JAKARTA, KOMPAS — Dinas Kesehatan DKI Jakarta menilai ada dua kelalaian pihak rumah sakit dalam kasus kematian bayi Tiara Debora Simanjorang, Minggu (3/9). Simpulan itu diperoleh seusai pertemuan selama 2,5 jam antara pihak Dinas Kesehatan DKI, RS Mitra Keluarga, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Cabang Jakarta Barat, dan Badan Pengawas Rumah Sakit, Senin (11/9).
Pertama, komunikasi antara petugas informasi dan keluarga pasien tidak terjalin baik saat petugas menerima pasien dalam keadaan gawat darurat. "Untuk awal, rumah sakit tidak tahu bahwa ini peserta BPJS. Baru diketahui sekitar pukul enam pagi," ujar Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto dalam jumpa pers, kemarin. Padahal, pasien masuk ruang instalasi gawat darurat (IGD) pukul 03.40.
Hadir dalam jumpa pers, Direktur Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres Fransisca Dewi, Kepala BPJS Kesehatan Jakarta Barat Eddy Sulistijanto, dan Kepala BPRS DKI Jakarta Supriyantoro.
Hasil pertemuan menunjukkan, keluarga pasien langsung mengurus administrasi untuk biaya masuk ruang pediatric intensive care unit (PICU). Keluarga kebingungan karena hanya membawa uang Rp 5 juta, sedangkan uang muka masuk PICU Rp 11 juta, dari biaya seharusnya Rp 19,8 juta.
"Ini kesalahannya, dari awal seharusnya pasien ditanya, pembiayaannya dibayar siapa? Ternyata dia punya BPJS yang itu tidak terinformasi dari awal. Kalau itu BPJS, pendanaan pembiayaan untuk penanganan kegawatdaruratan sampai pasien itu di ruang PICU bisa ditagihkan kepada BPJS," ujar Koesmedi.
Kelalaian kedua, kata Koesmedi, pihak rumah sakit telah meminta pihak keluarga pasien mencari rumah sakit rujukan yang bekerja sama dengan BPJS. Padahal, seharusnya, pencarian rumah sakit rujukan dilakukan pihak rumah sakit.
"Walaupun rumah sakit juga mencari tempat rujukan lewat telepon, tetapi juga menyuruh keluarga pasien mencari, yang ini seharusnya dilakukan rumah sakit," kata Koesmedi. Bayi Debora meninggal sebelum dibawa ke RSUD Koja, Jakarta Utara, rumah sakit rujukan yang diperoleh keluarganya.
Tim investigasi
Meskipun ditemukan kelalaian itu, Dinkes DKI belum bisa memberikan sanksi kepada pihak rumah sakit karena masih menunggu hasil dari tim investigasi untuk memanggil pihak korban.
"Sampai saat ini, pihak rumah sakit berjanji untuk melayani pasien dengan benar. Kalau sampai ada masalah lagi, dia bersedia izinnya dicabut," ujar Koesmedi.
Ia berharap kasus ini tak terulang di rumah sakit lain. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2014, setiap pasien gawat darurat wajib mendapatkan penanganan darurat.
"Ke depan, saya tidak mau ini terjadi lagi di DKI. Kami harus membetulkan semua sistem, seperti itu, biarpun rumah sakit belum bekerja sama dengan BPJS, tapi kalau emergency, pembiayaannya bisa BPJS. Nah, itu juga belum tersosialisasi ke rumah sakit swasta lain yang belum bermitra dengan BPJS," ujarnya.
Terkait dengan tindak lanjut dari rumah sakit, Fransisca Dewi sebagai Direktur Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres mengatakan, pihaknya akan ikut melakukan audit medik internal.
"Kami akan melakukan yang namanya audit medik sehingga kasus seperti ini tidak terulang kembali," kata Fransisca.
Secara terpisah, Asisten Sekretaris Utama Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengatakan, setiap rumah sakit wajib menangani pasien yang datang dalam kondisi gawat darurat hingga kondisi kegawatannya stabil.
Andai pasien adalah peserta BPJS Kesehatan, sedangkan pihak rumah sakit belum bekerja sama, maka ketika kondisi pasien stabil, rumah sakit merujuk pasien itu ke rumah sakit yang telah bekerja sama. Rumah sakit bersangkutan bisa menagih biaya penanganan kegawatdaruratan kepada pihak BPJS.