Petani Terkikis di Negeri Agraris
Indonesia adalah salah satu negara agraris terbesar di dunia. Dengan ketersediaan sinar matahari sepanjang tahun, berbagai komoditas pangan mestinya dengan mudah dihasilkan. Karena terkenal dengan kesuburan tanahnya, konon tongkat pun kalau dilemparkan bisa tumbuh jadi tanaman. Tak mengherankan, negeri ini dulu dikenal sebagai ”Zamrud Khatulistiwa” hingga memantik banyak negara menguasainya. Sejarah mencatat, sekitar 350 tahun kekayaan alam dan hasil tanaman petani dinikmati penjajah.
Kini setelah 72 tahun di bawah pemerintahan merdeka, petani tak kunjung sejahtera. Bahkan, pemerintah dihadapkan pada simalakama yang tak berujung karena beras merupakan komoditas pangan strategis. Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikannya sebagai pangan pokoknya. Kenaikan harga beras langsung memicu inflasi dan berdampak pada penurunan daya beli.
Ironisnya, kenaikan harga beras ikut menyumbang sekitar 26 persen angka kemiskinan di perdesaan. Kenaikan harga beras membebani petani yang menjadi penghasil beras. Padahal, kenaikan harga mestinya dapat menambah pendapatan petani. Namun, sebagian besar petani hanya buruh dan petani gurem. Setelah panen, petani menjadi net consumer. Kebijakan pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) tidak mampu memberikan insentif kepada petani.
Secara teori, pasar komoditas pangan mendekati persaingan sempurna. Jumlah petani sangat banyak dan jumlah konsumennya lebih banyak lagi. Sayangnya, petani Indonesia belum memiliki kemewahan untuk langsung bisa berinteraksi menjual berasnya langsung kepada konsumen. Berbeda dengan di Denmark, petani membentuk koperasi yang menampung hasil panen. Koperasi petani Denmark mampu mengolah semua hasil panen petani menjadi berbagai produk industri pangan yang siap pakai dan memiliki nilai tambah tinggi. Petani Denmark tidak hanya memiliki posisi tawar yang tinggi, tetapi juga mampu menguasai tata niaga pangan dari hulu ke hilir.
Model koperasi unit desa (KUD) yang dulu pernah dikembangkan mestinya menjadi embrio dan mampu meniru keberhasilan koperasi petani Denmark. Ini termasuk memanfaatkan KUD untuk menyalurkan berbagai subsidi yang langsung dinikmati petani. Pada 2016 dan 2017, anggaran subsidi pupuk mencapai Rp 30,1 triliun dan Rp 31,2 triliun. Subsidi benih padi, jagung, dan kedelai mencapai Rp 1 triliun (2016) dan Rp 1,2 triliun (2017). Namun, besarnya subsidi input itu tidak mampu menurunkan biaya produksi petani. Biaya produksi padi di Indonesia Rp 4.079 per kilogram, sementara Vietnam hanya Rp 1.679 per kg. Akibatnya, harga beras Indonesia 1,7 kali lebih mahal daripada harga beras internasional.
Di tengah rendahnya daya saing dan lemahnya posisi tawar petani, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) beras. Jika kebijakan itu wajib dipatuhi, dikhawatirkan akan membuat petani semakin terpinggirkan. Secara rasional, penetapan HET justru mengakibatkan tekanan harga yang diterima petani. Nilai tukar petani tanaman pangan akan semakin tekor, sangat tertinggal, yakni di bawah 100. Akibatnya, tenaga kerja usia muda enggan terjun ke sektor pertanian apalagi tenaga kerja yang terdidik dan menguasai teknologi modern.
Turun drastis
Survei Usaha Tanaman Pangan Badan Pusat Statistik pada 2014 menunjukkan penurunan jumlah petani usia muda sangat drastis. Petani usia 35 tahun ke bawah turun drastis dari 25,93 persen menjadi tinggal 8,14 persen. Petani yang tertinggal hanya usia 50 tahun ke atas, meningkat dari 20,19 persen menjadi 52,07 persen.
Karena permasalahan pangan sangat kompleks, tak mungkin menyelesaikannya dengan kebijakan instan dan parsial. Stabilisasi harga pangan menjadi salah satu kunci utama untuk mengendalikan inflasi. Namun, inflasi hanyalah target antara. Inflasi harus mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Karena itu, stabilisasi harga tidak bisa dicapai hanya melalui sistem komando, tetapi dengan cara kembali menyehatkan mekanisme pasar.
Kuncinya adalah menempatkan petani pada garda terdepan melalui peningkatan produktivitas dan menyehatkan tata niaga komoditas pertanian. Jika input yang digunakan petani berkualitas dan tenaga penyuluh lapangan efektif memandu petani menggunakan teknologi tepat guna, kualitas panen petani akan meningkat.
Jika selama ini subsidi input selalu sulit tepat sasaran, pemerintah bisa fokus beralih pada kebijakan subsidi output. Dengan memperkuat kelembagaan, pemerintah punya instrumen untuk menyerap harga petani sesuai dengan harga keekonomian. Ini sejalan dengan pemanfaatan dana desa untuk memperkuat infrastruktur pengelolaan setelah panen. Untuk memperkecil disparitas harga produsen dan konsumen, pemerintah harus memiliki cadangan beras yang memadai sehingga punya instrumen untuk melakukan kebijakan operasi pasar.
Posisi tawar petani meningkat dan terjamin untuk mendapatkan harga keekonomian jika kelembagaan diperkuat. Dampaknya, kesejahteraan petani meningkat. Dengan demikian, tidak ada lagi ada ungkapan miris, nasib petani yang tersisih dan terkikis di negeri agraris. Semoga segera terwujud.
Enny Sri Hartati
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance