Pesan Warga RI Disampaikan
NAYPYIDAW, SENIN — Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi bertemu Menlu dan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi di Naypyidaw, Myanmar, Senin (4/9). Retno menyerukan amanat masyarakat Indonesia dan menyampaikan empat usulan solusi bagi masa depan warga Rohingya.
”Saya hadir di Myanmar membawa amanat masyarakat Indonesia yang sangat khawatir terhadap krisis kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine dan ingin Indonesia ikut membantu. Saya juga membawa suara dunia internasional agar krisis kemanusiaan di Rakhine segera diselesaikan,” demikian disampaikan Menlu RI saat bertemu Suu Kyi.
Pertemuan dengan Suu Kyi dilakukan setelah Retno bertemu dengan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Senior U Min Aung Hlaing dan tiga menteri Myanmar secara terpisah. Tiga menteri itu adalah Menteri pada Kantor Presiden, Penasihat Keamanan Nasional, dan Menteri Muda Urusan Luar Negeri.
Retno akan melanjutkan perjalanan ke Banglades. Kunjungan ini juga dalam rangka membawa misi Pemerintah RI untuk mengatasi problem di Rakhine dan menyelamatkan ratusan ribu warga etnis Rohingya. Saat ini, hampir 90.000 pengungsi Rohingya berada di Banglades.
Formula 4+1
Kepada Suu Kyi, Retno menyampaikan usulan Indonesia yang disebut Formula 4+1 untuk Rakhine. Empat elemen formula ini terdiri dari: (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine tanpa memandang suku dan agama; serta (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.
”Empat elemen pertama merupakan elemen utama yang harus segera dilakukan agar krisis kemanusiaan dan keamanan tidak memburuk,” tutur Retno. Satu elemen lagi adalah pentingnya implementasi rekomendasi dari Laporan Komisi Penasihat untuk Rakhine yang dipimpin oleh Kofi Annan (mantan Sekjen PBB) sesegera mungkin.
Indonesia dan ASEAN
Menurut Retno, satu capaian penting misi diplomasi kemanusiaan Indonesia kali ini adalah kesepakatan bahwa Indonesia dan ASEAN terlibat dalam penyaluran bantuan kemanusiaan di Rakhine. Mekanisme penyaluran dipimpin oleh Pemerintah Myanmar, tetapi melibatkan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan beberapa pihak, termasuk Indonesia dan ASEAN.
Dalam pemberian bantuan ini, Indonesia selalu menekankan bahwa bantuan harus sampai kepada semua orang yang memerlukan, tanpa kecuali, tanpa memandang agama dan etnis. Merujuk pada keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri RI, terkait implementasi rekomendasi laporan komisi yang dipimpin Kofi Annan, Pemerintah Myanmar membentuk Komite Implementasi dan Badan Penasihat untuk mengawasi implementasi rekomendasi itu.
Dalam pertemuan dengan Suu Kyi, Retno juga menyampaikan kepedulian dan komitmen tinggi lembaga swadaya masyarakat Indonesia terhadap Myanmar. Dalam kaitan ini, disampaikan peluncuran Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) pada 31 Agustus 2017.
Aliansi terdiri atas 11 organisasi kemanusiaan dengan prioritas pada empat hal, yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan bantuan. Komitmen bantuan yang diberikan aliansi senilai 2 juta dollar AS.
”Saya mengharapkan Pemerintah Myanmar bisa melanjutkan pemberian akses kepada AKIM karena selama ini telah bersama Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan beberapa program (serupa),” tutur Retno.
Menurut Retno, misi ke Myanmar paling tidak telah mencapai dua hal. Keduanya akan terus dipastikan pelaksanaannya, yakni tersampaikannya perhatian besar masyarakat Indonesia atas situasi kemanusiaan di Rakhine dan adanya komitmen otoritas Myanmar untuk segera mengatasi krisis kemanusiaan tersebut. Selain itu, Indonesia juga mendapatkan akses dengan diterima dalam mekanisme penyaluran bantuan kemanusiaan yang dipimpin oleh Pemerintah Myanmar bersama ICRC.
Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Khoirul Anam, di Jakarta, kemarin, mendorong Pemerintah RI untuk membentuk kaukus diplomasi pemerintah dan parlemen dalam menangani kasus Rohingya. Di sisi lain, kerja sama militer RI-Myanmar dan negara ASEAN lainnya bisa dimanfaatkan menjadi jembatan diplomasi bagi upaya penghentian kekerasan terhadap warga etnis Rohingya.
Aliansi global untuk menekan Pemerintah Myanmar agar mematuhi HAM terkait etnis Rohingya juga perlu dibentuk. ”Jangan tindakan kelompok separatis di antara warga Rohingya disikapi dengan kekerasan oleh militer terhadap semua warga Rohingya. Selain itu, hak dasar pengakuan sebagai warga negara terhadap etnis Rohingya merupakan salah satu hak asasi yang harus dipenuhi oleh Myanmar,” ujar Khoirul Anam.
Reformasi belum selesai
Kegagalan upaya berbagai lembaga internasional untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya tidak terlepas dari belum selesainya reformasi sektor keamanan Myanmar yang masih didominasi militer—Tatmadaw—dalam kehidupan sosial dan politik. Tak jarang, berbagai inisiatif Pemerintah Myanmar mengalami kebuntuan dan perlawanan dari elemen militer Myanmar.
Tim penasihat yang dibentuk Aung San Suu Kyi dan Yayasan Kofi Annan sudah mengeluarkan rekomendasi pada 24 Agustus 2017. Rekomendasi itu ialah penghapusan diskriminasi, pemberian kewarganegaraan, dan layanan publik kepada masyarakat Rohingya. Usulan tersebut, menurut Khoirul Anam, disikapi Tatmadaw dengan operasi militer sebagai dalih pembalasan atas kekerasan yang dilakukan kelompok separatis di Rakhine.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan, masyarakat internasional dapat bertindak atas Myanmar berdasarkan konsep yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu tanggung jawab untuk melindungi (R2P).
Indonesia bisa berperan supaya negara-negara ASEAN bersikap dan menerapkan R2P, seperti sanksi ekonomi. Hal ini ditempuh khususnya jika Pemerintah Myanmar tidak mau menghentikan kekerasan pada etnis Rohingya.
Menurut Hikmahanto, langkah tersebut dapat dilakukan oleh ASEAN dalam rangka penyelamatan etnis Rohingya mengingat masalah ini merupakan problem regional.
Ia menilai, setelah pertemuan dengan Suu Kyi, Pemerintah Indonesia dapat memanggil sidang darurat untuk mengambil langkah-langkah yang tepat oleh ASEAN terhadap Myanmar.
Memprotes Myanmar
Hingga awal pekan ini, kondisi Rakhine masih dibayangi ketidakpastian. Arus warga etnis Rohingya yang menuju Banglades masih berlanjut. PBB memperkirakan jumlah warga etnis Rohingya yang meninggalkan Rakhine mencapai 87.000 jiwa.
Ketidakjelasan di Rakhine mendorong keprihatinan, kecaman, dan protes pada otoritas Myanmar. Penerima Nobel Perdamaian Malala Yousafzai mendesak Suu Kyi yang juga penerima Nobel Perdamaian untuk bersuara dan mengecam kekerasan atas etnis Rohingya. (AFP/AP/BEN/INA/NTA/ONG/ZAK/JUM/RUL/BKY/COK/BAY)