraih medali itu adalah cabang-cabang olahraga yang kiprahnya telah mengakar di masyarakat. Tujuh cabang yang Indonesia pulang dengan tangan hampa adalah petangue, rugbi, layar, triatlon, hoki es, muaythai, dan berkuda.
Beberapa waktu sebelum pesta olahraga itu, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengumumkan target Indonesia 50 keping emas. Lalu apakah 63 perak dan 90 perunggu yang diraih para atlet yang takluk di satu-dua langkah terakhir sebelum podium tertinggi bisa disebut gagal?
Nanti dulu. Banyak hal bisa terjadi dalam sebuah pertandingan yang berlangsung 180 menit, 60 menit, hingga hanya sekitar 10 detik. Perenang putri, Sofie Kemala Fatiha, yang meraih perak 50 meter gaya punggung putri, misalnya, tentu sama sekali tidak bisa disebut gagal (dalam meraih emas). Sofie baru berusia 16 tahun yang tentu masih memiliki banyak waktu dalam mengasah prestasinya jauh lebih tinggi.
Ketepatan waktu
Percayalah. Mempertahankan dan mengasah tingkat kemampuan atlet elite itu mahal sekali—kita belum bicara soal membentuk atlet untuk masuk ke tataran elite. Soal mahal, kita juga tidak cuma bicara soal nominal uang yang harus keluar untuk mereka. Ketepatan waktu uang itu diberikan adalah parameter yang ”lebih mahal lagi”.
Semua fasilitas itu tak ada gunanya jika baru bisa diperoleh atlet sehari-dua hari sebelum berangkat ke medan juang.
Mari bicara tentang peralatan atlet. Sepotong celana renang untuk lomba berharga di atas Rp 5 juta. Kostum petembak yang membantu menopang otot-otot atlet agar kokoh tak bergetar berharga di atas Rp 50 juta. Sepeda lomba harganya ratusan juta rupiah.
Namun, semua fasilitas itu tak ada gunanya jika baru bisa diperoleh atlet sehari-dua hari sebelum berangkat ke medan juang. Apalagi, jika memperolehnya setelah laga usai seperti yang dialami para karateka. Itu pun baru baju pertarungan mereka (Kompas, 31 Agustus 2017).
Kurang dari sepekan sebelum berangkat, seorang atlet putri ski air juga menuturkan, dirinya akan berlomba dengan peralatan lama yang dia miliki. Atlet yang akhirnya meraih perunggu itu tak tahu apakah akan ada alat lomba pasokan pemerintah di SEA Games 2017.
Mengevaluasi persiapan SEA Games 2017 ini tak susah. Kisahnya tak berbeda dari berbagai persoalan di persiapan SEA Games 2015, 2013, 2011, dan berbagai pesta olahraga internasional yang diikuti para atlet.
Peralatan belum dapat, uang saku belum diperoleh—baru didapat ”gelondongan” untuk beberapa bulan di saat-saat terakhir, uang penginapan pelatnas yang menunggak ke manajemen hotel atau pemilik rumah sewaan, dan sebagainya. Ini belum soal biaya mengikuti kejuaraan internasional sebagai tahap ujian melihat kemajuan latihan atlet.
Macan kertas
Sejak delapan tahun lalu, Indonesia memiliki Program Indonesia Emas (Prima) yang ditetapkan melalui peraturan presiden. Satuan pelaksananya pun langsung bertanggung jawab kepada Menteri Pemuda dan Olahraga. Harapan idealnya, satuan pelaksana (satlak) inilah yang mengoordinasi dan memayungi semua persiapan atlet elite Indonesia ke ajang pekan olahraga internasional.
Namun, bahkan dengan dipimpin oleh tokoh sekaliber Achmad Soetjipto, Satlak Prima tetaplah ”macan kertas” yang tak punya kemampuan untuk mengeksekusi berbagai fasilitas yang dijanjikan. Soetjipto, Kepala Staf TNI AL 1999-2000, adalah pembina cabang olahraga dayung senior. Di tangannya, olahraga tersebut terus menjadi andalan pendulang medali emas bagi Indonesia, bahkan perahu naga menjadi penyelamat muka di Asian Games 2010 dengan meraih tiga dari empat emas Indonesia.
Seperti para pengurus induk organisasi olahraga yang sekarang mengurusi para atletnya ke SEA Games Kuala Lumpur, Soetjipto dan pengurus persatuan dayung lainnya harus banyak memutar otak dan menguras kantong agar para atlet elite mereka tetap berlatih dan bertanding. Persiapan menuju pesta olahraga internasional tetap berjalan.
Kini, Soetjipto yang kaya akan wawasan soal pembinaan atlet elite itu lebih banyak berkutat soal rumitnya birokrasi anggaran dari pemerintah. Saat bertemu dengan Komisi X DPR, Juli lalu, misalnya, dia lantang mengungkap anggaran Prima yang pas-pasan.
Karena pada praktiknya, Satlak Prima tak punya uang tunai di kantongnya.
Katanya, Prima sudah mengajukan kebutuhan tambahan anggaran Rp 149 miliar (dari yang ada Rp 500 miliar untuk program SEA Games 2017 dan Asian Games 2018) sejak April 2017. Namun, kenyataannya, Kemenpora tidak memasukkan usulan anggaran itu dalam RAPBN Perubahan 2017 ke DPR (Kompas, 13 Juli 2017).
Seperti yang sudah-sudah, dana untuk persiapan atlet elite itu pun tidak bisa segera hadir di saat yang diperlukan karena pada praktiknya, Satlak Prima tak punya uang tunai di kantongnya. Semua kebutuhan uang atau alat harus masuk ke Kemenpora dan diteruskan ke sistem perbendaharaan anggaran negara.
Birokrasi di pemerintahan selalu menjadi hambatan dana atau peralatan diterima pada waktu yang dibutuhkan. Kemacetan pencairan dana itu pula yang terjadi ketika Satlak Prima menunggak pembayaran dan akomodasi uji tanding para atlet hingga Rp 100 miliar. Satlak Prima juga terhambat untuk membeli peralatan tanding atlet untuk SEA Games 2017. Dalam siaran persnya, Kemenpora menyatakan, peralatan berlatih dan bertanding masih dalam proses pengadaan (Kompas, 19 Juni 2017).
Akuntabilitas pengeluaran dan penggunaan uang negara tentu harus terang benderang. Tidak ada penentangan soal itu. Namun, persoalan terlambatnya pendanaan (atlet, pelatih, dan ofisial harus keluar uang dahulu) sudah diderita atlet sejak lama setiap mereka menyiapkan diri menuju ajang pertaruhan nama bangsa. Padahal, yang namanya persiapan tidaklah seminggu dua minggu, tidak pula sebulan dua bulan.
Langkah mendasar
Terobosan untuk memfasilitasi—dana dan alat agar diterima sesuai waktu yang dibutuhkan atlet—yang sesuai hukum dan sesuai praktik penyelenggaraan negara yang bersih haruslah dipikirkan dan dicari oleh Iman Nahrawi dan jajarannya di Kemenpora. Itu langkah paling mendasar jika Indonesia ingin memperbaiki persiapannya menghadapi setiap pekan olahraga antarbangsa internasional.
Jika sudah seperti itu, olahraga akan terus menjadi sektor pinggiran di negeri ini.
Jika hal mendasar itu saja masih akan terus menjadi persoalan—sekaligus menjadi pembenaran atas persoalan—Indonesia tidak akan pernah beranjak dari persoalan para atlet elite menjelang laga di pesta olahraga internasional. Jika hal itu saja masih jadi masalah, Indonesia tidak akan pernah bisa menyentuh dan membenahi persoalan-persoalan olahraga lainnya: regenerasi atlet, membangun olahraga usia dini yang sehat dan massal, menumbuhkan industri olahraga.
Jika sudah seperti itu, olahraga akan terus menjadi sektor pinggiran di negeri ini. Padahal, di negeri lain, olahraga menjadi sebuah sektor yang kokoh menopang ekonomi sebuah negara, menjadi media meningkatkan dan menjaga kesehatan masyarakat, dan membentuk karakter perorangan dan keluarga yang positif.
Olahraga dan atlet elite punya peran menumbuhkan harapan dan rasa percaya diri bagi rekan-rekan sebangsanya: bahwa mereka hebat, mereka mampu menjadi yang terbaik. Lalu, bagaimana bisa harapan dan rasa percaya diri masyarakat itu tumbuh jika si atlet elite itu sendiri selalu galau, ”Benarkah uang pribadiku yang terpakai untuk ikut pertandingan di luar negeri akan diganti negara, sesuai ’katanya’?”