Sehari Semalam di Atas Pohon Diterjang Banjir Bandang Ketapang
Alam mengingatkan secara nyata melalui banjir bandang yang menerjang Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada akhir bulan Agustus 2017. Warga bahkan ada yang berlindung di atas pohon satu hari satu malam demi menyelamatkan diri tanpa berbekal makanan.
Darut (60), warga Desa Tanggerang, sekitar 300 kilometer dari Pontianak, beserta istri dan anaknya sedang berada di ladang saat banjir bandang menerjang daerah itu pada Selasa (29/8) hingga Rabu (30/8).
Hari Selasa, saat ketinggian air baru 70 sentimeter, Darut sebenarnya sempat membuat rakit dari bambu dan kayu. Menurut rencana, jika air semakin tinggi, dia dan keluarga dapat menyelamatkan diri dengan rakit itu. Namun, ketinggian air bertambah secara cepat pada Selasa sore. Banjir bandang setinggi 2,5 meter pun tiba-tiba datang dan menenggelamkan pondok beserta ternak yang ada di ladang.
Ia tidak sempat menyelamatkan ternak dan bahkan tergopoh-gopoh menyelamatkan diri. Darut dan keluarganya akhirnya naik pohon karet agar terhindar dari arus banjir yang deras. Dia tidak lagi sempat lari ke kampung karena banjir datang begitu cepat.
Rakit yang dibuat pun tidak bisa dipakai karena arus banjir terlampau deras. Kalaupun memanggil warga lainnya tidak mungkin karena tidak akan terdengar. Lokasi ladangnya sekitar 3 kilometer dari pusat kampung. Akhirnya, tidak ada pilihan lain, mereka bertahan di atas pohon karet selama satu hari satu malam tanpa makan. Semalaman mereka tidak tidur.
Mereka bertahan di atas pohon karet selama satu hari satu malam tanpa makan. Semalaman mereka tidak tidur.
”Banjir hari kedua, Rabu (30/8), tanpa sengaja, ada warga bernama Rudi (30) pergi ke sekitar ladang Darut menggunakan pelampung. Rudi menemukan Darut sekeluarga di atas pohon karet dan akhirnya dibawa ke kampung menggunakan pelampung itu. Darut sekeluarga ditemukan lemah dan pucat karena tidak makan sehari semalam,” ungkap Agustinus Bayer (54), salah satu relawan banjir, Kamis (7/9).
Meskipun banjir telah surut, dampak yang ditimbulkan masih tampak pada Kamis (7/9). Tembok dan atap beberapa rumah warga di tepi Sungai Kiri roboh. Tiang-tiangnya hanyut. Ada rumah yang rusak 90 persen sehingga tidak bisa dihuni lagi. Ada pula yang tinggal reruntuhan.
Rumah hanyut
Di beberapa lokasi di tepi Sungai Kiri masih tampak tanah yang longsor. Sebelum banjir menerjang, di lokasi itu terdapat rumah warga. Namun, rumah warga di lokasi itu tidak tampak lagi karena telah hanyut.
Kondisi semakin parah di hilir Desa Tanggerang. Di situ ada rumah terguling. Tiang-tiangnya tercabut. Atapnya menyentuh dasar sungai. Di lokasi itu juga ada rumah warga yang hanyut. Lokasi itu kini menjadi aliran sungai baru selebar 20 meter. Sebelumnya merupakan daratan tempat rumah warga.
”Di situlah rumah saya sebelum hanyut diterjang banjir. Dulu itu daratan. Kini menjadi aliran sungai baru setelah rumah saya hanyut,” kata Fransiskus Motor (57), salah satu korban banjir, sambil menunjuk ke arah aliran sungai baru itu, Kamis pagi.
Fransiskus mengatakan, banjir mulai melanda sejak Selasa (29/8) sore. Saat itu, ketinggian air Sungai Kiri mulai naik signifikan. Ia dan istrinya saat itu memutuskan mengungsi ke rumah saudaranya. Warga lainnya juga demikian.
Ia hanya menyelamatkan surat tanah dan kartu keluarga. Barang-barang lain tidak ia selamatkan karena tidak mengira banjir akan separah itu. Sebelumnya pernah banjir, tetapi tidak pernah separah ini.
Dalam beberapa menit saja, ketinggian air di dalam rumah sudah 1 meter. Sementara di luar rumah mencapai 2,5 meter. Sekitar pukul 23.00, terdengar gemuruh air disertai lumpur menerjang rumah Fransiskus dan warga lainnya.
Rumah Fransiskus yang berukuran sekitar 5 meter x 15 meter pun hanyut terbawa banjir beserta tanah tempat rumah itu berpijak. ”Saya dan istri hanya bisa menyaksikan rumah kami hanyut. Istri saya menangis,” ujar Fransiskus.
”Saya dan istri hanya bisa menyaksikan rumah kami hanyut. Istri saya menangis,” ujar Fransiskus.
Mereka meninggalkan rumah hanya membawa pakaian di badan. Aset berharga yang ia miliki tinggal kebun karet. Ia pun hidup dari bantuan makanan dan pakaian dari posko banjir Keuskupan Ketapang.
Kini, Fransiskus tidak mampu membangun rumah baru. Sementara ini, ia menumpang di rumah keluarganya. ”Kalau air sungai sudah mulai surut, saya mau mencoba mencari puing-puing rumah saya. Kalau kayunya masih bisa ditemukan, minimal untuk membuat rumah darurat,” kata Fransiskus.
Selain rumah Fransiskus, ada enam rumah lagi yang juga hanyut. Kini mereka masih mengungsi di sanak keluarga dan bertumpu pada bantuan dari posko. Ada 334 kepala keluarga yang menjadi korban banjir tersebut.
Konversi lahan
Banjir tersebut diduga karena maraknya konversi lahan, baik untuk HTI, perkebunan sawit, maupun pertambangan. Berdasarkan penelusuran Kompas, Kamis lalu, di hulu Sungai Kiri alih fungsi lahan memang marak.
Hamparan perkebunan sawit membentang luas di beberapa lokasi. Ada yang persis di dekat sungai. Di daerah hulu pedalaman, pembukaan lahan untuk HTI luas. Ratusan hektar, bahkan ribuan hektar hutan perbukitan ditebangi untuk HTI. Padahal, daerah itu tangkapan air.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Anton Widjaya mengatakan, penyebab utama banjir karena konversi lahan besar-besaran. Berdasarkan data monitoring evaluasi koordinasi dan supervisi KPK mengenai perkebunan di Kalbar pada 2016, luas izin perkebunan sawit di Kalbar 5,4 juta hektar, realisasi tanamnya sekitar 1,5 juta hektar. Dari 5,4 juta hektar total luas izin itu, 1,1 juta hektar di Ketapang.
Ketua Dewan Pengurus Forest Watch Indonesia Christian Bob Purba mengatakan, banjir juga dipicu deforestasi. Periode 2009-2013 saja, deforestasi di Kalbar 426.390 hektar. Laju deforestasi Kalbar sekitar 100.000 hektar per tahun. Deforestasi karena pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan.
Dua bulan terakhir, banjir juga terjadi di Kabupaten Landak dan Sintang. Banjir di kedua daerah itu juga dipicu lingkungan yang kian rusak. Inti masalahnya adalah kekeliruan dalam tata kelola sumber daya.