Ratusan Rumah di Cilincing Digusur untuk Kolam ”Parkir” Air
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memindahkan warga di lebih dari 100 rumah di atas urukan tanah serta rumah panggung di atas laut, yakni warga RT 012 RW 004, Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara. Kolam retensi akan dibangun dan mencakup area tempat tinggal mereka sekarang.
Kolam retensi yang terintegrasi dalam rencana Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD) itu berfungsi sebagai tempat ”parkir” sementara air guna menurunkan risiko banjir. Menurut rencana, kolam yang akan dibangun seluas 5,2 hektar, yang 3,2 hektar di antaranya saat ini merupakan area laut.
Kolam retensi tersebut bagian dari proyek besar NCICD. ”Data pada bulan April 2016, di sana terdapat 112 bangunan, dan sekarang kemungkinan bertambah,” ucap Lurah Cilincing Sugiman, Kamis (7/9), di Jakarta.
Hingga kemarin belum ada jadwal tahapan-tahapan menuju relokasi. Sosialisasi kepada warga setempat pun sama sekali belum dijalankan. Sugiman menanti perencanaan dan pembagian tugas dari Pemerintah Kota Jakarta Utara.
Bahkan, pendataan warga tahun lalu di kawasan antara tempat pelelangan ikan dan Krematorium Cilincing itu bukan didasari rencana pembangunan kolam retensi.
”Itu hanya inisiatif saya dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) untuk mendata mereka,” ujarnya.
Saat ini, Pemprov DKI sudah menyiapkan 150-an unit di Blok A9 dan Blok D Rumah Susun Sederhana Sewa Marunda, Jakarta Utara, untuk merelokasi para penghuni. Agar bisa menyewa unit, warga mesti memiliki kartu tanda penduduk dan kartu keluarga DKI Jakarta.
Rumah-rumah yang rencananya direlokasi antara lain yang dibangun di atas laut dengan cerucuk-cerucuk bambu untuk meninggikan dasar rumah dari permukaan laut. Dasar rumah juga berbahan bambu, sedangkan dinding menggunakan tripleks.
Salah seorang warga, Rosid (41), menyatakan setuju dengan program pemerintah terkait dengan relokasi untuk membangun kolam retensi. Namun, itu harus saling menguntungkan. Pebudidaya kerang tersebut meminta ada ganti rugi dengan besaran yang pas bagi warga yang dipindahkan karena pendirian bangunan sudah membuat mereka mengeluarkan biaya.
Selain itu, Rosid tidak setuju jika warga dipindahkan ke rusun sebab nelayan dan pebudidaya kerang tidak bisa jauh dari bibir pantai serta mesti selalu memantau perahu-perahu mereka. ”Saya dulu tinggal di Muara Karang dan digusur. Akhirnya, saya pindah ke pesisir lagi,” ujarnya.