Memanaskan Mesin-mesin Politik ”Bang Wetan”
Masyarakat Jawa Timur akan sibuk pada 2018. Mereka dijadwalkan terlibat dalam pemungutan suara untuk memilih gubernur-wakil gubernur serta kepala daerah di 18 kabupaten/kota di seluruh Jawa Timur.
Pemilihan serentak bupati-wakil bupati/wali kota-wakil wali kota digelar di tiga kabupaten di Pulau Madura, yakni Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan, kemudian di 15 kabupaten/kota di Jatim di Pulau Jawa, yakni Bojonegoro, Kota Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Magetan, Tulungagung, Kota Kediri, Kota Malang, Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo, Lumajang, dan Bondowoso.
Jatim yang di masa silam dijuluki ”Bang Wetan” terdiri atas 38 kabupaten/kota. Sebanyak 19 kabupaten/kota telah menggelar pilkada serentak pada 2015. Sementara itu, satu kota, yakni Batu, telah melaksanakan pilkada pada 2017.
Pada 2015, tingkat partisipasi terendah di pemilihan bupati Tuban dengan 51 persen partisipasi, sedangkan yang tertinggi di pemilihan wali kota Pasuruan dengan 79 persen. Pada 2017, tingkat partisipasi dalam pemilihan wali kota Batu mencapai 81 persen.
Tingkat partisipasi pada pemilihan gubernur Jatim 2008 mencapai 61,6 persen. Itu dilihat dari penggunaan 17,9 juta suara berbanding 29,1 juta pemilih. Tingkat partisipasi pada pemilihan gubernur Jatim 2013 anjlok menjadi 57,7 persen. Itu dilihat dari penggunaan 17,3 juta suara berbanding 30,1 juta suara.
Komisi Pemilihan Umum Jatim memprediksi, pada pemilihan gubernur Jatim 2018, jumlah pemilih 32,3 juta orang. Hal itu merujuk pada jumlah pemilih dalam pemilihan presiden 2014, yakni 30,6 juta orang, dan penghitungan memakai dasar Pilkada 2015 dan 2017 yang mencapai 31,4 juta orang. ”Kami meyakini, jumlah pemilih terus meningkat,” kata Ketua KPU Jatim Eko Sasmito, Rabu (6/9) di Surabaya.
Dalam Pilkada Jatim 2018, KPU Jatim mengharapkan partisipasi 77,5 persen. Jumlah itu berarti di atas partisipasi rata-rata nasional dalam pilkada yang mencapai 75 persen. Target tinggi partisipasi pada Pilkada Jatim 2018 berarti naik signifikan dari Pilkada Jatim 2013 yang 57,7 persen. ”Kami mengupayakan berbagai cara agar partisipasi pemilih naik,” kata Eko.
Terkait pendanaan, Pemerintah Provinsi Jatim telah sepakat memberi hibah Rp 817,2 miliar untuk penyelenggaraan oleh KPU Jatim. Dana hibah Rp 163,2 miliar lainnya untuk pengawasan oleh Bawaslu Jatim. Untuk termin pertama, anggaran yang dicairkan bagi KPU Jatim Rp 119 miliar, sedangkan bagi Bawaslu Jatim Rp 51,4 miliar. Sisa dana dicairkan pada 2018.
Kandidat
Di tingkat Pilkada Jatim, sampai kini sejumlah kandidat yang sudah menyatakan diri siap berebut kursi gubernur adalah Wagub Jatim Saifullah Yusuf, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, dan Ketua Kadin Jatim La Nyalla Mattalitti.
Nama-nama yang juga dikaitkan ialah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, mantan Ketua MK Mahfud MD, mantan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh. Nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga disebut-sebut, tetapi yang bersangkutan telah menyatakan secara sungguh-sungguh tidak bersedia maju karena ingin menyelesaikan tugas pengabdian di ”Kota Pahlawan”.
Nama-nama yang dikaitkan untuk kursi wagub adalah Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Bupati Ngawi Budi Sulistyono, Bupati Bojonegoro Sunyoto, Ketua DPRD Jatim dan Ketua PKB Jatim Halim Iskandar, dan Wakil Ketua DPRD Jatim dan Ketua PDI-P Jatim Kusnadi. Selain itu, muncul nama Bupati Trenggalek Emil Elestianto, Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni, dan Bupati Malang Rendra Kresna, tetapi mereka masih menyatakan tidak berminat bertarung memperebutkan kursi Jatim-2.
Ada pula nama politikus dari Senayan yang disebut-sebut akan turun ke Jatim antara lain Nurhayati Ali Assegaf, Mukhamad Misbakhun, Ridwan Hisjam, dan Hasan Aminudin. Namun, mereka belum secara tegas menyatakan minat bertarung sebagai calon gubernur atau calon wagub. ”Konfigurasinya masih samar, padahal waktu tersisa kurang dari setahun,” kata pengajar ilmu politik Universitas Airlangga, Haryadi.
Sejauh ini pula hanya Partai Kebangkitan Bangsa yang sudah menyatakan diri mengusung Saifullah sebagai calon gubernur. PKB memang memiliki 20 kursi di DPRD Jatim sehingga berhak mengusung calon secara mandiri.
PDI-P mengantongi 19 kursi sehingga perlu berkoalisi jika ingin mengusung sendiri calon gubernur atau malah bergabung dengan PKB yang sudah punya calon. Untuk Khofifah dan La Nyalla, belum ada koalisi partai yang secara resmi mendeklarasikan dukungan kepada mereka.
Pemilih
Di sisi lain, media massa yang tepercaya dan berwibawa masih menjadi rujukan utama rakyat dalam pemungutan suara. Koran, majalah, tabloid, televisi, radio, dan situs berita diharapkan menyiarkan informasi politik secara jujur, benar, berimbang, dan bermanfaat bagi pemilih.
Ketua Aliansi Pelajar Surabaya Aryo Seno Bagaskoro mengatakan, pemilih pemula sebenarnya lebih dekat dengan media sosial, terutama Instagram dan Line. Mereka sudah enggan berinteraksi di Facebook yang mulai dipenuhi kalangan generasi tua, kerabat, keluarga, bahkan orangtua sehingga ada kecemasan segala aktivitas dimata-matai.
”Tapi, bagi saya, yang bisa memberikan informasi akurat, ya, media massa yang bisa dipercaya. Media sosial memang untuk interaksi, bahkan aspirasi, tetapi untuk referensi informasi kami masih memerlukan media massa yang tepercaya,” kata siswa SMA Negeri 5 Surabaya itu.
Pendapat Aryo tak jauh berbeda dengan hasil penelitian internal oleh pengajar ilmu komunikasi Universitas Airlangga, Rachmah Ida, terhadap kalangan mahasiswanya. Hampir 85 persen mahasiswa masih menjadikan media massa sebagai sumber informasi. Jika informasi didapat dari media sosial, itu pun konten pemberitaannya berasal dari media massa arus utama. ”Responden tidak tertarik, apalagi terlibat diskusi ramai di media sosial dengan isu politik, seperti Pilkada Jakarta dan intoleransi,” ujarnya.
Mahasiswa tidak lagi menggunakan media sosial untuk membahas gosip atau isu. Mereka menyadari sejumlah perusahaan dan lembaga menjadikan media sosial sebagai portofolio dalam melihat seseorang. ”Responden mengaku menjadi lebih berhati-hati saat membuat status, terutama di Facebook, khususnya menyangkut aspirasi sosial dan politik,” kata Rachmah.
Mahasiswa dirasa mulai bijaksana memanfaatkan media sosial. Mereka membentuk grup-grup WhatsApp temporer, misalnya, untuk kepentingan studi atau menjalin persahabatan baru. Referensi informasi tetap didapat dengan membaca dari sejumlah media massa, lalu mendiskusikannya dengan teman dekat, sahabat seorganisasi, dan anggota keluarga.
”Kami tak tertarik dengan sosok yang umbar janji, tetapi yang mampu membawa dan terlihat memperjuangkan ide-ide baru yang dekat dengan kehidupan kami, misalnya bagaimana full day school, penerimaan peserta didik baru, pengalihan pengurusan SMA/SMK ke provinsi,” kata Aryo.